<p> Rapat Paripurna

Rapat Paripurna DPR, satu hari menjelang berakhirnya masa jabatan DPR Periode 2004-2009, menjadi hari bersejarah bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. Hari itu, DPR mengesahkan RUU Pengadilan Tipikor, yang sudah ditunggu hampir tiga tahun lamanya. Meski RUU yang disahkan DPR ini masih banyak "bolong-bolongnya", dan menyisakan sejumlah persoalan, setidaknya, lahirnya UU Pengadilan Tipikor, dapat memberikan pijakan napas baru bagi Pengadilan Tipikor, dalam meneruskan tugas pemberantasan korupsi. Catatan sejarah kedua, hari itu, DPR tidak melanjutkan niatnya, untuk mengamputasi kewenangan penuntutan KPK.

Satu-satunya Pengadilan Korupsi
Kendati MK telah memberikan penegasan mengenai konstitusionalitas Pengadilan Tipikor, dalam proses pembahasan RUU Pengadilan Tipikor, sejumlah anggota Pansus RUU tersebut, seringkali masih memperdebatkan perihal urgensi dan konstitusionalitas Pengadilan Tipikor. Perliku semacam ini sempat memunculkan sinyalemen, bahwa DPR sengaja mengulur-ulur proses pembahasan RUU tersebut, agar tidak selesai pada waktunya. Dalam perjalanan pembahasan, juga muncul usulan dari mayoritas fraksi di DPR, untuk mengebiri kewenangan penyadapan dan penuntutan KPK. Padahal, jikalau melihat draft RUU yang diusulkan pemerintah, dan usulan Daftar Inventaris Masalah (DIM, yang diajukan fraksi-fraksi, tidak ada satu pun usulan materi pemangkasan kewenangan KPK. Lamanya proses pembahasan dan wacana pemandulan kewenangan KPK, memberi pertanda, ada upaya sistematis untuk menghambat gerak pemberantasan korupsi.

Lahirnya UU Pengadilan Tipikor, telah menempatkan Pengadilan Tipikor sebagai satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi. Selain itu, undang-undang ini juga memberikan perluasan makna perkara tindak pidana korupsi, yang dapat diajukan ke Pengadilan Tipikor. Tidak hanya delik korupsi yang diatur dalam UU No 31/1999 jo UU No. 20/2001. Termasuk dalam wewenang pengadilan ini, adalah tindak pidana pencucian uang, yang pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi, dan tindak pidana yang dalam undang-undang lainnya, ditentukan sebagai tindak pidana korupsi. Penguatan ini paling tidak menjadi penegasan, untuk meningkatkan kerja pemberantasan korupsi ke depan.

Napas Baru Menyesakkan
Meski ada penguatan, namun lahirnya undang-undang ini juga tak sepenuhnya sempurna. Sejumlah materi di dalamnya, diprediksikan bermasalah di tingkat implementasi. Beberapa yang krusial antara lain: Pertama, ketentuan Pasal 26 ayat (3), disebutkan,"penentuan mengenai jumlah dan komposisi majelis hakim sebagaimana ... ditetapkan oleh ketua pengadilan masing-masing atau Ketua Mahkamah Agung sesuai dengan tingkatan dan kepentingan pemeriksaan perkara kasus demi kasus." Ketentuan ini jelas melahirkan dualisme dalam penangan perkara korupsi, dan tidak adanya kepastian hukum bagi tersangka korupsi. Karena, bisa saja satu kasus korupsi diperiksa dengan jumlah hakim adhoc lebih banyak, sementara yang lain hakim kariernya justru lebih banyak. Dengan komposisi hakim yang berbeda, kemungkinan hakim dalam memberikan putusan pun berbeda. Terang ketentuan ini tidak sejalan dengan putusan MK pada pengujian UU KPK, yang memberikan perintah untuk menghilangkan dualisme dalam pemeriksaan perkara korupsi di pengadilan. Ketentuan di atas juga potensial bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945, yang menghendaki adanya perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pasal 28D UUD 1945 menegaskan,"setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum."

Kedua, ketentuan Pasal 34 poin a, disebutkan perkara yang sedang diperiksa di Pengadilan Tipikor, yang dibentuk berdasarkan UU No 30/2002, tetap diperiksa dan diadili sampai diputus, berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Pembatasan berdasar pada perkara yang sedang diperiksa, bukan berdasar pada terbentuknya Pengadilan Tipikor yang baru, berpotensi akan menghentikan sementara penuntutan KPK. Dan, "membubarkan sementara" Pengadilan Tipikor. Karena, pembentukan pengadilan dapat dilakukan selambat-lambatnya dua tahun, setelah RUU disahkan.

Ketiga, ketentuan Pasal 35, yang menyebutkan bahwa Pengadilan Tipikor dibentuk pada setiap ibu kota provinsi, yang yurisdiksinya meliputi daerah hukum propinsi bersangkutan, dengan waktu pembentukan maksimal dua tahun. Meskipun bentuknya imperatif bagi Mahakamah Agung, ketentuan ini tetap memunculkan kekhawatiran dan pertanyaan. Bilamana dalam waktu dua tahun, pada suatu provinsi tidak terbentuk Pengadilan Tipikor, akan diajukan kemanakah perkara korupsi pada provinsi tersebut? Sebab, precedent yang ada selama ini, sulit bagi Mahkamah Agung untuk membentuk pengadilan sebanyak itu, dengan waktu yang begitu singkat. Bahaya tentunya, jikalau penanganan perkara korupsi kemudian dilimpahkan ke pengadilan negeri. Selain menimbulkan ketidakpastian hukum, penanganan perkara korupsi oleh pengadilan negeri berarti juga mengembalikan dualisme.

Pembentukan pengadilan di setiap ibu kota provinsi, dikhawatirkan pula akan membuka prkatik mafia peradilan baru. Sebab kecenderungan yang ada selama ini, para pelaku korupsi adalah mereka yang dekat dengan kekuasaan, baik secara struktural ataupun kultural. Seperti posisi pelaku sebagai tokoh masyarakat ataupun sebagai tokoh sentral di dalam pemerintahan daerah. Realitas ini tentunya akan mengancam integritas Pengadilan Tipikor, independensi hakim, serta aparat penegak hukum lainnya, ketika akan melakukan upaya-upaya hukum atas suatu tindak pidana korupsi. Apalagi dengan pengawasan yang sulit dilakukan, akibat banyaknya Pengadilan Tipikor yang musti diawasi.

Beberapa hal perlu didorong, untuk menyikapai sejumlah permasalahan di atas. Agar UU Pengadilan Tipikor yang seharusnya menjadi nafas untuk melanjutkan eksistensi Pengadilan Tipikor, tidak menjadi napas yang justru menyesakkan. Pertama, perlu mendorong uji materiil terhadap beberapa pasal bermasalah, kepada MK. Hal ini penting untuk menghindarkan Pengadilan Tipikor, dari centang-perenang persoalan yang melingkupinya. Kedua, meminta kepada Mahkamah Agung, untuk segera melakukan pembentukan Pengadilan Tipikor, di Jakarta Pusat khususnya. Supaya penuntutan KPK tidak berhenti sementara, dan Pengadilan Tipikor tidak "bubar" untuk sementara waktu.

Wahyudi Djafar, Peneliti Hukum dan Konstitusi Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN)

Tulisan ini disalin dari Jurnal Nasional, 7 Oktober 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan