Reputasi dan Akuntabilitas Kepolisian Mengkhawatirkan

Pada peringatan Hari Bhayangkara Polri tahun ini, kembali ”pukulan” mengkhawatirkan menimpa Polri. Kali ini melalui laporan utama majalah Tempo pekan ini yang mengisahkan kepemilikan rekening dan transaksi yang tidak lazim dari cukup banyak perwira tinggi Polri.

Tidak hanya itu. Ada pula kisah mengenai ribuan majalah edisi itu kemudian diborong dari para agen oleh, konon, pihak kepolisian. Ini bukan menjadikan kisah mereda, malah bikin mencuat.

Penulis berpendapat boleh jadi sinyalemen Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengenai rekening bermasalah itu tak sepenuhnya benar. Namun, jika diadakan angket seberapa jauh masyarakat percaya atas kebenaran informasi itu, diyakini angkanya akan tinggi sekali. Hal ini terkait dengan reputasi Polri yang terus-menerus terganggu sejak setahun lalu, khususnya ketika isu cecak versus buaya dilansir seorang mantan petinggi Polri.

Reputasi
Reputasi? Secara konseptual, untuk mudahnya, reputasi adalah perpaduan kinerja plus citra. Jika kinerja bagus, tetapi citra jelek, reputasi boleh jadi tetap jelek. Sebaliknya, jika kinerja sebenarnya jelek, tetapi citra bagus, konon reputasi baik tetap bisa diharapkan. Alhasil, dengan demikian, citra memang terlihat lebih penting ketimbang kinerja itu sendiri.

Hal ini bisa menjelaskan situasi internal Polri. Kalau kita mau jujur, berbagai satuan kerja dan satuan wilayahnya mencatat berbagai keberhasilan dan peningkatan terkait kinerja. Namun, sebagus apa pun jika tidak berkontribusi pada perubahan citra yang makin positif, tetap saja orang berasosiasi dengan hal-hal yang buruk dan jelek saja saat teringat atau bertindak terkait kepolisian.

Dari berbagai definisi terkait citra, salah satu dimensi terpenting adalah keajekan terkait suatu gambaran positif yang dilekatkan pada kinerja tertentu. Selain itu, keajekan juga terlihat dari tidak munculnya hal-hal yang kontradiktif terkait gambaran positif yang hendak dimunculkan pihak kepolisian tadi. Menurut penulis, kisah rekening bermasalah tadi adalah sesuatu yang menyebabkan terjadinya disonansi di masyarakat pada umumnya.

Disonansi dalam hal ini berarti terdapatnya dua hal yang bertolak belakang terkait hal yang sama. ”Katanya pelayanan polisi semakin baik, laporan keuangannya wajar tanpa pengecualian, dan kinerjanya selalu diawasi, tetapi kok bisa begitu?” demikianlah komentar yang pasti muncul dari masyarakat. Kembali ke teori citra: satu hal saja yang kontradiktif sudah cukup untuk meruntuhkan citra.

Kasus rekening bermasalah di atas sebenarnya dapat dimengerti sebagai sesuatu yang cepat atau lambat akan merepotkan kepolisian. Namun, menariknya, tetap saja tidak ada upaya yang cukup untuk menertibkannya. Dalam konteks itu, ”pukulan” yang diterima Polri dapat dianggap sebagai sudah selayaknya diterima.

Sayangnya, reaksi spontan yang cenderung dilakukan kepolisian adalah ”memoles” alias mengupayakan agar tidak muncul hal-hal yang jelek dan bukannya memecahkan akar masalahnya. Apabila hal ini kembali terbaca oleh masyarakat, kepercayaan masyarakat kepada polisi sebagai dimensi lain dari citra tidak akan pernah tinggi.

Akuntabilitas kepolisian
Saat kepolisian menghadapi berbagai situasi yang mendekati ideal (anggaran meningkat, sarana-prasarana semakin baik, kewenangan makin besar), logikanya segala hal perlu sejalan dengan peningkatan akuntabilitas juga. Hal itulah yang bisa mencegah kepolisian berkembang menjadi organisasi super yang tak terkendali.

Akuntabilitas dalam konteks ini sebenarnya terdiri atas empat jenis: akuntabilitas politik, akuntabilitas keuangan, akuntabilitas manajerial, dan akuntabilitas operasional/taktis. Walau di antaranya saling terkait, sesungguhnya akuntabilitas itu dapat dibedakan. Sebagai contoh, para perwira tinggi yang diisukan itu tentu tak akan punya uang sebesar itu apabila tidak memiliki pangkat dan jabatan tinggi (yang mengasumsikan memiliki kewenangan manajerial dan operasional/taktis yang besar juga).

Namun, ada yang sama dari keempat akuntabilitas itu, yakni dibutuhkan tiga hal untuk mewujudkan polisi yang akuntabel. Yang pertama adalah aturan dan ketentuan yang memadai. Lalu, diperlukan pula pengawasan internal dan eksternal yang cukup. Ketiga, integritas personal. Jika ketiganya tidak atau kurang terpenuhi, dikhawatirkan akuntabilitas (tanggung gugat) akan turun menjadi sekadar responsibilitas (tanggung jawab).

Mengenai yang pertama, pada umumnya telah ada peraturan dan ketentuan yang terkait keuangan dan manajerial, apalagi yang terkait operasional/taktikal. Berbagai prosedur operasional di lapangan dewasa ini harus berada dalam koridor penghargaan terhadap hak asasi manusia. Kasus rekening fantastis ini mengajarkan kepada kita perlunya implementasi berbagai ketentuan baru, seperti pelaporan keuangan dari seluruh tingkap jabatan atau kepangkatan. Penerapan ancaman pidana terkait gratifikasi kelihatannya perlu juga dilakukan untuk menangkal personel lain melakukan hal yang sama.

Yang kedua, walaupun telah terdapat aneka pengawasan internal dan eksternal, pada kenyataannya pengawasan itu tidak atau belum menjangkau persoalan kantong para pejabat tinggi kepolisian. Dalam hal ini Polri perlu legowo hati meminta mekanisme pengawasan yang ada sekarang bekerja lebih galak demi reputasi Polri sendiri.

DPR, Kompolnas, media massa, dan kampus adalah para pengawas eksternal kepolisian yang lebih banyak menaruh perhatian pada akuntabilitas non-keuangan (kemungkinan karena tidak memahami manajemen keuangan kepolisian yang kompleks).

Seiring dengan itu, mekanisme pengawasan internal yang dijalankan Inspektur Pengawasan Umum ataupun Divisi Profesi dan Pengamanan tampaknya telah terbukti memiliki banyak keterbatasan saat berhadapan dengan pejabat tinggi kepolisian sendiri. Dalam kaitan itu, ada alternatif untuk memperbesar kapasitas atau mengubah struktur kedua satuan kerja itu sehingga lebih independen bekerja.

Sehebat-hebatnya dimensi pertama dan kedua, ciri khas pekerjaan kepolisian selalu membutuhkan integritas diri yang memadai. Ini dimensi ketiga. Integritas itulah yang bekerja ketika ada anggota memutuskan untuk bertindak sesuatu tatkala sendirian atau dalam situasi low supervision. Apakah yang bersangkutan bertindak yang menguntungkan dirinya atau tetap menjunjung kebenaran dan hukum? Kelihatannya banyak perwira Polri yang akan terjegal kalau persoalan integritas ini benar-benar ditegakkan.

Adrianus Meliala Kriminolog UI
Tulisan ini disalin dari Kompas, 30 Juni 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan