Reorientasi Pemberantasan Korupsi
Upaya memerangi korupsi tampaknya masih harus berhadapan dengan suasana batin yang bercabang dan terbelah, antara keinginan untuk cepat menanganinya dan kepentingan jangka pendek dari para pemegang kebijakan publik.
Dinamika semacam ini sejatinya sangat mengganggu keberlanjutan dan kesinambungan agenda antikorupsi. Sebaliknya, program-program antikorupsi yang dicanangkan, baik oleh pemerintah maupun lembaga negara lain yang memiliki wewenang untuk menyusunnya, kerap harus mundur selangkah dan hanya maju setengah langkah. Fenomena semacam ini setidaknya dapat direfleksikan dari peringkat dan skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang dari tahun ke tahun perkembangannya kurang menggembirakan.
Salah satu bukti dari langkah besar yang tidak atau kurang mencerminkan jelasnya peta jalan pemberantasan korupsi adalah revisi Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU KUHP). Meskipun pada akhirnya Presiden Jokowi memutuskan menunda pembahasan setelah mendengarkan berbagai saran, termasuk dari KPK, upaya memasukkan pidana korupsi dalam KUHP yang dilakukan parlemen menggambarkan tak jelasnya strategi pemberantasan korupsi yang dimiliki negara.
Alih-alih mengambil langkah politik untuk membangun fondasi yang lebih kokoh bagi penguatan upaya pemberantasan korupsi, yang salah satunya melalui penguatan regulasi antikorupsi berupa adopsi prinsip-prinsip utama antikorupsi dalam Konvensi Antikorupsi PBB (UNCAC), prioritas yang diambil justru dengan membahas dan menempatkan pidana korupsi dalam KUHP.
Bukan hanya kodifikasi KUHP bagi pidana khusus seperti korupsi telah kehilangan relevansinya karena telah ditinggalkan oleh banyak negara, demikian pula materi pasal-pasal korupsi yang ada dalam draf KHUP kehilangan ruh hidupnya karena justru banyak bermuatan teknis hukum daripada sebagai gambaran dari keinginan kuat untuk mengatasi korupsi secara efektif.
Pengembalian kerugian
Satu hal yang tak menjadi isu pokok dari agenda pemberantasan korupsi di Indonesia meskipun penting adalah perihal pengembalian kerugian yang ditimbulkan dari kejahatan korupsi. Pendekatan klasik yang mendasari pemberantasan korupsi adalah mengejar pelaku kejahatan dan menempatkan pada sel-sel tahanan sebenarnya sudah tak sesuai dengan kebutuhan zaman. Secara faktual, menempatkan pelaku kejahatan korupsi ke lembaga pemasyarakatan yang tidak dibarengi dengan usaha memaksimalkan pengembalian kerugian negara dan kerugian masyarakat justru menjadi bumerang.
Operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK di Lapas Sukamiskin beberapa waktu lalu mencerminkan bagaimana pemidanaan menghadapi tantangan berat untuk melahirkan efek jera. Para pelaku korupsi yang masih memiliki akses besar terhadap uang pada kenyataannya sangat berkuasa untuk mengatur bagaimana mereka diperlakukan di lapas. Dengan uang yang mereka miliki, keputusan bisa dibeli, pelayanan bisa dimonopoli, dan bahkan untuk keluar dan masuk lapas, mereka pun bisa mengaturnya.
Usaha untuk mengembalikan kerugian dari praktik korupsi berjalan terseok-seok. Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) 2017, nilai pengembalian kerugian kepada negara dari keseluruhan kejahatan korupsi pada tahun itu hanya Rp 1,4 triliun dari total kerugian sebesar Rp 29,4 triliun. Artinya, kira-kira hanya 4 persen usaha pengembalian kerugian negara dalam memberantas korupsi dapat dilakukan. Ini belum termasuk biaya yang telah dikeluarkan negara, seperti biaya operasionalisasi penegakan hukum, gaji para penegak hukum, dan biaya negara untuk membiayai mereka yang sudah dimasukkan ke dalam penjara setelah mendapatkan vonis bersalah oleh pengadilan.
Meskipun kerja penegakan hukum tidak bisa dinilai secara ekonomi karena merupakan tanggung jawab negara, strategi yang keliru akan membuat kerugian makin menganga. Bukan hanya itu, dampak yang diharapkan dari kerja-kerja pemberantasan korupsi, yakni efek jera, tidak lahir karena para pelaku korupsi diuntungkan dari desain dan strategi pemberantasan korupsi yang tak efektif. Demikian halnya, aparat penegak hukum yang korup memanfaatkan sistem penegakan hukum yang buruk untuk mendapatkan keuntungan personal.
Merujuk catatan tren vonis kasus korupsi yang dilakukan ICW tahun 2017, ada jurang cukup menganga antara legislasi antikorupsi yang ada dan pemanfaatannya oleh penegak hukum. Salah satu yang sebenarnya sudah dapat digunakan penegak hukum untuk membangun efek jera melalui strategi pemiskinan koruptor adalah dengan mengefektifkan UU Pencucian Uang. UU ini telah menyediakan jalan bagi penegak hukum dalam penanganan kasus korupsi untuk mematikan nadi kejahatan korupsi, yakni uang.
Uang, sampai kapan pun, ketika masih terus dapat diakumulasi oleh pelaku kejahatan (korupsi), akan dipakai untuk mempertahankan praktik kejahatan itu, atau mendaur ulang tindak kejahatan yang pernah dilakukan. Tak heran banyak eks terpidana korupsi tetap berkeinginan maju sebagai pejabat publik melalui mekanisme pemilu. Hal ini sebenarnya mengindikasikan bahwa mereka-mereka yang pernah dijerat kasus korupsi masih memiliki cukup aset dan uang untuk maju dalam kontestasi politik.
Sayangnya, aparat penegak hukum sangat jarang menggunakan UU Pencucian Uang untuk merampas uang dan aset para pelaku kejahatan korupsi. Sebagai catatan, hanya KPK yang beberapa kali melakukan meski tak bisa dianggap berkelanjutan. Negara memang belum serius menyediakan instrumen legal yang memudahkan penegak hukum memiskinkan pelaku korupsi. Dengan UU yang ada, penegak hukum juga belum efektif memanfaatkan. Hasilnya, pelaku korupsi terus berdendang ria di atas peluh dan kucuran keringat para pembayar pajak di republik ini.
Adnan Topan Husodo Koordinator ICW
Tulisan ini disalin dari Harian Kompas, 20 Agustus 2018