Remisi dan Hak bagi Terhukum

"Hak remisi bagi terhukum tidak dapat dibatasi dan wajib diberikan sebagai bentuk kemerdekaan dari sisi pemberian pidana"

PEMBERIAN remisi bagi koruptor ditentang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Lembaga itu menyambut baik gagasan pemerintah menghapus pemberian remisi bagi terpidana kasus korupsi. ”Jika yang dimaksud adalah secara tegas menghapus remisi bagi koruptor, KPK memberi apresiasi kepada presiden,” kata Ketua KPK Busyro Muqoddas, Jumat (16/09/11). Suara tentangan ibaratnya menjadi halilintar dalam kehidupan dan mekanisme hukum dan keadilan. Hal itu tampak jelas dalam pandangan Partai Demokrat yang setuju dengan penghapusan remisi bagi koruptor. Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar pun menyatakan setuju dengan wacana penghapusan remisi bagi koruptor asal melalui pengkajian secara akademis.

Hak asasi manusia (HAM) mendasarkan persamaan hak di muka hukum, sebagaimana Deklarasi Universal HAM. Penulis merasa perlu mempertegas bahwa remisi bukan semata-mata berbicara soal berat ringan sebuah perkara melainkan juga menyangkut hak yang melekat pada tiap terhukum. Bahkan jika kita benar-benar memperhatikan, hak tersebut merupakan realisasi dan konsekuensi dari konsep yang telah disepakati, bahwa Indonesia tidak mengenal lagi penjara-kepenjaraan tetapi meletakkan aksentualitasnya pada pemasyarakatan dan lembaga pemasyarakatan.

Karena itulah, tidak ada lagi UU tentang Kepenjaraan, yang ada hanya UU dan peraturan tentang lembaga pemasyarakatan (LP atau lapas). Terkait dengan pemahaman bahwa remisi adalah hak yang melekat pada diri pribadi terhukum, kita bisa menyimak Keppres Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi yang meletakkan landasannya pada pertimbangannya bahwa remisi merupakan salah satu sarana penting dalam rangka mewujudkan tujuan sistem pemasyarakatan. Pasal 1 regulasi itu menyebutkan tiap narapidana dan anak pidana yang menjalani pidana penjara sementara dan pidana kurungan mendapat remisi bila berkelakuan baik selama menjalani pidana.

Keppres tersebut diperbarui dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-01.PK.02.02 Tahun 2010 yang meletakkan landasan bahwa pemberian remisi kepada narapidana dan anak pidana merupakan perwujudan dari pemajuan dan perlindungan HAM berdasarkan sistem pemasyarakatan.

Semua itu untuk memperjelas bahwa hukum di Indonesia tidak memihak pada kebencian dan balas dendam, tetapi justru dengan kesederhanaan dan budaya toleransi  menempatkan terhukum untuk menikmati hak yang melekat padanya.

Mengatur Mekanisme
Hal itu sekaligus menjelaskan bahwa hak remisi bagi terhukum tidak dapat dibatasi dan wajib diberikan sebagai bentuk kemerdekaan dari sisi pemberian pidana yang menempatkan terhukum sebagai manusia yang harus kembali dimasyarakatkan. Hal itu dipertegas oleh kata pemasyarakatan pada istilah lembaga pemasyarakatan, bukan lagi dengan kata lembaga penjara.

Jika ada pendapat menyatakan bahwa korupsi termasuk extraordinary crime sehingga terpidana kasus korupsi tidak pantas mendapat remisi, menurut penulis, pernyataan itu hanya menggunakan kesempatan dan suasana. Yang melontarkan pendapat itu lupa bahwa kejahatan yang lebih ekstrem dan lebih menusuk perasaan rakyat serta kemanusiaan, misalnya  mutilasi atau pemerkosaan terhadap anak di bawah umur adalah lebih keji dan lebih jahat karena menyinggung langsung dan melupakan rasa ketentraman masyarakat.

Nyatanya pelaku kasus mutilasi dan pemerkosaan anak di bawah umur juga mendapat remisi dalam mekanisme pelaksanaan pemasyarakatannya. Dalam praktik seharusnya remisi harus dipersamakan dengan kejahatan yang telah diputus oleh hakim, karena putusan terhadap terdakwa bersifat final dan telah mempertimbangkan rasa keadilan. Karena itu, rasanya tidak adil jika ranah  remisi dikaitkan semata-mata dengan derita yang wajib dijalani, tidak dipahami sebagai alur memasyarakatkan kembali orang yang terbukti bersalah dengan mempertimbangkan hak-hak dan HAM.

Remisi dapat diberikan kepada tiap terhukum, siapa pun orangnya, asalkan memenuhi persyaratan untuk mendapatkannya. Hal itu juga mengingat bahwa remisi adalah hak yang diberikan oleh HAM yang tidak dapat dilumpuhkan dan dikesampingkan. Hanya (mekanisme pemberian) remisi perlu diatur dan dibenahi agar tetap menyentuh rasa keadilan, baik bagi terhukum maupun masyarakat. (10)

Prof Ign Ridwan Widyadharma SH MS PhD, advokat di Semarang, dosen mata kuliah Professional Responsibility Fakultas Hukum Undip dan Fakultas Hukum Unika Soegijapranata
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 24 September 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan