"Politicaltainment" Pansus Bank Century

Walau sudah berlangsung beberapa lama, rapat Panitia Khusus DPR tentang Hak Angket Bank Century masih menjadi suguhan menarik di televisi dan media massa lainnya. Khalayak tampaknya juga belum jenuh mengikutinya.

Kenapa? Karena Pansus boleh dibilang cukup cerdas mengemas rapat ini sehingga menjadi acara yang menarik dan penting diikuti. Lihat saja di situ ada dramaturgi yang kuat seperti konflik, perdebatan, sampai mata mendelik-delik dan mulut berbusa-busa. Coba kalau tidak ada perdebatan, lantas arus komunikasi hanya seperti pengarahan, paduan suara persetujuan, pasti pagi-pagi khalayak sudah meninggalkannya disertai sumpah serapah.

Proses komunikasi di Pansus dengan pelbagai intonasi dari yang paling rendah sampai yang paling melengking layaknya suara angsa, bahkan ada kalimat yang oleh sebagian orang dinilai tidak etis, menjadi bagian menarik perhatian khalayak. Ya, itulah komunikasi yang alamiah dan pengakuan adanya kebinekaan Indonesia.

Ibarat sebuah pergelaran wayang kulit, rapat Pansus itu dikesankan ada ”blok perang”, yaitu bala tengen (poros kanan) yang pro-penalangan Bank Century, bala kiwa (poros kiri) yang kontra-penalangan, dan bala dupak (ikut-ikutan) yang bergerak mengikuti arah angin. Kalau publik kelihatan kontra-penalangan, mereka akan bergerak mengikuti publik agar dikesankan prorakyat. Kalau ada angin yang bertiup untuk keselamatan petinggi partai, atau menguntungkan dirinya, akan bergerak mengikuti arah angin itu. Soal akhirnya ”masuk angin” tidak masalah pulalah.

Pansus juga selalu menjanjikan episode yang menarik. Lihat saja, ketika khalayak sudah mulai agak bosan, lantas dijanjikan akan mengonfrontasi tiga pihak yang pada episode sebelumnya memiliki pendapat yang bertentangan, yaitu Jusuf Kalla, Boediono, dan Sri Mulyani. Bahkan dirancang menghadirkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Terkesan bahwa proses ”dramatisasi” Pansus ini akan dijanjikan mencapai klimaks. Ini sebuah sihir dramaturgi yang hebat.

Cara Pansus menyusun dramaturginya ini diimbangi pula oleh media massa, khususnya televisi, yang juga cerdas mengemas dan menyajikannya kepada pemirsa. Lihat saja, televisi berani menayangkan pada saat prime time. Pihak yang berdebat sering kali di-close up seolah pada posisi berhadap-hadapan secara dekat sampai seolah ludahnya muncrat mengenai muka lawan.

Butuh hiburan
Secara kebetulan pula, suasana batin masyarakat yang memang jenuh menghadapi beban hidup yang kian hari kian menyesakkan. Biaya pendidikan tinggi. Pungutan semakin banyak saja jumlahnya, mulai Rp 1.000 di toilet, wajib beli karcis parkir berlangganan walau tidak pernah parkir di tempat yang ditentukan, sampai banyaknya uang siluman yang 1.001 macam jenisnya.

Untuk itulah, masyarakat butuh hiburan. Apa pun yang bisa menghibur akan mereka santap. Tak terkecuali, rapat Pansus Bank Century ini ternyata memberikan hiburan. Di situ bisa menertawakan bagaimana para petinggi negara tersudut dicecar pertanyaan sampai bingung.

Pemirsa bisa tertawa-tawa melihat bagaimana para narasumber mencoba ngeles layaknya orang melompat menghindari jalan becek. Bisa juga tersenyum simpul menyaksikan bagaimana narasumber memilin-milin tasbih, bisa jadi untuk mengurangi ketegangan. Bisa menertawakan macam-macam polah tingkah anggota Pansus, dari yang lidahnya tajam melebihi pisau cukur, yang ngantuk dan cengar-cengir, sampai yang kehabisan bahan pertanyaan.

Di samping sebagai hiburan, ada sebersit harapan masyarakat bahwa Pansus ini akan menemukan kebenaran dan keadilan. Jadi, ada klimaks yang ditunggu. Tetapi kalau pada akhirnya nanti Pansus ini ”masuk angin” dan berakhir antiklimaks, akan menjadi preseden buruk bagi DPR. Akan melahirkan stigma bahwa gedung DPR itu hanya dihuni orang-orang yang masuk angin. Dan apa yang dikeluarkan oleh orang yang masuk angin, khalayak sudah sangat mafhum semafhum-mafhumnya. Wes ewes ewes bablas pansuse. [Oleh Anwar Hudijono]

Tulisan ini disalin dari Kompas, 25 Januari 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan