Polisi Mengenali Siswanto sebagai Wajah Lama di Dunia Mafia Pajak

Robin Hood di Perumahan Taman Pondok Legi IV

SATU di antara sepuluh tersangka yang dibekuk Unit Pidum Satreskrim Polwiltabes Surabaya adalah Siswanto, beralamat di Taman Pondok Legi IV, Sidoarjo. Pasalnya, polisi mengenalinya sebagai wajah lama di dunia mafia pajak.

Pria berusia 35 tahun itu sebelumnya pernah berurusan dengan Polwiltabes Surabaya. Lima tahun lalu, tim gabungan Ditjen Pajak dan Unit Reserse Ekonomi Satreskrim Polwiltabes Surabaya membongkar sebuah sindikasi faktur pajak fiktif di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Wonocolo. Kala itu Siswanto bekerja sebagai cleaning service di KPP Dinoyo.

Dia merugikan negara total hampir Rp 5 miliar, namun vonis yang diterimanya sangat minim. Hakim bermurah hati dengan memvonisnya hanya lima bulan penjara. Kehidupan Siswanto memang sangat mencolok. Meski hanya berstatus cleaning service, untuk ke kantor, Siswanto naik Kijang Innova.

Keluar dari penjara, Siswanto malah kembali main-main dengan mafia pajak lagi. Dia bertemu dengan Enang Cahyo Untoro, juga mantan cleaning service di KPP, dan Suhertanto, seorang konsultan pajak dari KPP Lakarsantri yang saat itu masih berdinas di Kanwil Pajak Jatim Bagian Kepegawaian di Dinoyo. Juga ada satu nama lagi yang masih jadi buron, yakni Bambang Ari, konsultan pajak.

Ketiganya kemudian membuat sebuah sindikasi. Suhertanto dan Bambang lalu bertugas sebagai penyedia data wajib pajak "yang bisa digarap". Begitu istilah sindikat itu menyebutnya. Siswanto sendiri bertugas sebagai pembuat validasi bank yang palsu tersebut.

Sebagai imbalannya, Siswanto mendapat bagian 25 persen dari total jumlah wajib pajak yang harus disetor. Bila untuk SSP senilai Rp 100 juta, Siswanto mendapat Rp 25 juta. Itu adalah persentase pembagian terbesar di sindikat tersebut.

Maka, tak usah heran bila lepas dari penjara dan keluar dari cleaning service tempatnya bekerja tak membuat Siswanto bingung bagaimana periuk di dapurnya tetap mengepul. Memang ada sebuah toko olahraga di kawasan Wage, Taman, Sidoarjo, namun tentu saja hasilnya tak seberapa. Bisnis validasi pajak palsu sudah membuatnya kaya raya.

Bagi warga di Perumahan Taman Pondok Legi IV, Siswanto dikenal sebagai "orang pajak". "Tapi, tetangga-tetangga tak pernah menanyakan lebih lanjut secara detail," ucapnya. Apalagi, di kalangan tetangga, Siswanto dikenal royal. Meski tak bekerja, Siswanto tampil bak Robin Hood di lingkungannya.

Pegiat lingkungan pasti langsung bersambat ke Siswanto bila kegiatan kampung kekurangan dana. Misalnya, soal pembangunan masjid, Siswanto tanpa pikir panjang langsung menyumbang Rp 75 juta. Tidak hanya itu, Siswanto bahkan sering juga memberangkatkan rombongan warga yang akan berziarah ke makam lima wali. "Hitung-hitung amal," kata Siswanto lalu tersenyum kecut.

Soal aset kekayaan, belum banyak yang berhasil dikumpulkan petugas. Siswanto begitu pandai menutupi kekayaannya. Yang tampak di depan mata petugas hanyalah tiga buah rumah, satu unit mobil, dan fakta bahwa Siswanto adalah penganggur yang bisa berangkat haji dan umrah sekaligus pada dua tahun berturut-turut.

Siswanto sendiri mengaku tak tahu persis berapa total uang haram yang didapatkan. "Lupa, Pak. Tapi sedikit kok. Rata-rata antara Rp 5 juta-Rp 10 juta per bulan," ungkapnya. Tentu saja ucapan itu sulit dipercaya. Sedikit sekali, tapi kok kaya lagi dermawan? "Lha, dikalikan selama lima tahun kan banyak, Pak," kelitnya kepada petugas penyidik.

Seorang penyidik yang ikut menangani kasus tersebut mengatakan, semua orang di sindikat itu menunjuk Siswanto sebagai yang paling banyak uangnya karena mendapat persentase terbanyak. "Bila Sembara saja yang biasa-biasa total mengumpulkan hampir Rp 1 miliar, tentu saja Siswanto jauh di atas itu," tandasnya. (ano/c9/mik)
Sumber: Jawa Pos, 19 April 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan