Politisi DPR Terlibat Calo Anggaran?

Belum lagi selesai isu tentang kunjungan ke luar negeri dan kenaikan gaji anggota DPR, tiba-tiba tersingkap kasus tak sedap lainnya, yaitu praktik percaloan penentuan anggaran. Tudingan itu dialamatkan pada sejumlah anggota dewan yang diduga calo penentuan anggaran projek dan bantuan bencana alam.Kasus itu mencuat setelah Moh. Darus Agap (Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi) mengemukakan temuannya tentang dokumen jual beli budgeting senilai Rp.609 miliar untuk 174 kabupaten dan kota seluruh Indonesia. Menurut anggota Komisi V itu, sejumlah anggota dewan yang menjadi koordinator penyaluran dan pencairan dana bantuan menghubungi sejumlah bupati di daerah. Mereka meminta fee bila bupati yang bersangkutan menginginkan pencairan dana bantuan itu segera turun. Hasil temuan itu tersingkap adanya selisih angka dana bantuan pascabencana, yang seharusnya Rp.633 miliar, tetapi tercantum Rp.609 miliar. Konon para pelakunya berasal dari dalam (anggota DPR sendiri-red) dan ada juga dari luar DPR. (Media Indonesia, 13/9/05).

Buktinya, ada sejumlah daerah di Sulawesi Selatan yang sudah mengucurkan uang komisi sebesar Rp.1,8 miliar, kepada anggota DPR untuk mendapatkan dana bencana alam. Dana tersebut sebagai uang pelicin yang diberikan secara tunai. Artinya, dana itu diterima oknum dewan sebagai jaminan agar mempermudah pencairan. Menjadi pertanyaan kita, mengapa praktik percaloan itu bisa terjadi di lembaga yang terhormat seperti DPR? Upaya apa yang semestinya dilakukan untuk menghentikan praktik perampasan uang rakyat itu?

Perilaku tidak terhormat itu sungguh telah mencoreng lembaga tinggi negara dan melecehkan tugas fungsinya sebagai lembaga tinggi negara. Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, pasal 20A Ayat (1) disebutkan, DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Dengan demikian, harus kita diakui secara jujur bahwa dari ketiga fungsi pokok DPR itu, ternyata fungsi legislasilah lebih mendapat sorotan rakyat selama ini. Padahal, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan tidak kalah pentingnya jika dibandingkan dengan fungsi legislasi.

Hal yang paling mudah kita cermati di lembaga perwakilan rakyat yakni bisa dilihat dari lahirnya proses-proses politik dalam merumuskan kebijakan publik. Selama ini, sebagian besar proses politik strategis dilakukan secara tertutup dan bukan sebaliknya, maka dengan mudah ditebak.

Coba saja lihat ketika lembaga itu melahirkan proses perumusan dan kebijakan publik, syarat kepentingan politik sesaat dan jauh dari keberpihakkan kepada rakyat. Tidak hanya menyangkut peningkatan anggaran di departemen dan penyaluran dana pembangunan di daerah-daerah, namun sudah meraksuk pada proses perumusan suatu undang-undang yang konon syarat muatan conflict of interest. Contoh, saat pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba) yang dihentikan, karena tersandung dugaan suap sebesar Rp.7 miliar yang melibatkan anggota DPR.

Contoh lain, kontroversi praktik percaloan anggaran APBN yang diduga melibatkan para politisi. Sejumlah anggota Komisi VI DPR menuding ada calo-calo DPR yang bermain dan menggerogoti di balik keputusan Komisi V untuk memberikan subsidi sebesar Rp 450 miliar dari APBN kepada PT Merpati Nusantara Airlines.

Padahal, Meneg BUMN Sugiarto mengakui, kondisi operasional Merpati saat ini masih bertahan, namun kerugian hingga Juli 2005 mencapai Rp 153 miliar dengan arus kas negatif rata-rata Rp 21 miliar per bulan. Total kewajiban perusahaan mencapai Rp 1,6 triliun, di mana Rp 1,42 triliun merupakan kewajiban jangka pendek. (BI,19/9/05). Yang lebih mengejutkan lagi, yakni adanya konspirasi bahwa dana hasil praktik percaloan itu sebagian dialokasikan untuk kepentingan fraksi dan partai. Padahal, sebagai kumpulan orang pintar, partai, fraksi, atau pribadi-pribadi partai sebaiknya mencari peluang lain.

Perlu diingat, anggota DPR bukanlah pemalak, karena itu memang tak sepantasnya para anggota dewan terhormat memalak uang rakyat. Belajar dari pengalaman itu, proses penyusunan dan pembahasan rencana keuangan negara lebih tertutup jika dibandingkan dengan pembahasan rancangan undang-undang. Padahal, fungsi strategis keuangan negara, proses pembahasan rancangan keuangan negara harus dilakukan secara terbuka. Keterbukaan itulah yang diperlukan guna mencegah kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dalam penyusunan anggaran. Hal itu sudah terbukti dan terjadi di beberapa daerah dengan munculnya kasus-kasus markup dalam penggunaan APBD pada saat menyusun dan membahas anggaran.

Menurut analisis Indonesia Corruption Watch (ICW), salah satu peran penting yang harus dilakukan oleh anggota lembaga perwakilan rakyat untuk memberantas korupsi, yaitu memastikan integritas personal mereka sendiri dan juga parlemen, sehingga dapat menjadi aktor yang kredibel dalam mengontrol semua jajaran pemerintah. Oleh karenanya, anggota lembaga perwakilan rakyat mesti menggunakan otoritas lembaga mereka untuk memastikan bahwa tidak ada alasan yang dapat membenarkan adanya perilaku menyimpang untuk menyelewengkan keuangan negara

Bila diselusuri penyimpangan yang dilakukan dalam pengelolaan keuangan negara, praktik percaloan tidak hanya dilakukan dalam bentuk mempermudah atau memperlancar pencairan penurunan mata anggaran tertentu. Namun, sudah sampai pada memberikan jaminan seperti projek-projek tertentu tidak dihapus dalam struktur anggaran yang sedang dibahas. Biasanya, untuk memastikan bahwa projek tertentu tetap dipertahankan, calon pemegang projek akan melakukan segala cara guna mendekati pihak-pihak yang terkait langsung dengan pembahasan anggaran.

Jadi wajar, apabila republik ini masuk dalam kategori negara limbung (state manqui) atau masuk dalam deretan negara gagal. Sebab korupsi merajalela, keamanan kurang terjaga, investasi rendah, pemerintah pusat lemah terhadap tekanan daerah, dan pemerintah kurang berani menolak tekanan asing. Ini merupakan indikator bahwa republik ini terancam bangkrut.

Dalam konteks praktik percaloan di DPR, lebih disebabkan karena hilangnya kesadaran sebagian anggota parlemen tentang makna pengawasan. Bagi yang terlibat praktik percaloan, sadar atau tidak, mereka sedang menggadaikan wibawa lembaga perwakilan rakyat kepada pihak lain. Terutama yang masuk dalam bingkai fungsi pengawasan. Bisa jadi, peluang untuk melakukan percaloan sengaja diciptakan pihak lain, agar lembaga perwakilan rakyat kehilangan nyali dan gigi untuk mengawasi segala bentuk penyalahgunaan keuangan negara.

Padahal, anggota parlemen memiliki tingkat pendidikan lumayan tinggi, mestinya tahu etika, pengertian tentang makna nilai-nilai luhur, dan kesadaran religiusitas yang baik. Mereka seharusnya punya standar kehidupan yang terhormat. Tetapi, kenyataannya dari kelompok mereka justru terlibat dalam praktik percaloan di DPR.

Banyak kalangan percaya bahwa praktik percaloan hanya dilakukan oleh sebagian anggota DPR. Karenanya, sebagian besar anggota DPR menghendaki mereka yang terlibat diproses sesuai dengan mekanisme internal DPR dan ketentuan hukum yang berlaku. Buktinya, untuk menindaklanjuti praktik percaloan itu, Badan Kehormatan (BK) DPR telah mengambil langkah cepat yaitu meminta keterangan beberapa orang anggota DPR. Bahkan, berdasarkan keterangan Ketua BK DPR Slamet Effendi Yusuf, BK akan menuntaskan kasus percaloan ini walaupun DPR akan memasuki masa reses.

Butuh waktu untuk menentukan apakah anggota-anggota dewan yang diduga melakukan tindakan tidak terpuji itu benar-benar bersalah atau tidak. Bahkan, kalau pun kelak di antara mereka ada yang diproses hukum sampai pengadilan, mereka juga belum tentu bersalah. (

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan