Republik Tersandera Korupsi

Negeri ini seakan tak henti dilanda penyakit korupsi. Setelah berbagai kasus korupsi tak kunjung reda di tingkat nasional, beberapa hari lalu Menteri Dalam Negeri menyatakan bahwa 155 kepala daerah menjadi tersangka dalam kasus korupsi dan 17 di antaranya adalah gubernur.

Tulisan ini tak akan mengupas kasus Gayus Tambunan dan kasus korupsi yang terjadi di tingkat nasional. Selain sudah banyak yang memberi perhatian, kasus Gayus ini sangat pelik, kompleks, dan cenderung menjadi the untouchable. Yang lebih besar dan penting perkaranya adalah gejala para kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi sebab hal ini benar-benar dapat menurunkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.

Inovator dan koruptor

Sebagai salah seorang yang memberi perhatian kepada perkembangan otonomi daerah, sebenarnya penulis sangat miris membaca banyaknya kepala daerah yang dijadikan tersangka kasus korupsi.

Beberapa kepala daerah adalah para inovator yang telah tercatat namanya tidak saja oleh Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, serta sejumlah media massa sebagai penerima kusala untuk pelayanan prima dan daerah otonom percontohan; tetapi juga oleh Bank Dunia, UNDP, dan beberapa organisasi internasional lain.

Penulis sendiri tidak berani meyakini bahwa semua kepala daerah itu koruptor meski tentu saja harus dibuktikan secara hukum. Bahkan, hasil penelitian yang dilakukan penulis terhadap beberapa daerah yang inovatif sangat meyakinkan: kemajuan daerah-daerah itu sangat dilandasi oleh komitmen kepala daerah.

Mereka adalah para kepala daerah yang tak saja sangat memiliki kompetensi, legitimasi besar dari masyarakat, tetapi juga kemauan politik memberi manfaat otonomi daerah yang sebesar-besarnya kepada masyarakat. Para kepala daerah yang inovatif memang cenderung tak bisa terpaku pada ketentuan hukum normatif yang sangat membatasi ruang gerak bagi kemajuan daerah. Batasan inovasi dan pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan menjadi sangat kabur.

Mungkin dalam kasus ini para kepala daerah terjebak dalam penyalahgunaan wewenang yang sering dijadikan logika dasar penegakan hukum, baik oleh kepolisian, kejaksaan, maupun KPK. Para kepala daerah yang demikian sebenarnya sangat disayangkan: karena kesalahan prosedur atau penyalahgunaan wewenang, mereka telah berganti status dari inovator menjadi koruptor. Tentu hal ini jadi ancaman bagi kepala daerah lain untuk menggagas berbagai inovasi pemerintahan daerah.

Pengamatan penulis di beberapa daerah juga menunjukkan bentuk paradoks lain. Selain menghasilkan kepala daerah yang inovatif dan pro-kemajuan daerah, otonomi daerah juga melahirkan kepala daerah yang memang secara genetis berpotensi jadi koruptor.

Para kepala daerah ini biasanya sangat suka dengan kekuasaan dan cenderung menyalahgunakan wewenang atau mungkin juga berbuat sewenang-wenang. Bukan saja tak inovatif, kepala daerah yang haus kekuasaan ini memang tak punya komitmen untuk kemajuan daerah yang ia pimpin. Hal ini disebabkan modal menjadi kepala daerah sangat besar sehingga harus dikembalikan melalui berbagai cara dalam pemerintahan. Mereka memang pantas disebut sebagai koruptor.

Lima faktor utama
Pemilihan langsung kepala daerah bukan satu-satunya penyebab banyaknya kepala daerah yang dijadikan tersangka korupsi. Seperti disampaikan berulang kali oleh Mendagri dan juga Dirjen Otonomi Daerah, mahalnya biaya pilkada menjadi penyebab utama mengapa para kepala daerah melakukan korupsi.

Sangat tak masuk akal jika seorang calon kepala daerah menghabiskan puluhan miliar rupiah berkompetisi dalam pilkada untuk mengejar gaji plus segala macam tunjangan yang maksimal dapat diperoleh hingga Rp 100 juta per bulan.

Ada paling tidak lima penyebab banyaknya kepala daerah yang jadi tersangka korupsi, selain mahalnya biaya pilkada. Pertama, penggunaan diskresi oleh kepala daerah yang tak terkontrol. Sebagaimana diketahui bahwa setiap pejabat—baik yang dipilih maupun diangkat—memiliki kewenangan diskresioner. Mayoritas korupsi di Indonesia yang terjadi dalam arena birokrasi disebabkan oleh penggunaan kewenangan diskresioner yang tak berbatas dan tak terkontrol.

Diskresi membutuhkan rambu-rambu, antara lain asas-asas umum pemerintahan yang baik, dan sesuai dengan tujuan pemberian diskresi itu sendiri. Desentralisasi yang memberikan kewenangan dan legitimasi besar kepada kepala daerah tak disertai dengan kesadaran mengambil keputusan dan tindakan yang benar dan baik.

Kedua, oligarki dan dinasti kekuasaan. Seperti disampaikan oleh Manor dan Crook (2000), pemilihan langsung kepala daerah yang tak disertai dengan penguatan kontrol masyarakat dalam pemerintahan daerah cenderung menyebabkan oligarki kekuasaan. Oligarki ini membentuk blok korupsi yang sangat sulit diatasi. DPRD tidak berperan, kontrol masyarakat absen, dan kongkalikong kejahatan sistemis antara penegak hukum, politisi, dan birokrasi.

Tidak mengherankan banyak hal lucu yang terjadi di daerah. Mulai dari dinasti kekuasaan keluarga, mantan kepala daerah menjadi calon wakil kepala daerah, dua istri kepala daerah menjadi calon kepala daerah, sampai dengan istri berkompetisi dengan suami dalam pilkada. Rasanya sulit menilai dengan logika normal semua keserakahan kekuasaan dan ketidaketisan ini.

Ketiga, inkompatibilitas sistem. Persoalan dalam kasus tersangka korupsi sejumlah kepala daerah sebenarnya adalah fenomena gunung es. Pemerintahan daerah tidaklah berada dalam ruang hampa, tetapi fungsi bekerjanya berbagai macam sistem yang ada: sistem politik, sistem hukum, sistem sosial, sistem ekonomi, dan sistem budaya.

Sistem politik yang tidak berbasis ideologi dan sistem merit kader ternyata telah melahirkan calon-calon kepala daerah yang oportunis, tidak memiliki visi kenegarawanan, dan tidak berbasis pengetahuan pemerintahan. Sistem hukum yang lemah ternyata telah menyebabkan proses penegakan hukum sebagai cara dan alat produksi sumber penerimaan.

Sistem sosial yang rapuh telah pula menyebabkan sikap permisif masyarakat atas pelanggaran korupsi dan segala bentuk ketidaketisan yang terjadi di daerah. Adapun sistem ekonomi yang sangat berpihak kepada pemilik modal telah menghasilkan rentenir politik dan pemerintahan yang rela menjual tanah dan air Ibu Pertiwi untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya. Berbagai inkompatibilitas sistem ini ternyata menyuburkan perilaku koruptif di daerah.

Keempat, lemahnya pengawasan pusat. Otonomi daerah seluas-luasnya, sebagaimana menjadi semangat konstitusi dan UU Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, ternyata ikut menghancurkan tatanan sistem pemerintahan.

Pada satu sisi kepala daerah jadi sangat berkuasa, sedangkan pemerintah pusat tak memiliki cukup kemampuan mengawasi dan membina kewenangan yang diserahkan. Akibatnya adalah penggunaan kewenangan yang tak sesuai dengan tujuan pembangunan, baik karena ketidakmampuan maupun karena penyalahgunaan wewenang.

Kelima, lemahnya pengawasan masyarakat madani. Otonomi daerah belum mampu menguatkan peran masyarakat dalam pemerintahan. Yang terjadi saat ini adalah penyempitan makna otonomi daerah hanya semata-mata menjadi milik elite daerah. Bahkan, baik aktor maupun lembaga-lembaga pengawasan masyarakat menjadi mandul.

Sistem komprehensif
Berbagai faktor itu telah mengakibatkan republik ini tersandera oleh korupsi. Mengatasinya tidak cukup berpikir linier pada mahalnya biaya pilkada. Dibutuhkan satu pendekatan berpikir sistem yang komprehensif.

Penyalahgunaan diskresi oleh kepala daerah sejatinya sedang diatasi melalui pengaturan dalam RUU Administrasi Pemerintahan. Sedangkan oligarki kekuasaan hanya mungkin dihilangkan jika terjadi penguatan kontrol masyarakat atas penyelenggaraan pemerintahan daerah melalui jaminan akses hukum dan penguatan jaringan lembaga masyarakat.

Perlu pula dipikirkan penguatan hukum administrasi negara agar tidak semua pelanggaran prosedural administratif oleh kepala daerah serta-merta dimasukkan ke dalam rezim hukum pidana. Semoga.

Eko Prasojo Ketua Program Pascasarjana Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

Tulisan ini disalin dari Kompas, 24 Januari 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan