”Quo Vadis” Skandal Korupsi BLBI
Setelah hampir sepuluh tahun nyaris tak terdengar, penanganan perkara korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia akhirnya kembali muncul ke permukaan. Mulai tebersit harapan agar skandal korupsi terbesar di negeri ini bisa segera dituntaskan.
Harapan ini muncul dengan ditandai oleh dua peristiwa hukum yang terkait dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Pertama, persidangan terhadap Syafruddin A Temenggung, mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Senin (14/5/2018), di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Syafruddin didakwa melakukan penyalahgunaan wewenang dalam pemberian surat keterangan lunas (SKL) terhadap Sjamsul Nursalim, salah satu debitor BLBI Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada 2004. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan dugaan kerugian keuangan negara dalam perkara ini mencapai Rp 4,58 triliun.
Kedua, terpidana korupsi BLBI Samadikun Hartono mengembalikan sisa kerugian negara sebesar Rp 87 miliar secara tunai ke kas negara, Kamis (17/5) lalu. Dalam perkara korupsi BLBI, Samadikun divonis 4 tahun penjara dan pernah buron ke luar negeri selama 13 tahun hingga akhirnya ditangkap pada 2016.
Uang pengganti hasil korupsi Rp 169 miliar kemudian dibayar Samadikun secara mencicil sebanyak empat kali, yaitu Rp 40 miliar, Rp 41 miliar, Rp 1 miliar, dan terakhir Rp 87 miliar.
Skandal korupsi
Korupsi BLBI adalah salah satu skandal korupsi terbesar dan dinilai belum tuntas hingga hari ini. Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan tahun 2000 menyebutkan kerugian negara dari skandal BLBI mencapai Rp 138,4 triliun.
Sedangkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan menyebutkan kerugian negara akibat korupsi BLBI adalah sebesar Rp 106 triliun.
Proses penyelesaian perkara korupsi BLBI—sebelum ditangani KPK—selalu diwarnai beberapa peristiwa yang kontroversial. Dari aspek penegakan hukum, dalam catatan Indonesia Corruption Watch hingga 2006 terdapat 65 debitor BLBI yang telah diperiksa pihak kejaksaan. Baru 16 orang yang diproses hingga ke pengadilan.
Sebagian besar pelaku telah menjalani hukuman di penjara. Sebanyak 11 orang dihentikan penyidikannya dan selebihnya 38 orang tidak jelas proses penyelidikan dan penyidikannya. Dari 7 pelaku korupsi BLBI yang buron, baru tertangkap 4 orang, 1 meninggal, dan 2 lainnya masih lolos.
Lima pimpinan Bank Indonesia juga pernah diproses secara hukum karena dinilai ikut bertanggung jawab.
Proses hukum terakhir dalam perkara korupsi BLBI tercatat pada 2007 lalu ketika Kejaksaan Agung membentuk tim khusus untuk menyelidiki keterlibatan Sjamsul dalam korupsi BLBI untuk BDNI. Namun, sayangnya, Kejaksaan Agung pada 29 Februari 2008 menghentikan penyelidikan perkara tersebut dan menyerahkan kepada Kementerian Keuangan untuk diselesaikan di luar mekanisme peradilan. Setelah itu penyelesaian skandal korupsi BLBI tidak lagi terdengar kelanjutannya.
Kebijakan pemerintah
Di luar penyelesaian secara hukum, pemerintah pada 2003 pernah mengeluarkan kebijakan pembebasan dan pengampunan (release and disharge) dan pemberian SKL bagi debitor BLBI meskipun banyak di antaranya bermasalah.
Sejumlah fraksi di DPR juga pernah mengajukan hak interpelasi dan hak angket mengenai BLBI meskipun hasilnya juga tidak jelas. Ketidakjelasan juga muncul dari perkembangan penyelesaian utang-utang para debitor BLBI. Tidak ada informasi yang jelas siapa debitor BLBI yang kooperatif dan tidak kooperatif. Selain itu, perampasan dan pengelolaan aset milik debitor BLBI juga tidak jelas juntrungannya.
Pada akhirnya meski sudah ada perkara korupsi BLBI yang mulai memasuki proses persidangan dan adanya terpidana yang melunasi uang pengganti korupsi BLBI, tetapi perlu ada upaya yang lebih progresif dalam menuntaskan korupsi BLBI. Caranya adalah melalui penegakan hukum dan nonpenegakan hukum berupa penyelesaian kewajiban yang harus dibayar para debitor BLBI.
Untuk langkah penegakan hukum, penyelesaian skandal korupsi ini diharapkan tidak saja berhenti hanya menjerat Syafruddin. KPK tentu saja dituntut untuk menelisik keterlibatan dari Sjamsul maupun korporasi miliknya sebagai pihak yang diduga menerima manfaat dari pemberian SKL BLBI dari Syafruddin selaku Kepala BPPN.
Meski demikian, upaya memeriksa Sjamsul juga tidak mudah karena dirinya berada di Singapura dan Indonesia tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Singapura.
Proses hukum
Lembaga antirasuah ini juga sebaiknya mempelajari kembali proses hukum terhadap para debitor BLBI lain yang dihentikan atau belum diselesaikan oleh kepolisian dan kejaksaan. Jika diperlukan KPK bahkan sebaiknya mengambil alih perkara-perkara korupsi BLBI yang macet tersebut.
Sedangkan langkah nonpenegakan hukum yang bisa dilakukan adalah Presiden Joko Widodo perlu merevisi kebijakan pemerintahan sebelumnya yang memperlakukan secara istimewa para debitor BLBI dan mengumumkan kepada publik mengenai laporan perkembangan penyelesaian utang-utang debitor BLBI.
Berdasarkan hasil audit BPK tahun 2006 terdapat 10 debitor BLBI yang dinilai tidak kooperatif dan 7 orang yang belum melunasi kewajibannya. Perlu ada upaya paksa terhadap debitor BLBI yang belum melunasi kewajiban utangnya. Bagi mereka yang tidak kooperatif harus diserahkan kepada penegak hukum atau KPK agar diproses secara hukum.
Pada akhirnya semua pihak berharap KPK mampu menuntaskan dan menjerat semua pelaku yang diduga terlibat dalam skandal korupsi BLBI. Selain itu, pemerintah juga dituntut untuk berani mengambil langkah tegas agar dana BLBI yang telanjur dikorupsi oleh para debitor BLBI dapat kembali ke kas negara dan bisa digunakan untuk kemakmuran rakyat.
Emerson Yuntho, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
Tulisan ini disalin dari Harian Kompas, 5 Juni 2018