Politik Mengebiri Hukum

ADA fenomena tidak lazim dalam tradisi penyidikan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Untuk meminta keterangan, tim penyedik KPK harus datang ke Istana Wakil Presiden (Wapres) yang kemudian berubah ke Istana Negara dan kantor Kementerian Keuangan. Ketidaklaziman ini mendapat sorotan tajam dari publik.

Publik akhirnya menebak-nebak arah pengusutan kasus Bank Century. Ada yang menduga, hal itu ada hubungannya dengan kemenangan pengajuan gugatan praperadilan Anggodo terhadap SP3 Bibit-Chandra. Ada kecurigaan kasus Bank Century akan menjadi alat negosiasi.

Terlepas dari masalah yang dihadapi KPK saat ini, publik terus bertanya mengapa hukum menjadi diskriminatif di negeri ini? Mengapa bukan mereka yang dipanggil ke KPK? Bukankah secara prinsip hukum, semua warga negara, apa pun jabatan dan profesinya, sama di depan hukum?

Perlakuan istimewa terhadap Wapres dan Menkeu tersebut mendatangkan kekhawatiran dan banyak tafsir meski KPK sendiri berpendirian bahwa meminta keterangan bisa di mana saja, tidak harus di kantor KPK. Namun, keterangan ini kurang memadai untuk menjawab kekhawatiran publik akan hal-hal esensial di balik peristiwa tersebut.

Hingga kini publik tidak bisa memahami seraya bertanya-tanya mengapa KPK menjadi begitu tak berdaya dan sangat lunak ketika menghadapi para pemegang kekuasaan tertinggi di negeri ini? Bahkan, untuk memeriksa Wapres, KPK diatur sedemikian rupa untuk mengikuti kemauan orang yang diperiksa?

Apa pun alasannya, peristiwa pemeriksaan Boediono dan Sri Mulyani merupakan preseden buruk di dunia hukum dan di mata penyelenggara negara. Bukankah pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mau memberikan contoh kepada orang yang dipimpinnya. Jika mereka tidak merasa bersalah, mengapa tidak dengan gagah berani dan percaya diri untuk datang ke kantor KPK?

Dengan sikap merasa lebih penting daripada penegak hukum, secara eksplisit hal ini menunjukkan bahwa negeri ini masih krisis keteladanan. Kampanye, slogan dan program reformasi birokrasi, dan penciptaan clean and good government hanyalah retorika para pemimpin.

Hukum Dikebiri Politik
Secara prinsip kita sebagai bangsa telanjur merumuskan bahwa negara kita adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan. Dengan konsep dasar seperti ini, segala sesuatu yang ada di negeri ini harus diatur dan tunduk dengan hukum. Ini adalah prinsip dasar. Namun, apakah ini bisa diberlakukan secara murni dan konsekuen?

Ternyata prinsip negara hukum itu hanya ada dalam undang-undang dasar dan masih jauh dari harapan untuk bisa diterapkan. Maka, ada istilah semua warga negara sama di depan hukum, tetapi tidak sama di depan penegak hukum menjadi benar adanya.

Diskriminasi hukum terjadi di mana-mana. Tidak usah terlalu jauh ke level menteri apalagi Wapres. Di tingkat kepala daerah (bupati, wali kota, dan gubernur) saja sudah dikriminatif perlakuan hukumnya. Kita bisa menyaksikan bahwa kepala daerah yang terkena kasus korupsi tidak bisa diperiksa seperti warga biasa yang melakukan kejahatan korupsi tanpa ada izin dari presiden.

Dengan adanya undang-undang yang mengharuskan izin presiden untuk memeriksa kepala daerah, penindakan hukum sangat ditentukan oleh keputusan politik. Jika presiden tidak berkenan mengeluarkan izin, kecuali KPK, penegak hukum sampai kapan pun tidak mau melakukan pemeriksaan.

Fakta di atas baru setingkat kepala daerah. Lalu bagaimana dengan posisi menteri dan wakil presiden yang statusnya sebagai orang-orang dekat presiden? Tentu persoalannya tidak sesederhana itu. Kekuatan politik akan menentukan hijau merahnya negeri ini, termasuk di dalamnya penegakan hukum. KPK, walupan statusnya institusi independen, tidak bisa semudah menjalankan tugas ketika berhadapan dengan pemegang kekuasaan. Apalagi, kalau pemegang kekuasaan berprinsip pemerintah tidak pernah salah dan tidak boleh kalah.

KPK bukanlah lembaga yang kebal hukum dan kebal rekayasa. KPK ada karena komitmen politik untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan keadilan hukum. Namun, bila cita-cita itu bersentuhan langsung dengan penerima amanat untuk menjalankan prinsip dan visi tersebut, apakah ada di negeri ini yang mau legawa mengaku bersalah dan menjadi teladan bangsa untuk ditindak ketika bersalah, sedangkan di tangannya masih ada kekuatan politik untuk menghindar? Bila itu terjadi, bukan dunia politik yang berlaku, tetapi dunia kepemimpinan hakiki. Padahal, yang ada sekarang adalah kepemimpinan politik, kepemimpinan yang penuh rekayasa.

Dalam realitasnya, semua payung hukum, termasuk lembaga penegak hukum, adalah produk politik. Insan-insan penegak hukum juga produk politik. Tidak ada satu jengkal ruang pun yang bebas dari intervensi politik. Dominasi politik itulah yang kini mendominasi hiruk-pikuk dan dinamika perjalanan bangsa kita. Dengan demikian, sehebat apa pun lembaga penegak hukum dan insan-insan hukum di dalamnya masih bisa dikebiri oleh politik.

Dengan fakta seperti ini, seseorang bisa dijatuhi hukuman berat atau ringan, tersentuh hukum atau tidak tersentuh hukum sebenarnya hanyalah persoalan sedang dalam posisi politik yang diuntungkan atau tidak. Selagi masih dalam posisi politik yang diuntungankan, hampir mustahil hukum bisa ditegakkan. Semua akan bisa diselesaikan dengan jalur-jalur nonhukum dan tentu saja sangat menguntungkan. Hanya orang-orang bodoh yang mau menuruti prinsip-prinsip hukum. (*)

Jabir Alfaruqi, koordinator Komite Penyelidikan dan Pemberantasan KKN Jawa Tengah
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 3 Mei 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan