Rekayasa Bank Century

ADA kekhawatiran besar di masyarakat bahwa Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket DPR tentang Bank Century bakal berbelok arah? Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Pengalaman pada masa silam mengajarkan bahwa banyak pansus berakhir antiklimaks atau kempis di tengah jalan, seperti Pansus Hak Angket Bahan Bakar Minyak (BBM).

Pada rapat pleno, misalnya, nyaris tidak ada keputusan substansial yang dihasilkan. Anggota pansus sibuk dengan interupsi untuk perkara-perkara yang tidak substansial, seperti usul agar rapat-rapat pansus diselenggarakan secara tertutup. Hal itu merugikan pansus karena akan memunculkan kecurigaan publik.

Syukurlah, pleno akhirnya memutuskan rapat pansus akan digelar terbuka. Namun, ada catatan penting yang disisipkan, yakni ''kecuali jika pihak yang dipanggil menghendaki tertutup''. Artinya, jika pihak yang diundang menghendaki rapat digelar tertutup, akses publik atas informasi yang terjadi sepanjang rapat pun akan pupus. Tetapi, sebaiknya kita jangan terlalu bersuuzon. Semoga saja pengecualian tersebut tidak terjadi.

Fokus
Beberapa hari lalu, sebuah harian ibu kota menulis judul berita Pansus Belok Arah, Rakyat Bisa Marah di halaman satu. Apa motivasi redaktur membuat judul seperti itu, sekadar provokatif? Entahlah. Yang pasti, itu bisa menjadi peringatan bagi semua pihak agar tidak bermain mata dalam kasus Bank Century. Pesan ini tentu dialamatkan kepada anggota pansus, pemerintah, dan BI.

Dengan harapan masyarakat yang begitu besar, suka atau tidak, kita terpaksa mengikuti sepak terjang pansus. Pansus harus fokus dan berpegang teguh kepada komitmen awal, yakni membongkar skandal bailout Bank Century. Dengan durasi kerja yang cuma 60 hari, pansus tidak perlu berputar-putar yang ujung-ujungnya kembali ke tempat asal.

Semestinya, pansus semaksimal mungkin menggunakan hasil audit investigatif BPK sebagai acuan. Laporan itu sudah menjelaskan siapa melakukan apa, pelanggaran apa saja yang dilakukan, dan akibat pelanggaran tersebut. Yang pasti, biaya penyelamatan telah menggelembung hingga Rp 6,7 triliun!

Entah kekuatan dahsyat seperti apa yang berada di balik kasus Century itu sehingga para pemegang kebijakan mengakali berbagai peraturan dan ketentuan demi menyelamatkan Bank Century. Mereka bahkan tidak segan-segan menelikung ketentuan yang mereka buat sendiri. Bahkan, penyelamatan Bank Century yang membabi-buta itu dilakukan secara berjamaah oleh Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).

Aneka Bentuk Rekayasa
Sejarah Bank Century penuh perilaku negatif para pemilik dan pengelola, bahkan sejak proses merger antara Bank Pikko, Bank CIC, dan Bank Danpac dimulai. Merger diawali dengan akuisisi Bank Pikko dan Danpac serta pembelian saham kepada Bank CIC oleh Chinkara. Akuisisi ketiga bank tersebut disetujui BI kendati Chinkara tidak memenuhi persyaratan administratif. Tampaknya, rekayasa oleh BI sudah dimulai di sini.

Pelanggaran serius bahkan terjadi jauh sebelum merger. Selama periode 2001-2003 ada transaksi surat-surat berharga (SSB) fiktif CIC senilai USD 25 juta yang melibatkan Chinkara. Pada Bank Pikko, ada kredit macet Texmaco yang ditukarkan dengan medium term note (MTN) Dresdner Bank yang tidak punya notes rating. Walaupun demikian, BI toh meneruskan proses merger.

Temuan tersebut sekadar contoh catatan kelam berdirinya Bank Century. Bagaimana halnya dengan Bank Century sendiri? Pada laporan BPK disebutkan, BI menutup mata atas terjadinya pelanggaran batas minimum pemberian kredit (BMPK) sepanjang 2005-2007 dan tidak menjatuhkan sanksi tegas.

Pada periode penyelamatan Bank Century, BPK menemukan bahwa BI telah mengubah peraturan BI (PBI) agar Bank Century layak mendapatkan fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP). Berdasar PBI No.10/26/PBI/2008 tanggal 30 Oktober 2008, bank yang berhak memperoleh FPJP harus punya CAR minimal 8%. Saat Bank Century mengajukan FPJP, CAR-nya hanya 2,35%. Namun, BI sengaja mengubah persyaratan dari minimal 8% menjadi CAR positif.

Masih banyak rekayasa dan pelanggaran lain yang dilakukan BI untuk menyelamatkan Bank Century. Karena itu, tidak heran bila masyarakat menuntut Boediono untuk bertanggung jawab. Sebab, pada saat bailout Bank Century, Boediono menjabat gubernur BI.

Indikasi terjadinya pelanggaran masih berlanjut. Rekayasa juga dilakukan LPS lewat perubahan peraturan LPS agar Bank Century memperoleh tambahan dana. Penggelontoran dana hingga Rp 2,201 triliun dilakukan bukan hanya untuk mendongkrak CAR, melainkan juga untuk memenuhi kebutuhan likuiditas lain. Padahal, menurut pasal 6 PLPS No. 5/PLPS/2006, kucuran dana LPS hanya untuk meningkatkan CAR. LPS pun mengubah dengan PLPS No.3/PLPS/2008 pada 5 Desember 2008 untuk mencairkan dana tambahan yang terindikasi tidak untuk penyehatan bank. Temuan BPK bahwa dana talangan dikirimkan secara tunai menyebabkan masyarakat menuntut penelusuran aliran dana. Masyarakat menduga dana itu memiliki keterkaitan dengan politik atau kekuasaan.

Temuan-temuan BPK tersebut menggambarkan bahwa telah terjadi berbagai rekayasa dalam memberikan bailout Bank Century. Penyelidikan BPK terhadap peran KSSK dalam proses penetapan bailout memang masih sangat terbatas. Berita tentang kehadiran Ketua UKP3R Marsilam dan Robert Tantular pada rapat penetapan bailout oleh KSSK memerlukan investigasi pansus. Apalagi Marsilam mengaku bahwa keikutsertaannya sepengetahuan presiden. Publik semakin terperangah. Tidakkah itu indikasi sebuah pelanggaran oleh KSSK yang dipimpin menteri keuangan?

Tuntutan masyarakat sangat jelas. Bila ada pelanggaran hukum dan rekayasa dalam bailout Bank Century Rp 6,7 triliun, pansus harus dapat mengungkap pelanggaran yang telah dilakukan, pelakunya, dan sanksi untuk pelanggaran dan rekayasa tersebut.

Kami berharap pansus dapat menangkap pesan publik. Dukungan yang sangat besar terhadap kasus Century adalah simbol ketidakpuasan publik atas ketidakberpihakan dan ketidakadilan kebijakan ekonomi selama ini. Salah satu ketidakpuasan publik adalah kegagalan menuntaskan berbagai skandal di sektor keuangan yang telah merugikan negara ratusan triliun rupiah, seperti BLBI, Indover, dan Bahana. Sekali lagi, pansus harus fokus pada upaya membongkar rekayasa dan pelanggaran yang oleh BPK diindikasikan telah terjadi dalam bailout Bank Century. Penuntasan kasus secara adil dan tidak pandang bulu justru akan menjadi pijakan sangat penting bagi perjalanan ekonomi Indonesia ke depan. (*)

Hendri Saparini , ekonom ECONIT

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 19 Desember 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan