Refleksi HUT Emas Kejaksaan RI, 22 Juli 2010

Memugar Reputasi Kejaksaan

BANGUNAN wajah dan reputasi korps Kejaksaan Republik Indonesia benar-benar mengalami keretakan, bahkan hampir luluh lantak diterjang berbagai problema hukum yang datang silih berganti. Korps adhyaksa seolah tidak pernah sepi dari terpaan kasus yang mengerumuni dan siap memorak-porandakan reputasi lembaga penegak hukum yang dikomandoi Hendarman Supandji ini. Ironisnya, mencuatnya berbagai persoalan hukum yang dihadapi tidak semata-mata disumbangkan oleh faktor internal korps adhyaksa yang oleh mayoritas publik, belum memenuhi harapan perbaikan akan penegakan hukum negeri ini.

Kasus mutakhir yang kini menjadi perdebatan tidak berujung adalah legalitas Jaksa Agung Hendarman Supandji. Kasus ini muncul ke permukaan setelah kejaksaan menetapkan Yusril Ihza Mahendra (mantan menteri kehakiman dan HAM) sebagai tersangka kasus Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) di instansi yang pernah dikomandoinya.

Yusril dan Hartono Tanoesudibjo dalam kapasitasnya sebagai komisaris PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD) yang menjadi rekanan Depkeh dan HAM (sekarang berubah nama menjadi Kemenkum dan HAM) menyandang status tersangka berdasar Surat Perintah Penyidikan JAM Pidsus Nomor Print-79/F.2/Fd.1/06/2010 tanggal 24 Juni 2010 dan Nomor Print-80/F.2/fd.1/06/2010 tanggal 24 Juni 2010. Namun sayang, tindakan hukum yang diambil kejaksaan justru menimbulkan persoalan baru.

Yusril yang juga pakar hukum tata negara itu ternyata tidak menerima dengan legawa penetapan dirinya sebagai tersangka. Kendati hingga kini masih menunjukkan sikap kooperatif ketika menghadiri setiap pemeriksaan di kejaksaan, gerakan perlawanan juga turut digencarkan. Setidaknya langkah itu tecermin dari upaya hukum yang dilakukan dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.

Selain itu, profesor hukum tata negara tersebut meminta MK mengeluarkan putusan sela (provisi) agar pelaksanaan berlakunya pasal 22 ayat (1) UU Kejaksaan dapat ditunda hingga ada putusan akhir terhadap permohonan judicial review yang sedang berjalan. Siasat hukum yang digulirkan Yusril sendiri tergolong dalam kategori upaya antisipasi. Sebagaimana berdasar UU No 24 Tahun 2003 tentang MK dijelaskan bahwa putusan MK tidak berlaku surut.

Dengan demikian, untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak konstitusional yang bersangkutan, perlu perlindungan dari MK. Dasar pengajuan permohonan ini juga bisa disandarkan pada pasal 63 UU MK yang menyebutkan, "Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi".

Selain itu, kasus yang sama persis pernah diputus oleh mahkamah pengawal konstitusi itu. Lembaga negara yang dibidani amandemen ketiga UUD 1945 itu pernah memberikan putusan provisi terhadap perkara UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diajukan dua unsur pimpinan KPK, Bibit S. Rianto dan Candra M. Hamzah.

Tantangan Berat
Terlepas dari upaya hukum yang digencarkan Yusril, korps adhyaksa saat ini benar-benar menghadapi tantangan berat dalam mengemban tugasnya. Kelalaian pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dalam menertibkan administrasi hukum negeri ini telah mengakibatkan kejaksaan terkena getahnya. Fakta hukum ini semakin memojokkan keberadaan kejaksaan dalam ranah penegakan hukum di tanah air.

Belum cukup sampai di situ, korps adhyaksa juga masih harus menerima aib buruk dari penanganan kasus dugaan "kriminalisasi" terhadap dua unsur pimpinan KPK, Candra M. Hamzah dan Bibit S. Rianto. Hingga kini, penerbitan SKPP terhadap kedua unsur pimpinan KPK itu masih menempuh jalan berliku.

Penerbitan SKPP itu sendiri hingga kini menimbulkan polemik karena ditengarai kekurangcermatan dalam mengefektifkan langkah hukum kala itu. Dari gejolak dan tingginya animo publik dalam mengubur kasus "kriminalisasi" KPK itu, semestinya kejaksaan menggunakan kewenangan jaksa agung untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum (deponeering). Kewenangan ini jelas tertuang dalam pasal 35 huruf c UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Dalam bagian penjelasannya dikemukakan bahwa makna istilah kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara atau masyarakat luas.

Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Alasan penerbitan SKPP kala itu justru digulirkan dengan menerapkan dalih yang semestinya menjadi latar belakang dalam mengesampingkan perkara demi kepentingan umum (deponeering). Penerbitan SKPP sendiri lazimnya dilakukan bila tidak ditemukan alat bukti yang cukup dalam melimpahkan suatu berkas perkara ke pengadilan. Namun, yang terjadi justru kombinasi keduanya. Mengeluarkan SKPP dengan menerapkan dasar hukum deponeering.

Lebih memprihatinkan lagi, untuk memperjuangkan keabsahan SKPP yang terlanjur digulirkan itu, kejaksaan mengambil langkah upaya hukum luar biasa atau peninjauan kembali (PK). Sementara dalam pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), secara eksplisit dijelaskan bahwa "Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana atau ahli warisnyalah yang dapat mengajukan permintaan PK kepada MA". Pihak yang berada di luar itu sebagaimana yang diisyaratkan dalam padal 261 ayat (1) KUHP tidak diperkenankan mengajukan PK, termasuk pihak kejaksaan.

Baik kasus legalitas jaksa agung maupun kerancuan penerbitan SKPP Bibit S. Rianto dan Candra M. Hamzah hanyalah sekelumit persoalan yang menimpa institusi kejaksaan. Kendati begitu, persoalan ini menjadi aib besar yang cukup mencoreng dan bahkan meretakkan bangunan reputasi lembaga yang satu ini.

Tiada harapan lain, bahwa ke depan sangat diharapkan keseriusan lembaga dengan seloka "satya adhi wicaksana" ini mampu memugar kembali reputasi yang sudah sempat centang-perenang dengan menunjukkan kinerja mumpuni. Tugas sebagai abdi negara harus dibangun dengan kinerja profesional demi menegakkan keadilan dan kebenaran serta memulihkan kepercayaan publik yang sempat tergores luka dan luluh lantak ditelan masa. Dirgahayu Emas Korps Kejaksaan RI.

Janpatar Simamora, dosen Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan; sedang studi di Program Pascasarjana UGM Jogjakarta
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 22 Juli 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan