Putusan Bebas Tipikor

PUTUSAN bebas Pengadikan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bandung terhadap Wali Kota (nonaktif) Bekasi Mochtar Muhammad, terdakwa kasus korupsi, pada 11 Oktober lalu mendapat reaksi keras, baik dari lembaga penegak hukum seperti Mahkamah Agung (MA) maupun masyarakat yang diwakili Indonesia Corruption Watch (ICW). Reaksi itu bisa dipahami mengingat jaksa KPK menuntut hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp 300 juta.

Putusan bebas pengadilan tipikor itu ibarat petir di siang bolong. Kondisi penegakan hukum akan makin chaos jika ada kasasi atas putusan tersebut mengingat berdasarkan Pasal 67 dan 244 KUHAP putusan bebas tidak dimungkinkan dikasasi. De facto MA bisa dianggap tidak konsisten dengan ketentuan KUHAP.  

Mencermati reaksi keras terhadap putusan bebas pengadilan tipikor dari sisi perspektif dan hakikat, sebenarnya pengadilan tidak menyalahi asas-asas dalam bernegara hukum. Terkait fungsinya untuk mengadili para pihak yang berperkara maka konsekuensi logisnya ada dua, yaitu menghukum atau membebaskan.

Seandainya ada asumsi dari masyarakat, apalagi instansi lembaga hukum, bahwa pengadilan hanya berfungsi untuk menghukum berarti mengingkari hakikat dan fungsi sesungguhnya. Proses penegakan hukum tidak boleh dilakukan dengan cara-cara melanggar asas-asas hukum. Artinya, aparat penegak hukum harus bertindak profesional dan independen, meskipun perkara yang ditanganinya adalah kasus yang menyita perhatian publik, seperti korupsi.

Salah satu asas yang cenderung dilanggar dalam gelar perkara korupsi adalah asas praduga tidak bersalah (the presumption of innocence). Sebelum hakim menyimpulkan hasil persidangan yang semuanya berdasarkan fakta hukum, seseorang yang diduga korupsi pun harus tetap dianggap tak bersalah. Indonesia tidak menganut asas praduga bersalah (the presumption of guilt) tetapi sebaliknya menganut asas praduga tidak bersalah.

De facto, orang yang diduga korupsi, sejak proses penyelidikan hingga persidangan sudah  dianggap bersalah (the presumption of guilt). Bahkan sering terjadi media massa ikut ”mengadili” misalnya memberitakan secara tendensius atau menciptakan opini publik yang bisa mengganggu independensi hakim memutuskan bersalah tidaknya seseorang. Inilah yang disebut trial by the press.

Profesional Independen
Pada prinsipnya, kita perlu mengapresiasi eksistensi pengadilan tipikor dan menghargai kinerja aparat kejaksaan dalam upaya penegakan hukum, khususnya terhadap kejahatan korupsi. Demikian juga terhadap eksistensi BPKP. Namun kenyataannya, baik BPKP, jaksa, maupun hakim tipikor kini cenderung menyimpang dari fungsinya sebagai penegak hukum, terutama dalam penyelesaian perkara korupsi.

BPKP seyogianya tetap independen dan profesional menjalankan tugasnya, tidak terpengaruh dan mengikuti aturan main jaksa. Indikasi tidak independen dan tidak profesional, misalnya ketika BPKP terpengaruh dan dengan sengaja mengikuti pesan-pesan jaksa, yang dilatarbelakangi karena jaksa terpola pada kuantitas tuntutan. Artinya, jaksa hanya mengejar target sehingga berusaha sekuat tenaga agar terdakwa korupsi didakwa dengan hukuman berat dan tidak diputus bebas oleh hakim tipikor.

Para jaksa yang berpola pikir demikian, bukan tanpa alasan karena kinerja mereka diamati dan dievaluasi oleh atasan.  yang kemudian mengevaluasi kinerja para jaksa.

Celakanya, parameter yang dipakai menyimpang dari asas-asas dalam berhukum, misalnya jaksa yang menuntut dengan hukuman sangat berat terhadap terdakwa korupsi, justru dipromosikan. Sebaliknya, mereka yang membebaskan terdakwa kasus korupsi bisa celaka, istilahnya ”dipromosingkirkan” alias jadi jaksa nonpalu, nonjob, atau dipindahkan ke daerah terpencil.

Bukan hanya auditor BPKP dan jaksa yang mulai tampak fenomenanya berhukum atas dasar pesanan tertentu, tetapi juga --yang paling dekat dan mudah dibaca oleh masyarakat -- adalah hakim tipikor. Hakim pengadilan tipikor seakan-akan hanya ditugaskan menghukum seberat-beratnya terdakwa korupsi. Celakanya lagi, parameter itu kini dipakai untuk mengukur keberhasilan hakim tipikor. (10)

Agus Nurudin SHCN MH, advokat, kandidat doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 24 Oktober 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan