Reformasi Satu Kaki?

Komitmen Presiden SBY untuk melakukan reformasi birokrasi, yang selanjutnya telah ditunjukkan dengan diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 2010, patut diapresiasi. Meskipun demikian, sejatinya hal ini baru menyentuh satu di antara empat arena dari konsep tata kelola pemerintahan yang baik.

Awal tahun 2011 merupakan momen yang paling tepat untuk merenung ulang rekam jejak dari gerakan reformasi di Tanah Air, khususnya pada arena birokrasi, dan mendudukkannya pada cita-cita mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

Dikatakan demikian karena secara esensial konsep good governance bertumpu pada dua isu utama, yaitu adanya perubahan peran dari masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan pada satu sisi dan perubahan kapasitas pemerintah dalam merespons dan memperjuangkan kepentingan kolektif masyarakat berdasarkan koridor institusi yang ada pada sisi yang lain (Pierre and Peters, 2000).

Ini berarti bahwa lokus dari konsep good governance mencakup dua aspek utama, yakni negara (state) dan masyarakat (society). Aspek yang pertama direpresentasikan oleh dua arena, yaitu birokrasi dan lembaga politik (political office).

Aspek yang kedua juga direpresentasikan oleh dua arena, yang tidak lain adalah masyarakat sipil (civil society) dan masyarakat ekonomi (economic society). Dengan demikian, pada tingkat yang lebih mikro, pengertian governance, sebenarnya, berkaitan dengan bagaimana empat arena tersebut berhubungan satu dengan yang lain untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi guna mencapai tujuan-tujuan bernegara.

Kontribusi dari setiap arena dalam menciptakan good governance tentunya sangat ditentukan oleh seberapa jauh prinsip-prinsip good governance itu sendiri ditegakkan. Dalam kaitan ini, Gismar dan Hidayat (2010) merumuskan sedikitnya ada enam prinsip utama dari good governance, yang meliputi partisipasi, keadilan, akuntabilitas, transparansi, efisiensi, dan efektivitas.

Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa secara substansial, konsep good governance bertumpu pada dua aspek dan empat arena. Selanjutnya, di dalam setiap empat arena tersebut harus ditegakkan enam prinsip dasar.

Degradasi konsep
Meski demikian, pada tingkat aplikasi konsep dasar good governance tersebut di negara-negara sedang berkembang pada umumnya, dan di Indonesia pada khususnya, telah terjadi degradasi yang cukup signifikan lantaran adanya konflik antara Orientasi Ideologis vs Orientasi Teknis.

Secara ideologi, hampir sebagian besar negara sedang berkembang menyatakan bahwa mereka mengadopsi konsep good governance dalam rangka untuk, antara lain, menciptakan tatanan sistem pemerintahan yang demokratis, akuntabel, dan transparan.

Walaupun demikian, pada tingkat implementasi—karena desakan kebutuhan politik dalam negeri— konsep good governance telah direduksi ke dalam serangkaian kebijakan reformasi yang sangat bernuansa teknis, dan lebih terfokus pada upaya memperbaiki kinerja dari aspek negara. Sementara aspek masyarakat, baik pada aspek civil society maupun economic society, nyaris tidak mendapatkan perhatian yang seimbang.

Lebih jauh dari itu, aktualisasi konsep good governance pada aspek negara itu sendiri juga cenderung terfokus pada reformasi arena birokrasi, sementara arena lembaga politik nyaris tidak mendapatkan perhatian yang saksama. Pada konteks inilah kita sampai pada penjelasan tentang mengapa di Indonesia, misalnya, aplikasi konsep good governance lebih terfokus pada upaya melakukan reformasi birokrasi.

Kekusutan dalam memahami konsep good governance terlihat semakin ”jenaka” tatkala akhir-akhir ini (sejak pertengahan tahun 2010) beberapa kalangan, utamanya para ”petinggi” pemerintah, mulai mewacanakan terminologi good society sebagai penyeimbang dari good governance. Fenomena ini sangat jelas menggambarkan pemahaman yang keliru karena secara implisit mengindikasikan bahwa governance diartikulasi sama dengan government.

Sementara, sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa secara konseptual, good governance mencakup dua aspek—negara dan masyarakat—di mana aspek masyarakat itu sendiri mencakup dua arena, yaitu masyarakat sipil dan masyarakat ekonomi. Jadi, dengan demikian, sesungguhnya good society sudah merupakan bagian dari good governance, bukan konsep yang terpisah.

Reformasi birokrasi?
Keseriusan pemerintah SBY untuk melakukan reformasi birokrasi antara lain ditunjukkan dengan diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 2010 tentang Pembentukan Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional dan Tim Reformasi Birokrasi Nasional.

Pembentukan Komite Pengarah dan Tim Reformasi Birokrasi Nasional tersebut memang penting dilakukan. Namun, yang jauh lebih penting dari itu adalah langkah konkret oleh dua lembaga tersebut dalam ”menerjemahkan” enam prinsip good governance pada konteks reformasi arena birokrasi, yang selanjutnya disebut sebagai grand design reformasi birokrasi nasional. Cetak biru reformasi birokrasi ini tentunya tidak hanya untuk disimpan sebagai dokumen negara, tetapi harus disosialisasikan kepada berbagai pemangku kepentingan terkait.

Jika dua hal di atas—penyusunan dan sosialisasi grand design reformasi birokrasi nasional—terus ditunda, maka cukup beralasan apabila banyak kalangan menengarai gerakan reformasi birokrasi hanya akan menjadi bagian upaya ”mengukir di atas air”, yang ujung-ujungnya lebih menekan aspek remunerasi.

Agenda ke depan
Terlepas dari kelemahan-kelemahan yang menyertainya, paling tidak, semangat yang dikobarkan oleh Presiden SBY untuk mereformasi birokrasi di Tanah Air patut untuk diapresiasi. Meski demikian, sebagaimana dikemukakan pada bagian awal tulisan, reformasi birokrasi baru menyentuh satu dari empat arena konsep good governance.

Kontribusi dari tiga arena lainnya sangat menentukan dalam upaya menciptakan good governance. Reformasi arena birokrasi tidak akan pernah mencapai hasil yang maksimal jika tidak ditopang oleh adanya perbaikan pada arena lembaga politik, masyarakat sipil, dan masyarakat ekonomi. Kasus Gayus adalah contoh konkret dari kecenderungan ini.

Oleh karena itu, disarankan agar agenda reformasi ke depan tidak hanya terfokus pada upaya reformasi arena birokrasi, tetapi juga menyentuh tiga arena good governance lainnya, yaitu lembaga politik, masyarakat sipil, dan masyarakat ekonomi. Dengan demikian, upaya untuk mewujudkan good governance ke depan tidak lagi hanya bergerak dengan ”satu kaki”, tetapi bergerak dengan ”empat kaki” yang sama kokoh dan saling menopang satu dengan lainnya.

Syarif Hidayat Peneliti pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

Tulisan ini disalin dari Kompas, 24 Januari 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan