Rekomendasi Tim 8, Ujian bagi Komitmen

Setelah dua pekan, Tim 8 menyelesaikan tugas dan hasilnya sudah diberikan kepada pemberi mandat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Selasa, 17/11).

Idealnya, Presiden SBY serius menindaklanjuti rekomendasi tim yang dipimpin Adnan Buyung Nasution itu.

Pertama, tim yang bersifat sementara itu bekerja atas mandat dan untuk memberi masukan khusus kepada Presiden SBY terkait kasus perseteruan antara pemimpin (nonaktif) Komisi Pemberantasan Korupsi Bibit-Chandra dengan pemimpin kepolisian dan Kejaksaan Agung. Kalau mengabaikan, bisa berarti SBY tak menghargai diri sendiri, termasuk lembaga presiden. Rakyat pun akan menganggap SBY menerapkan politik mengulur waktu demi tujuan tertentu.

Kedua, anggota Tim 8 terdiri dari figur profesional, memiliki kapasitas andal, dan kredibilitasnya tak diragukan. Menggunakan usul kebijakan Tim 8 merupakan wujud penghargaan terhadap nilai-nilai substansial-ideal produk figur-figur terpercaya. Bangsa ini berharap agar dalam mengambil kebijakan Presiden selalu mendasarkan pada pertimbangan obyektif untuk menciptakan keadaan lebih baik, mengabaikan pertimbangan dari kepentingan kelompok tertentu.

Ketiga, terasa begitu kuat tekanan publik agar SBY tidak main-main dengan rekomendasi Tim 8. Hal ini merupakan ekspresi dari (1) besarnya perhatian masyarakat atas kasus ini dan (2) tingginya kepercayaan publik terhadap para figur Tim 8. Tepatnya, masyarakat sedang mengawal proses implementasi reformasi bidang hukum sehingga siapa pun yang coba bermain- main akan menghadapi arus publik yang luar biasa.

Bergantung presiden
Namun, realisasi atas semua itu bergantung pada Presiden SBY. Bukan mustahil SBY akan sedikit gamang menyikapi rekomendasi Tim 8. Mengapa?

Pertama, akan dikesankan, SBY tunduk pada desakan publik yang demikian masif sekaligus memenangkan Bibit-Chandra, mengalahkan pemimpin kepolisian dan Kejaksaan Agung; meski sebenarnya hanya secara kebetulan rekomendasi Tim 8 sejalan dengan pendapat dan tuntutan masyarakat.

Kedua, SBY akan dikesankan melakukan intervensi terhadap proses hukum yang sedang berlangsung saat lembaga penegak hukum yang langsung ada di bawahnya (kepolisian dan kejaksaan) sedang menuntaskan kasus itu. Segelintir pihak, termasuk Komisi III DPR, lantang mendesak agar kasus itu dituntaskan secara hukum, membiarkan lembaga penegak hukum menyelesaikan tugas sesuai peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Kendati argumen seperti itu lebih bersifat politis yang bermotifkan pembelaan dan belas kasihan terhadap ketertekanan pihak kepolisian dan Kejaksaan Agung, bukan tak mungkin SBY terpengaruh dengan tekanan seperti ini karena juga memiliki argumen berbasis hukum.

Ketiga, kemungkinan akan amat berat bagi SBY menindaklanjuti rekomendasi terkait sanksi terhadap pejabat yang bertanggung jawab dalam proses hukum yang dipaksakan. Bila rekomendasi dilakukan, bisa berarti Presiden mengakui para pejabat terkait melakukan rekayasa terhadap kasus Bibit dan Chandra.

Padahal, mereka itu, terutama Polri dan Kejaksaan Agung, merupakan bagian dari orang yang dipercaya menegakkan dan melakukan reformasi hukum, termasuk diharapkan menjadi barisan terdepan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

Tidak mustahil hal itu akan membenarkan kesan publik selama ini bahwa SBY telah salah pilih figur untuk posisi Jaksa Agung (berikut jajarannya) dan Kapolri (berikut jajarannya), juga telah membiarkan berlangsungnya praktik buruk di lembaga penegak hukum kita.

Retorika belaka
Setidaknya akan muncul kesan kuat, ternyata pemberantasan korupsi atau penegakan hukum selama ini hanya sebatas kampanye dan retorika politik belaka, bukan aksi yang sebenarnya. Ini bertentangan dengan pencitraan SBY dalam lima tahun pertama kepemimpinannya.

Kondisi seperti ini merupakan salah satu ujian berat bagi Presiden SBY pada awal periode kedua. Ya, bergantung pada presiden sebab tak ada satu pun yang bisa mendiktenya. Namun, jika ingin menunjukkan komitmen terhadap penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, Presiden perlu melakukan dua hal yang saling terkait, dimulai dengan menindaklanjuti temuan Tim 8.

Pertama, Presiden SBY bersikap adil dan tegas, serta menguburkan sikap ragu menjalankan tuntutan kebenaran demi kebaikan negara. Rekomendasi Tim 8 merupakan produk yang amat sah baik dari aspek akademis, hukum, maupun sosial.

Kedua, Presiden SBY mengabaikan faktor perasaan kolegial. Terhadap pejabat yang telah terindikasi kuat terlibat atau terjebak praktik kotor, maka tak ada alasan untuk mempertahankannya. Tepatnya, presiden mestinya berani dan tegas membersihkan semua instansi penegak hukum dari oknum pejabat perusak dan penggerogot uang negara.

Laode Ida Sosiolog; Wakil Ketua DPD; Pendapat Pribadi

Tulisan ini disalin dari Kompas, 19 November 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan