Pimpinan KPK Selera Siapa?

Kekhawatiran umum akan masa depan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK dan pemberantasan korupsi di Tanah Air mewarnai proses pemilihan pengganti Ketua KPK Antasari Azhar. Bukan karena banyaknya pencari kerja dan pengacara langganan kasus korupsi yang ada dalam daftar calon komisioner KPK, tetapi karena gempuran bertubi-tubi terhadap KPK dari berbagai sisi yang bermuara pada pelemahan KPK dan memuncak pada kriminalisasi dua pemimpin KPK. Masuk akal jika proses seleksi pimpinan KPK kali ini memengaruhi suasana batin masyarakat.

Tidak bisa ditutup-tutupi, belakangan komunikasi pimpinan KPK dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan DPR terganggu, pasca-KPK jilid kedua ini mulai menyentuh wilayah politico-business dan hukum, selain kasus- kasus transaksi suap yang melibatkan politisi di Senayan, jaksa dan polisi, juga yang perlu dicatat di sini secara khusus adalah kasus penyimpangan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI), dan dugaan suap dalam pemilihan Deputi Senior BI Miranda Swaray Goeltom yang bila KPK tidak setengah hati bisa menyeret pentolan-pentolan partai besar di DPR. Kasus bail out Century bisa diabaikan di sini karena saat itu KPK sebenarnya belum terlalu jauh, kecuali meminta laporan audit investigasi BPK.

Sinyal yang ditangkap nalar awam sejak itu semakin kuat suara dari Senayan yang ingin memangkas kewenangan KPK terutama menyangkut penyadapan dan penuntutan, bahkan sampai kapan pun ini acaman laten bagi KPK. Presiden SBY sendiri pernah bicara kepada publik, memasalahkan kewenangan KPK yang dianggapnya terlalu besar.

Harap-harap cemas nasib apa yang bakal dialami KPK kelak? Apakah akan senasib dengan Pengadilan Tipikor yang prestasinya fenomenal, tetapi akhirnya disubordinasi pengadilan umum? Tragis kalau keduanya layu sebelum berkembang.

Padahal, kurva indeks persepsi korupsi Indonesia akan terus menanjak bila kedua lembaga itu tidak diganggu, sekalipun pemerintah tidak serius membenahi korupsi dalam tubuh pemerintahan.

Anak haram

Independensi KPK menjadi semu, barangkali berlaku bagi komisi-komisi negara yang lain. Tidak terbayangkan sebelumnya pimpinan KPK sebagai lembaga superbody yang semestinya memimpin polisi dan jaksa dalam pemberantasan korupsi dengan enteng bisa ”dikudeta” oleh trio Anggodo, polisi, dan jaksa oleh tudingan suap yang tidak terlalu jelas. Lambat laun, KPK tidak lebih dari ”Polsek atau Kejari Kuningan” apabila penyidik dan penuntut KPK masih polisi dan jaksa aktif yang dikendalikan atasan asalnya.

Bisa disimpulkan, KPK ibarat anak haram reformasi, yang kelahirannya sejak awal tidak disukai lembaga hukum konvensional, dan kini sudah mengancam tuannya sendiri. Jadi, tidak terlalu susah membayangkan arah proses pemilihan pimpinan KPK ke depan mau ke mana, dan selera siapa yang paling menentukan? Bukan kali ini saja, bahkan sejak proses pemilihan KPK jilid pertama, selalu menyisakan pertanyaan mengapa kandidat yang mempunyai karakter dan integritas tinggi senantiasa tidak terpilih.

Tentu saja ini tantangan dan pertaruhan nama baik Panitia Seleksi (Pansel), yang sebagian anggotanya punya reputasi mentereng di mata publik. Posisi Pansel demikian sentral karena pilihannya akan menentukan masa depan KPK, dan kali ini jika tak ada perubahan pilihanya menjadi terbatas, yaitu memilih dua calon yang akan dipilih salah satunya oleh DPR. Mencari dua kandidat yang terbaik barangkali bisa dipenuhi dari sejumlah figur yang mendaftar.

Hanya memang pilihan dua kandidat yang akan disodorkan Presiden ke DPR pasti tidak lepas dari selera Presiden. Sampai di sini komitmen Presiden SBY dalam pemberantasan korupsi menghadapi ujian nyata. Hal ini juga akan sangat dipengaruhi oleh sudut pandang politik Presiden terhadap eksistensi state auxiliary body semacam KPK dalam sistem penegakan hukum. Ada sebagian ahli dan politisi yang menganggap KPK di luar sistem atau bersifat sementara.

Dipastikan bahwa proses hukum terhadap dua komisioner KPK Bibit dan Chandra akan terus berlanjut. Mengapa tidak menjadi pertimbangan Presiden dan DPR untuk menugaskan Pansel memilih sekaligus tiga kandidat? Termasuk juga soal masa kerja komisioner yang dipilih cuma setahun, kenapa tidak dipilih untuk masa empat tahun sekaligus. Dari segi biaya ini tidak efisien. Padahal, sistem pengangkatan dan pemberhentian komisioner secara tidak bersamaan sudah lazim diterapkan dalam komisi yang beranggotakan jamak di luar negeri, untuk menjamin kesinambungan kinerja institusi.

Masalah politik

Memilih komisioner KPK adalah kombinasi urusan teknis dan ideologi pemberantasan korupsi. Jangan sampai kesalahan pada masa lalu terulang memilih komisioner yang integritasnya rendah karena faktor favoritisme yang mengabaikan jejak rekam dan suara dari lingkungan kerja dan lingkungan sosial calon.

Meski perubahan-perubahan sistemik jauh lebih efektif dalam mengerem korupsi, tetapi peran KPK dalam lima sampai sepuluh tahun ke depan barangkali masih diharapkan memimpin penegakan hukum, terutama untuk membersihkan wilayah mother of corruption seperti institusi hukum, ekonomi, dan politik yang punya dampak sistemik terhadap kehancuran pemerintahan dan kesejahteraan rakyat.

Kalau sektor pajak dan migas yang memberi kontribusi 90 persen dari pendapatan APBN bisa dibersihkan dari korupsi, pengaruhnya bisa diharapkan terhadap kesejahteraan rakyat.

KPK dibuat bukan untuk memburu tikus-tikus kecil. Idealnya, KPK dipimpin oleh komisioner yang punya gagasan besar dan nyali besar, bukan mantan birokrat kelas dua. Dengan demikian, harapan masyarakat agar KPK bisa menjadi dirigen (conductor) andal memimpin kelembagaan formal lain dan masyarakat dalam pemberantasan korupsi di Tanah Air bisa terjawab.

Cuma, seperti kata Vedi Hadiz, pengajar di Murdoch University, masalah pemberantasan korupsi di Indonesia adalah masalah politik dan tidak ada solusi teknis untuk masalah ini. Kita khawatir selera politik murahan yang menentukan pemilihan pimpinan KPK.

Teten Masduki Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia
Tulisan ini disalin dari Kompas, 16 Juni 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan