Policy Brief: Larangan Mantan Terpidana Kasus Korupsi Menjadi Calon Anggota Legislatif 2019
1.1 Latar Belakang Masalah
Korup adalah salah satu citra yang melekat pada lembaga legislatif, baik di pusat maupun di daerah. Sentimen publik ini salah satunya dilatar-belakangi banyaknya anggota dewan yang terlibat kasus korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), misalnya, telah menindak sedikitnya 189 anggota dewan sejak KPK berdiri hingga saat ini. Terlebih lagi, tidak sedikit kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR menunjukkan fenomena korupsi kolektif, dimana terjadi secara bersama-sama dan melibatkan anggota DPR lintas fraksi dan komisi.
Akibatnya, tingkat kepercayaan publik dalam konteks demokrasi dan pemberantasan korupsi pada DPR semakin rendah. Survey antikorupsi yang diselenggarakan Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama dengan Polling Center pada 2017 menunjukkan hanya 8% responden yang menilai DPR berperan dalam pemberantasan korupsi. Sedangkan survey yang diselenggarakan Indikator pada awal 2016, menyebut bahwa DPR menempati urutan kelima dari enam lembaga demokrasi yang dipercaya oleh publik, dengan tingkat kepercayaan 48,5%.
Fenomena di atas ironi dengan posisi DPR sebagai lembaga representasi rakyat. Oleh karena itu, DPR perlu didorong berbenah diri untuk memperbaiki kinerja dan citra di mata publik. Jika tidak, DPR akan semakin jauh dari filosofi adanya DPR itu sendiri.
1.2 Urgensi Larangan Mantan Terpidana Kasus Korupsi Menjadi Bakal Calon Anggota Legislatif
Langkah pembenahan DPR perlu diawali dengan pembenahan di sisi hulu, yaitu pencalonan oleh partai politik dan pelaksanaan pemilu yang berintegritas. Sulit untuk mengubah DPR apabila calon yang dicalonkan oleh partai merupakan calon yang mempunyai rekam jejak bermasalah. Hasil penelusuran ICW pada 2014 mendapati bahwa terdapat sedikitnya 59 anggota dewan terpilih tersangkut korupsi atau menyandang status sebagai tersangka, terdakwa, bahkan terpidana. Tidak hanya itu, mantan terpidana kasus korupsi juga banyak maju dalam Pemilu Legislatif 2014, misalnya, Mantan Ketua KPU Nazaruddin Sjamsudin yang maju dalam Pemilu Legislatif nasional 2014 dan Eko Pujo Aksono, Lintang, dan Rusmono Rudi Nuryawan yang maju dalam Pemilu Legislatif Kabupaten Kendal 2014. Bahkan, terdapat mantan narapidana yang berhasil terpilih, salah satunya adalah Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Muhammad Taufik.
Majunya calon anggota legislatif dengan rekam jejak korup tidak lepas dari tolerannya regulasi yang mengatur syarat pencalonan anggota dewan. UU No. 8 tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif yang menjadi rujukan pemilu legislatif 2014 tidak melarang mantan terpidana korupsi untuk maju dalam pemilu legislatif 2014.
Dalam Pasal 51 Huruf g UU tersebut, disebutkan bahwa syarat untuk menjadi calon anggota legislatif adalah tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Namun, ketentuan tersebut dilenturkan dalam penjelasan dengan menyebutkan bahwa syarat tersebut tidak berlaku bagi seseorang yang telah selesai menjalankan pidananya, terhitung 5 (lima) tahun sebelum yang bersangkutan ditetapkan sebagai bakal calon dalam pemilihan jabatan publik yang dipilih (elected official) dan yang bersangkutan mengemukakan secara jujur dan terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan pernah dipidana serta bukan sebagai pelaku kejahatan berulang-ulang.
Dalam pasal 240 huruf g UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu ketentuan di atas masih berlaku. Dapat diartikan, UU Pemilu yang akan menjadi rujukan pemilu 2019 ini pun masih menoleransi mantan terpidana kasus korupsi untuk berkontestasi. Hal ini tidak sejalan dengan semangat pembenahan kerja dan citra DPR yang memburuk dari periode ke periode akibat persoalan korupsi.
1.3 Solusi Mencegah Dicalonkannya Mantan Terpidana Kasus Korupsi: PKPU Pencalonan
Komisi Pemilihan Umum (KPU) membaca korupsi sebagai salah satu kejahatan luar biasa dan sistemik sehingga mewacanakan larangan bagi mantan terpidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif. Wacana tersebut dimasukkan dalam draft Peraturan KPU (PKPU) mengenai pencalonan anggota DPR dan DPRD yang saat ini tengah dibahas. KPU mensyaratkan bahwa mantan terpidana yang dapat dicalonkan bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi. Norma baru tersebut dimasukkan dalam draft PKPU Pencalonan, yaitu pasal 8 huruf j.
Perdebatan yang kemudian muncul adalah apakah ketentuan dalam PKPU yang tidak memperbolehkan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi tersebut bertentangan dengan Pasal 240 UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu atau tidak. Dalam kacamata ICW, sepanjang UU tidak menyebutkan secara jelas bahwa mantan terpidana kasus korupsi dapat dicalonkan oleh partai politik menjadi bakal calon anggota legislatif, KPU dapat memasukkan ketentuan tersebut sebagai norma baru yang tidak bertentangan dengan UU diatasnya.
Perdebatan itu juga muncul dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara KPU dengan DPR. Namun, perlu diingat bahwa KPU adalah lembaga yang mandiri, terlebih lagi dalam menyusun Peraturan KPU. Walau peraturan KPU dikonsultasikan terlebih dahulu dengan DPR dan pemerintah dalam RDP, keputusan RDP terseput bersifat tidak mengikat. Hal ini sesuai dengan putusan MK No. 92/PUU-XIV/2016.
ICW justru menilai bahwa langkah KPU menerbitkan larangan yang tidak memperbolehkan mantan terpidana berkontestasi dalam pemilu legislatif merupakan langkah penting dan progresif. Langkah ini kami nilai sebagai langkah yang sangat tepat untuk turut menjawab persoalan yang kian problematik, yaitu fenomena korupsi anggota legislatif dan citra korup lembaga legislatif. Ketentuan ini akan membawa dampak positif, yaitu:
-
Mendorong partai politik mengedepankan rekam jejak integritas, yaitu tidak pernah terlibat dalam kasus korupsi, dalam menyalonkan bakal calon anggota legislatif.
-
Memberikan ruang kepada kader partai politik yang mempunyai integritas untuk dicalonkan oleh partai politiknya.
-
Memberikan pilihan calon anggota legislatif yang lebih baik kepada masyarakat atau pemilih dari sisi keterlibatan dalam kasus korupsi.
-
Mencegah anggota DPR/D aktif untuk tidak melakukan korupsi dikarenakan ancaman sanksi tidak dapat kembali mengikuti pemilu legislatif, selain sanksi pidana dan denda.
-
Mendorong perbaikan citra DPR/D yang selama ini dinilai korup oleh publik akibat banyaknya anggota yang terlibat kasus korupsi.
1.4 Simpulan dan Rekomendasi
Berdasarkan hal di atas, rekomendasi kami kepada KPU sehubungan dengan polemik larangan mantan terpidana kasus korupsi dicalonkan pada pemilu legislatif ini adalah:
-
KPU tetap pada posisi memasukkan larangan mantan terpidana untuk dicalonkan pada pemilu legislatif 2019 dalam PKPU dikarenakan:
-
Integritas pemilu ditentukan setidaknya oleh tiga faktor, yakni integritas peserta, integritas penyelenggara, dan integritas pemilih. Upaya KPU melarang mantan narapida kasus korupsi untuk mencalonkan diri merupakan bagian dari membangun integritas peserta dan kandidat pemilu.
-
Pengaturan dalam PKPU tersebut bukanlah bentuk mencabut hak politik seseorang yang dianggap akan melanggar HAM. Hal ini disebabkan pengaturan larangan hanya dibatasi terhadap mantan narapida kasus korupsi, terorisme, dan narkotika yang merupakan jenis tindak pidana luar biasa (extra ordinary crime). Sementara mantan narapidana dalam tindak pidana umum lainnya tetap diberikan peluang. Sehingga semangat ini harus diapresiasi sebagai implementasi UU No. 28 Tahun 1999 tentang penyelengaraan negara yang bebas KKN.
-
KPU merupakan lembaga mandiri dan independen dalam menyelengarakan pemilu salah satunya dalam penyusunan regulasi dan mempunyai kewajiban moral menjaga integritas pemilu.
-
-
Alternatif penyusunan norma:
Larangan tersebut dapat ditambahkan dalam pasal yang mengatur:
-
Persyaratan pengajuan bakal calon (PKPU Pasal 7 ayat 1), dengan menambahkan ketentuan:
“daftar calon yang diusung oleh partai politik tidak memuat mantan terpidana kasus korupsi, bandar narkotika, dan terorisme”.
-
Persyaratan bakal calon (PKPU Pasal 8 ayat 1), dengan menambahkan ketentuan:
“Mantan terpidana yang dikecualikan atau dapat dicalonkan bukan merupakan mantan terpidana kasus korupsi, bandar narkotika, dan terorisme”.
Senin, 9 April 2018
Indonesia Corruption Watch