Reformasi Birokrasi; Siapa Jamin Tak Ada Main Mata Lagi?

Sepuluh truk pengangkut peti kemas mengantre di seberang pintu jalur merah di Terminal Peti Kemas Koja, Jakarta Utara. Wajah lelah tampak di belakang kemudi. Gerah di dalam kabin truk tua tak berpendingin udara itu, kenek di sampingnya turun, berteduh sambil menunggu truk itu keluar lagi membawa peti kemas.

Tanpa tanda pengenal yang menjelaskan yang bersangkutan adalah pengurus dokumen atau sopir yang membawa surat pengambilan barang dan petugas, kini tidak ada lagi yang diperbolehkan masuk.

”Tidak lagi seberani dulu,” kata Didin (30), sopir truk pengangkut peti kemas.

Sekarang, sopir tidak perlu lagi mengeluarkan uang seribuan ”perak” untuk petugas di pos-pos yang ada. Mereka pun kian jarang memberi tip untuk operator rubber tire gantry atau yang biasa disebut tango. ”Dulu harus kasih supaya dilayani lebih dulu. Ongkosnya bisa sampai Rp 30.000,” kata Didin. Praktik liar itu menurun drastis sejak inspeksi mendadak yang dilakukan oleh Komisi Pemberantas Korupsi bersama tim Kepatuhan Internal Ditjen Bea dan Cukai pada tahun 2008.

”Jika ada, itu sembunyi-sembunyi. Namun, tiap kali saya dimintai, saya selalu bilang, ’Sedari tadi ada yang terus ngikutin saya’,” kata Didin sambil tersenyum.

Beberapa kali Didin mengalami tiba-tiba seseorang datang dan bertanya kepadanya apakah tadi ia memberi uang kepada petugas di pos atau operator alat pengangkut. ”Jadi, kita sendiri juga jaga-jaga jangan sampai kena KI (sebutan untuk petugas Kepatuhan Internal Bea dan Cukai) atau KPK,” katanya.

Reformasi
Sejak reformasi birokrasi di Departemen Keuangan digulirkan pada tahun 2007, perbaikan secara serentak dilakukan di berbagai sektor. Selain Ditjen Bea Cukai, Ditjen Pajak pun turut berbenah, bahkan menjadi etalase utama perbaikan pelayanan umum. Seorang pengusaha jasa pengangkutan, Donie Haribuan, mengatakan bahwa proses pembayaran pajak ekspor maju.

”Kami tidak perlu lagi berhadap-hadapan dengan petugas. Cukup mengisi formulir yang ada di komputer dan membayarnya melalui bank,” katanya.

Berbeda dengan Donie, pengalaman Riri (28)—karyawati sebuah perusahaan pemasok obat herbal—justru sebaliknya. Ketika tiba di Kantor Pajak Pratama Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Rabu siang, dia mendapati hanya satu dari tujuh loket pelayanan yang buka. Dia bertambah kesal ketika dirinya diminta memfotokopi sendiri KTP dan dokumen lain yang dibutuhkan untuk mengurus SPT tahunan badan.

”Di bank saja yang kita mau naruh uang disediakan mesin fotokopi, masa di sini kita harus nyari sendiri. Bener deh! Kalo di TV kayaknya bagus bener tuh iklan layanannya,” cetus Riri.

Meski pada beberapa hal reformasi birokrasi menunjukkan perbaikan, kultur, mentalitas, dan integritas aparatur masih butuh banyak perbaikan. Dengan nada dongkol, Riri mengaku sebenarnya khawatir juga pajak yang dia bayarkan bakal raib ke kantong orang seperti Gayus Tambunan.

Sebagai catatan, survei Political and Economy Risk Consultancy tahun ini di 16 negara tujuan investasi di Asia Pasifik mengategorikan Indonesia sebagai negara paling korup. Indonesia memperoleh skor 9,27, cukup jauh jika dibandingkan dengan skor pada survei tahun lalu, yaitu 8,32 (skor 0 untuk negara paling bersih dan 10 untuk negara paling korup). Indeks Persepsi Korupsi tahun 2009 yang dilansir oleh Transparency International (TI) pun masih menunjukkan buruknya tingkat ”kebersihan birokrasi” di Indonesia. Survei TI menempatkan Indonesia pada kelompok terbawah dengan angka 2,8 (0 untuk negara paling korup dan 10 untuk negara tidak korup).

Ketegasan
Donie berpendapat perlu ada evaluasi terus-menerus pada sistem yang ada dan sikap tegas pemerintah. Instansi penegak hukum, tuturnya, adalah salah satu instansi lain yang seharusnya juga melakukan reformasi. Ia mengaku tetap menyimpan kegundahan tentang siapa atau apa yang mampu menjamin reformasi itu terwujud.

Kisruh di dalam tubuh Polri, munculnya kasus Gayus, hingga isu skandal Century cukup mengkhawatirkan publik atas kinerja birokrasi. Apalagi, setelah kasus Gayus Tambunan terbongkar, jumlah pengaduan ketidakpuasan yang disampaikan melalui situs Ditjen Pajak meningkat. Dari 24 pengaduan pada bulan Februari menjadi 153 pengaduan pada Maret. Lha, siapa yang mampu menjamin tak bakal ada main mata lagi? (Doty Damayanti/B Josie Susilo Hardianto)
Sumber: Kompas, 14 Mei 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan