Politik Uang Warnai Kampanye; Temuan TII dan ICW [18/06/04]

Politik uang (money politics) dalam kampanye pemilihan presiden mulai terindikasi. Hasil penelitian yang dilakukan Transparency International Indonesia (TII) kemarin mengungkapkan, hampir semua pasangan telah melakukan praktik tak terpuji itu selama dua pekan pertama kampanye, dengan berbagai modus.

Dari temuan tersebut, diketahui duet capres/cawapres Partai Golkar Wiranto-Salahuddin Wahid sebagai pasangan yang paling sering melakukan money politics (politik uang). Dari delapan kasus yang ditemukan, prakiraan jumlah dana dan harga barang yang dikeluarkan pasangan ini mencapai Rp 59, 15 juta.

Di posisi kedua, bertengger pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi dari PDIP dengan lima kasus. Prakiraan nilai dananya mencapai Rp 17.5. Peringkat ketiga adalah pasangan Amien Rais-Siswono Judo Husodo (PAN) dengan dua kasus yang prakiraan nilainya Rp 9,88 juta. Peringkat keempat adalah Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (Partai Demokrat, PKPI, dan PBB), juga dua kasus dengan prakiraan nilai dana yang dikeluarkan Rp 8 juta. TII tidak mencantumkan indikasi politik uang dari pasangan Hamzah Haz-Agum Gumelar (PPP).

Temuan TII tersebut kemarin diserahkan utusan mereka, Ahsan Hamid Hamidy, kepada Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) di kantor Panwaslu, Century Tower, Jakarta.

Koordinator Advokasi dan Lobi TII Anung Karyadi menyatakan, indikasi money politics dalam kampanye Hamzah-Agum tetap ada. Hanya, tim investigasi kami belum berhasil mengumpulkan data dan bukti yang cukup. TII tidak bisa gegabah mengekspos dugaan money politics yang melibatkan capres/cawapres, jelasnya kepada koran ini kemarin.

Temuan tersebut hasil pantauan LSM tersebut di tujuh daerah. Padahal, mereka melakukan pemantauan di 53 kabupaten/kota yang berada di 20 provinsi.

Praktik money politics dikategorikan bertujuan mempengaruhi pemilih dan melanggar pasal 42 (1) UU Pilpres. Karena termasuk tindak pidana pelanggaran pemilu, pasangan calon atau penanggung jawab tim kampanye yang terbukti melakukan money politics bisa diganjar penjara dua bulan hingga satu tahun dan/atau denda minimal Rp 1 juta atau maksimal Rp 10 juta. Berdasar putusan pengadilan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun berwenang menjatuhkan vonis administratif, yaitu pembatalan sebagai kontestan pilpres.

Menurut hasil pantauan itu, kasus dugaan politik uang yang dilakukan kubu Wiranto-Gus Sholah, antara lain, pembagian uang bensin kepada sekitar empat ratus orang di beberapa tempat. Misalnya di Pasar Bantul, Kabupaten Bantul, 4 Juni pagi, Lapangan Sukorejo, Jember, pada 4 Juni sore, Gedung Serbaguna Jember pada 6 Juni siang, dan PLKP Kabat Banyuwangi pada 11 Juni siang. Setiap orang menerima uang antara Rp 10 ribu hingga Rp 25 ribu.

Kubu Mega-Hasyim tercatat membagi-bagikan seribu buku berjudul Gajah di Pelupuk Mata Tak Tampak dengan nilai total Rp 5 juta dalam sebuah acara kampanye di Jogjakarta, 4 Juni siang. Pada 9 Juni 2004, bertempat di kantor DPD PDIP Badran, Jogjakarta, tim kampanye pasangan itu juga membagikan 2.500 stiker dan 500 buku dengan dana mencapai Rp 4 juta. Pada hari yang sama, mereka menggelar pengobatan masal dan donor darah di tempat berbeda, yaitu Ratmakan, Kecamatan Gondomanan, Jogjakarta dan Kantor DPC PDIP, Jalan Urip Sumohardjo, Jogjakarta. Seluruhnya diperkirakan menghabiskan dana Rp 8,25 juta. Di Karawang Jabar, tim Mega-Hasyim juga mengedarkan cangkir bergambar pasangan calon itu dengan total harga Rp 500 ribu.

Pasangan Amien-Siswono disebutkan membagi-bagikan berbagai jenis suvenir seperti 300 kalender, 1.500 buku, 2.000 stiker, 300 kuntum bunga, dan 2.000 leaflet yang diperkirakan menghabiskan dana Rp 9.880.000. Pembagian suvenir itu dilakukan di dua lokasi, yaitu Graha Sabha Pramana UGM Kabupaten Sleman pada 31 Mei 2004 (sehari sebelum masuk masa kampanye) dan di Perempatan Tugu Kota Jogjakarta pada 8 Juni.

Sedangkan kubu SBY-Jusuf Kalla diindikasikan memberikan door prize dan stiker di Purna Budaya UGM dalam acara peresmian sekretariat tim kampanye pada 5 Juni 2004. Saat menggelar istighotsah di Kelapatujuh, Kotabumi, Lampung, 31 Mei lalu (belum masuk masa kampanye), tim kampanye mereka menyumbang Masjid Al-Amanah Rp 5 juta. Bukan itu saja. Saat digelar kampanye dialogis, pasangan capres/cawapres SBY-Kalla di Lapangan Bola Barasokai, Medan, 8 Juni lalu, seorang simpatisan mereka yang juga mantan pejabat diketahui memberikan uang kepada unsur LSM dan wartawan. Sayang, TII tidak bisa merinci jumlah dana yang keluar.

Dalam pemantauannya, TII juga menemukan indikasi kuat penggunaan fasilitas negara oleh pasangan Mega-Hasyim. Mega yang sekarang masih menjabat presiden RI diketahui menggunakan pesawat negara dan helikopter milik TNI pada 6 Juni lalu dalam perjalanan Jakarta-Medan dan angkutan antara Bandara Polonia Medan ke sejumlah kabupaten/kota di Sumut. Hal itu dilakukan dalam rangkaian peresmian patung/tugu nasional Bung Karno dan kampanye rapat umum perdana.

Sementara itu, Koordinator Bidang Pengawasan Kampanye Pilpres Panwaslu Didik Supriyanto mengatakan, pihaknya akan menindaklanjuti berbagai temuan TII dengan mengirim sejumlah tim ke daerah-daerah. Dia juga menegaskan, pembatalan terhadap capres/cawapres tetap bisa dilakukan meski saat putusan pengadilan keluar, yang bersangkutan sudah dinyatakan menang dalam pilpres. Saya harap, putusan pengadilan terhadap kasus pidana pemilu sudah beres sebelum penetapan dan pelantikan presiden dan wapres baru. Ya, dalam jangka waktu tiga bulan inilah, ujarnya.

Di tempat terpisah, Ketua Pokja Kampanye Pilpres KPU Hamid Awaluddin menyatakan, Panwaslu memiliki hak penuh untuk meneruskan berbagai kasus dugaan money politics yang dilakukan capres-cawapres ke kepolisian sebagai pihak penyidik. Jadi, KPU tidak bisa langsung menjatuhkan vonis diskualifikasi terhadap pasangan calon. Semuanya tergantung putusan pengadilan. Karena itu, bukti-bukti harus lengkap supaya perkaranya tidak mandek di Panwaslu, kepolisian, atau kejaksaan, ujarnya di gedung KPU kemarin.

Di samping menerima laporan TII, kemarin Panwaslu menampung laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) tentang berbagai kasus money politics di wilayah DKI Jakarta. Beberapa kasus di antaranya terekam secara visual dan sempat dipertontonkan. Yakni, aksi salah seorang pendukung SBY-Jusuf Kalla. Seorang pengurus anak cabang Partai Demokrat PAC Pasar Minggu yang juga diduga menjadi koordinator massa pendukung SBY dari wilayah Jaksel tampak menawarkan uang pecahan Rp 50 ribu kepada beberapa pendukung SBY di depan pintu masuk GOR Pasar Minggu, 12 Juni lalu.

Di Gelora Bung Karno saat digelar kampanye Wiranto-Gus Sholah pada 13 Juni 2004, seorang ibu anggota Partai Golkar wilayah Kampung Melayu yang diduga kuat sebagai koordinator massa membagi-bagikan uang pecahan Rp 100 ribu kepada sejumlah ibu lainnya. Pada 4 Juni lalu, kampanye Mega-Hasyim di wilayah Bendi Raya, Tanah Kusir, Jaksel, diwarnai pembagi-bagian uang Rp 20 ribu per pengendara motor plus makan siang. Aktornya diduga kuat berasal dari pengurus PAC PDS Bendi Raya.

Dan, tim kampanye pasangan Hamzah-Agum diindikasikan membagi-bagikan uang Rp 35 ribu kepada 150 pengendara bajaj saat pasangan calon tersebut berkampanye di Pangkalan Bajaj Grogol.

Wakil Koordinator ICW Lucky Djani menyatakan, pasangan capres rata-rata sengaja membuat tim pelaksana kampanye ganda. Salah satunya didaftarkan secara resmi ke KPU dan disebut sebagai tum sukses bersih. Sedangkan tim yang tidak didaftarkan, antara lain, bergerilya melakukan praktik-praktik pelanggaran aturan kampanye. Salah satunya adalah money politics. Tim seperti itu disebut tim kotor.

Ditanggapi Dingin
Slamet Effendy Yusuf, ketua tim sukses Wiranto-Gus Sholah, hanya tertawa menanggapi data-data yang disodorkan (TI) Indonesia dan ICW tersebut. Menurut dia, tuduhan indikasi politik uang yang disodorkan kedua lembaga itu banyak yang tak rasional. Kalau warga partai berkampanye, lantas disediakan kendaraan, nenek bercicit sepuluh pun juga tahu itu. Masak dibilang money politics, ujarnya kepada koran ini kemarin.

Slamet menyatakan salut kepada ICW yang mengaku bisa memberikan foto orang membagi-bagikan duit di lapangan. Atas pengakuan itu, dia jadi ingat short message service (SMS) yang diterima sepuluh hari lalu. SMS tersebut berbunyi, Awas ada penyusupan peserta di kampanye Anda yang akan membagi-bagikan uang. Karena itu, saya melihat ICW hebat banget bisa memiliki foto dan rekamannya. Tapi, apakah itu sebenarnya bukan untuk menjelek-jelekan saja? ungkap ketua Bappilu Partai Golkar tersebut.

Dia menegaskan, Golkar tak pernah menggariskan penggunaan politik uang. Bahkan, mereka selalu berusaha menghindarinya. Kami justru bertanya, apa semua ini bukan pengacauan? Hebat banget, kayak intelijen yang canggih. Apa bukan sandiwara mereka? tegasnya.

Slamet melanjutkan pertanyaannya, apa salahnya partai menyediakan kendaraan untuk kampanye. Apalagi, semua orang tahu, untuk menggelar suatu acara, pasti diperlukan dana. Tanyakan ke ICW, kalau mereka ke mana-mana, apakah tidak memakai dana? Dari mana dana mereka? Dari republik inikah? ujarnya.

Kubu capres-cawapres Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla juga menanggapi dingin temuan dugaan money politics yang dilontarkan ICW dan TII tersebut. Robie Mukav, juru bicara tim kampanye gabungan nasional SBY-JK, menjelaskan bahwa dirinya tidak akan terpancing temuan yang diungkapkan ICW dan TII itu.

Kami tidak akan terlalu memusingkan soal temuan tersebut. Sebab, kami menjamin money politics seperti itu tidak ada, kata mantan Kadispen TNI-AD tersebut. Robie juga mengungkapkan bahwa dirinya tidak akan menuntut kedua LSM itu untuk membuktikan temuannya secara konkret.

Sebab, lanjut dia, dirinya mengakui tidak ada anggota tim yang terlibat dengan tuduhan yang dilontarkan ICW dan TII itu. Kalau saya minta mereka membuktikan, sama halnya saya menari mengikuti kedangan mereka, katanya.

Robie juga menjelaskan, kalau sampai ada anggota tim yang terlibat, anggota tersebut akan diproses secara hukum. Sesuai dengan komitmen Pak SBY, hukum akan ditegakkan, katanya. Meskipun, kata Robie, sosok yang diduga terlibat dalam kasus money politics tersebut adalah keluarga dekat SBY maupun Kalla.

Abdillah Toha, ketua Dewan Strategi dan Kebijakan Kampanye Amien Rais-Siswono, menyebut aneh temuan Transparency International Indonesia (TII). Masak bagi-bagi stiker, kalender, buku, dan pamflet masuk kategori politik uang, ujarnya.

Menurut dia, stiker, kalender, buku, dan pamflet masuk kategori alat peraga kampanye yang dibenarkan undang-undang. Jadi, sangat aneh jika pembagian alat peraga yang dilakukan tim kampanye Amien-Siswono di Jogjakarta itu dikategorikan politik uang. Versi TII, total indikasi politik uang yang dilakukan tim Amien-Siswono adalah Rp 9,8 juta.

Meski begitu, politikus PAN asal Banten itu mengaku respek dan hormat atas temuan TII. Namun, dia berharap agar TII tidak berhenti sampai data itu. Menurut dia, yang harus menjadi perhatian semua pihak adalah upaya praktik politik uang dengan cara bagi-bagi uang ke rumah penduduk, khususnya pagi menjelang pilpres 5 Juli mendatang.

Politik uang serangan fajar seperti itulah yang harus diungkap TII dan sejenisnya, kata Abdillah. Dia juga meminta semua pihak, terutama LSM, ikut mengontrol upaya pasangan capres-cawapres tertentu yang berupaya menggalang dukungan para kepala desa dan camat dengan imbalan uang.

Kita sudah dapat laporan mengenai penggalangan para kepala desa dan camat tersebut. Tapi, kita sulit menangkap pelakunya karena pembagian uang itu dilakukan orang pihak ketiga, tandasnya.

Abdillah juga cemas atas kemungkinan pihak tertentu melakukan politik uang kepada para operator komputer di PPS (panitia pemungutan suara) di tiap kecamatan. Politik uang kepada operator komputer sangat berbahaya karena berhubungan langsung dengan data perolehan suara, tegasnya.

Sementara itu, Sekretaris Tim Kampanye Mega-Hasyim Heri Akhmadi menegaskan bahwa pihaknya tidak pernah melakukan money politics selama kampanye ini. Sama sekali tidak. Money politics di sini dalam arti memberikan sejumlah uang atau materi (barang) kepada orang agar memilih atau membeli suara dengan uang, kata Heri kepada koran ini tadi malam.

Karena itu, dia mengaku heran atas temuan money politics yang dilansir ICW dan TII tersebut. Dia mempertanyakan bagaimana mungkin donor darah bisa disebut sebagai money politics. Masak orang mau melaksanakan bakti sosial dibilang melakukan money politics. Ini kan repot, tambah Heri. Begitu juga membagikan stiker, menurut Heri, bukan merupakan money politics. Money politics itu kan seperti membeli. Sticker itu cuma berusaha meyakinkan saja. Jadi, bukan tergolong money politics, tegasnya.

Karena itu, dia mengharapkan ICW tidak sembarangan mengekspos sesuatu yang belum pasti. Menurut dia, lebih baik ICW maupun TII lebih dahulu membuat kesepakatan dengan Panwaslu soal definisi money politics sesuai perundang-undangan yang berlaku. Kami sendiri menyarankan mereka (ICW dan TII) duduk bersama dengan Panwaslu dulu. Jangan asal tuding begini tanpa suatu pemahaman yang jelas soal money politics, papar Heri. (arm/nur/agt/adb/ssk)

Sumber: Jawa Pos, 18 Juni 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan