Putusan PTUN: Patrialis Harus Mundur dari Jabatan Hakim MK

PTUN mengabulkan gugatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan ICW soal Keppres No 87/P Tahun 2013 tentang Pengangkatan Patrialis Akbar sebagai Hakim Konstitusi. PTUN mengabulkan gugatan ini sepenuhnya. Konsekuensinya,presiden harus berhentikan Patrialis Akbar dari jabatan Hakim MK.

Pada 23 Desember 2013 lalu, majelis hakim yang diketuai diketuai Teguh Satya Bhakti telah memutuskan Keppres No 87/P Tahun 2013 yang menjadi objek sengketa batal dan tidak sah. Untuk itu, majelis hakim memerintahkan Presiden SBY selaku tergugat untuk mencabut Keppres tersebut. 

Garis besar isi putusan PTUN

Majelis Hakim PTUN menerima kedudukan hukum YLBHI dan ICW selaku para penguggat, dengan menafsirkan secara luas bahwa yang dimaksud dengan kepentingan lembaga swadaya masyarakat (LSM) di sini tidak hanya soal fokus isu masing-masing lembaga sesuai AD/ART, namun juga menyangkut kepentingan umum.

Pasal 19 Undang-undang Mahkamah Konstitusi mengamanatkan syarat mutlak “transparansi dan partisipatif” sebagai syarat mutlak proses pengangkatan Hakim MK. Walaupun secara teknis, pemerintah, DPR, dan Mahkamah Agunglah yang melaksanakan prosesnya, namun ketiga lembaga ini tidak bisa mengesampingkan ketentuan ini.

Pemerintah sudah membuktikan inkonsistensinya dalam menegakkan hukum, dalam hal ini soal pengangkatan hakim MK, dengan melahirkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) No. 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua UU MK.

Majelis hakim juga menyatakan bahwa pemerintah telah membuktikan inkonsistensi menegakkan hukum, dalam hal ini soal pengangkatan hakim MK. Lewat terbitnya Perppu ini, pemerintah telah menyadari kekeliruannya.

Perppu ini menunjukkan bahwa presiden keliru dalam melakukan proses seleksi hakim MK. Sehingga, syarat dan tata cara seleksi hakim MK menjadi berbeda dengan sebelumnya, misalnya dengan pembentukan panel ahli dan calon hakim MK minimal sudah berhenti dari dunia politik.

MK adalah salah satu pusat kekuasaan dalam suprastruktur politik negara, sekaligus sebagai pelaksana kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, pengisian jabatan hakim MK harus dipilih dengan tata cara pencalonan yang transparan dan melibatkan partisipasi publik, dan bukan dengan cara diangkat melalui penunjukan langsung oleh lembaga yang sederajat dengan MK (dalam hal ini Presiden RI).

Dalam amar putusan, majelis hakim memutuskan:

No.

Amar Putusan

1.                 

Mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya

2.                 

Menyatakan batal Keputusan Presiden Republik Indonesia No 87/P/Tahun 2013

3.                 

Mewajibkan Tergugat (Presiden RI) untuk mencabut Keputusan Presiden Republik Indonesia  

4.                 

Mewajibkan kepada Tergugat untuk menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

5.                 

Menghukum Tergugat dan Tergugat II Intervensi untuk membayar biaya-biaya yang timbul dalam perkara ini secara tanggung renteng sebesar Rp. 162,000- (seratus enam puluh ribu rupiah).

Tabel 1. Ringkasan amar putusan Majelis Hakim PTUN

Sebenarnya sebelum memutuskan menggugat, koalisi telah memperingatkan Presiden SBY lewat somasi.Karena presiden tidak menanggapi, maka akhirnya koalisi memutuskan mengambil jalur hukum lewat gugatan ke PTUN.

“Kami memberi penghargaan setinggi-tingginya pada PTUN atas putusan ini,” ujar peneliti ICW Emerson Yuntho. Bagi koalisi, putusan ini sangat progresif dan harus menjadi acuan bagi semua pihak.

“Ini adalah kado bagi penegakan hukum di Indonesia. Majelis hakim PTUN tidak hanya menegakkan hukum, tapi juga menyelamatkan MK,” kata Emerson. Selain itu, putusan ini adalah yurisprudensi baru dalam dunia hukum Indonesia, setelah adanya puusan yang menerima kedudukan hukum LSM bidang lingkungan.

Koalisi mendesak Presiden RI untuk segera melaksanakan putusan PTUN ini dengan mencabut Kepres No 87/P Tahun 2013 ini.

“Sebaiknya pemerintah tidak melakuan banding, karena tindakan ini bertentangan dengan semangat Perppu No. 1 Tahun 2013 yang dikeluarkan presiden sendiri,” saran Emerson.

Mahkamah Konstitusi juga harus menghormati putusan PTUN. “Jika MK tidak kooperatif dan tidak tunduk kepada Putusan PTUN, maka jelas MK mempraktikan kepada publik sebuah tindakan yang tidak terpuji yang berimplikasi kepada makin jatuhnya martabat MK di hadapan publik,” Emerson memperingatkan.

Koalisi juga mengecam pernyataan Patrialis Akbar yang mengasosiasikan Putusan PTUN sebagai tindakan yang akan melumpuhkan MK secara kelembagaan. Padahal, inti gugatan ini adalah Keputusan Presiden yang tidak taat kepada hukum, bukan posisi Patrialis sebagai pribadi.

“Patrialis harus menghormati putusan PTUN. Jika Patrialis tidak mentaati putusan PTUN dan keras kepala mempertahankan kursi hakim konstitusi, maka wajar saja jika publik menilai Patrialis tidak memiliki sikap kenegarawanan,” tutur Emerson.

“Jika Patrialis masih ingin mengejar kursi hakim MK, maka ia harus tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang mensyaratkan seleksi dengan transparan dan partisipatif,” kata Emerson.

Perppu No. 1 Tahun 2013 menegaskan bahwa pemilihan hakim MK melewati proses Panel Ahli. “Bukan dengan jalur atau mekanisme yang tidak transparan dan partisipatif,” tambah Emerson.

Koalisi juga mendesak Komisi Yudisial segera membentuk Panel Ahli untuk mengisi dua posisi hakim konstitusi yang kosong, yaitu Akil Mochtar dan Patrialis Akbar.

Sebelumya, Koalisi menggugat Presiden untuk membatalkan Keputusan Presiden (Keppres) tentang Pengangkatan Patrialis Akbar selaku Hakim Konstitusi. Koalisi mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada Senin, 12 Agustus 2013 lalu, tepat sehari sebelum pengangkatan Patrialis.

Koalisi menilai tindakan presiden menunjuk langsung Patrialis jadi hakim MK tanpa melalui ketentuan pemilihan hakim MK telah melanggar prosedur yang benar sesuai Pasal 19 Undang-undang MK. Pasal ini mengamanatkan pencalonan hakim konstitusi harus dilaksanakan secara transparan dan partisipatif. Dengan demikian, keputusan ini cacat hukum.

Pemilihan Patrialis Akbar sebagai Hakim MK diduga dilakukan sembunyi-sembunyi. Patrialis menyatakan dirinya sudah pernah di-fit and proper test, sementara Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin membantah hal itu. 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan