Pimpinan KPK

Siapakah mereka? Pertanyaan logis ini tidak sulit untuk dijawab dan tidak mudah untuk diseleksi. Sekalipun secara formal telah dipenuhi syarat menurut undang-undang,secara faktual sejak pimpinan jilid pertama sampai sekarang tampak tidak sesuai dengan perkiraan banyak pengamat dan penggemarnya.

Meski demikian,ketentuan dalam UU KPK (2002) telah memuat rambu-rambu hukum yang teruji dari hasil pembahasan UU KPK pada 2000. Rambu pertama, bahwa kelima pimpinan KPK harus diikat secara moral, sosial, psikologis, dan formal sehingga tidak ada satu pun yang dapat menyimpang dari ikatan tersebut.

Rambu kedua, ikatan tersebut diperkuat dengan sistem kolektivitas-kolegial kelima pimpinan KPK dalam pengambilan keputusan sejak tahap penyelidikan ke penyidikan dan dari tahap penyidikan ke tahap penuntutan. Dalam praktik memang benar tahapan tersebut dilaksanakan penyelidik, penyidik, dan penuntut di bawah supervisi deputi dan direktur, tetapi keputusan terakhir berada pada kelima pimpinan KPK tersebut seharusnya bersifat aklamasi, tidak ada dissenting-opinion.

Rambu ketiga, ikatan kolektivitas dan kolegialitas tersebut telah dimulai sejak seleksi pimpinan KPK yaitu harus (bersama-sama) sebanyak lima orang serentak. Jika di tengah perjalanan ada masalah pada satu atau dua orang pimpinan KPK, penyusun UU KPK telah memperhitungkan agar pergantian pimpinan disesuaikan dengan masa jabatan pimpinan yang digantikan.

Atas dasar pertimbangan tersebut, dalam UU KPK ditegaskan (Pasal 33) dengan kalimat “calon anggota pengganti“. Frase ini bermakna sekalipun salah satu pimpinan KPK yang diganti, penggantinya tetap disebut “calon anggota”, bukan “calon pimpinan” karena semua pimpinan adalah merangkap selaku anggota.

Kebersamaan dalam seleksi dan ikatan moral, sosial, psikologis itulah yang menjadi alasan penyusun UU KPK tidak mempersoalkan lagi masa jabatan “anggota pengganti pimpinan KPK” karena sertamerta melanjutkan tugas pimpinan (lama) yang digantikan. Rambu keempat, ikatanikatan tersebut dikuatkan dengan tanggung jawab pimpinan KPK yang berbeda dengan PNS dan penyelenggara negara lainnya.

Tanggung jawab yang dibebankan kepada pimpinan KPK tampak dari ketentuan ketika salah satu pimpinan KPK menjadi tersangka yang harus diberhentikan sementara dari jabatan dan kedudukannya (Pasal 32 ayat 2). Tidak ada alasan untuk mempersoalkan dari sisi konstitusionalitas dan perundangundangan ketika mereka menjadi tersangka dan terdakwa dengan segala konsekuensinya.

Di sinilah letak ujian integritas pimpinan KPK dan di situlah letak dasar pemikiran dan pertimbangan menjadi penyusunan ketentuan tentang pemberhentian pimpinan KPK. Selain itu, kedudukan pimpinan KPK dan wewenang yang dimiliki berdasarkan UU juga menunjukkan bahwa kelima pimpinan KPK sangat “powerful” yang seharusnya didukung dan disertai dengan tanggung jawab hukum,moral,dan sosial yang lebih berat.

Intinya pimpinan KPK harus “manusia setengah malaikat”; begitulah reaksi anggota DPR RI ketika UU KPK mulai dibahas yang disampaikan kepada saya. Kesalahan/ kekeliruan sekecil apa pun tidak ada toleransi sama sekali (zero tolerance). Dengan begitu,dalam UU KPK perlu diatur mengenai laranganlarangan bagi Pimpinan KPK (Pasal 36) khususnya huruf a, baca dan teliti kalimat, “dilarang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani KPK”.

Bahasa hukum dalam pasal ini jelas dan tidak perlu ada tafsir hukum lain selain yang disebut secara tegas dalam UU KPK (asas lex certa). Sesungguhnya komite etik seharusnya berfungsi menggali dan menemukan fakta ada atau tidak adanya “hubungan langsung atau tidak langsung”. Bukannya berkelat-kelit seolah menjadi “penasihat hukum” terperiksa apalagi di hadapan publik, perilaku Komite Etik ini justru tidak etis.

Rambu kelima, bagi calon pimpinan KPK ditegaskan dalam UU KPK syarat yang sangat berat dan hampir tidak mungkin, tetapi perlu ditegaskan yaitu syarat,“tidak pernah melakukan perbuatan tercela” (Pasal 29 huruf f) dan “syarat cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi,dan memiliki reputasi yang baik” (Pasal 29 huruf g).

Syarat ini justru merupakan syarat penting serta dan strategis dalam seleksi calon pimpinan KPK. Fakta belum pernah diumumkannya kepada publik harta kekayaan pimpinan KPK sejak jilid pertama sampai jilid kedua beserta penasihat hukum dan pegawai KPK merupakan salah satu contoh praktik yang bertentangan dengan kewajiban yang diatur dalam Pasal 29 huruf k UU KPK.

Rambu keenam, pimpinan KPK disyaratkan memahami visi dan misi dibentuknya KPK termasuk seluruh tugas dan wewenangnya. Seharusnya pimpinan KPK memahami latar belakang filosofi, sosiologis, teleologis, dan yuridis pembentukan KPK di dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia.

Jika pimpinan KPK memahami keempat latar belakang pembentukan KPK, tidak akan terjadi praktik “persaingan tidak sehat” dalam penegakan hukum pemberantasan korupsi antara KPK dan Polri dan Kejaksaan Agung. Pimpinan KPK seharusnya tidak bergeming dengan segala tantangan, rumor, isu, politik, maupun tekanan pers dan masyarakat ketika tengah mengusut suatu dugaan perkara korupsi, apalagi melakukan tatap muka dengan calon tersangka atau pihak lain yang berkepentingan.

Diakui tantangan pimpinan KPK pasca jilid pertama semakin berat dan berisiko bagi mereka dan keluarganya terutama setelah peristiwa kriminalisasi Antasari dan peristiwa Bibit dan Chandra. Pola kriminalisasi baik secara hukum maupun secara sosial dan psikologis yang menjadi tantangan dan menjadi tren dalam mengkritisi atau melemahkan kinerja pimpinan KPK ke depan.

Dari dua model kriminalisasi tersebut, kriminalisasi sosial dan psikologis dibantu oleh ‘trial by the press’ dan tekanan sosial dan politis terhadap mereka merupakan beban yang amat berat dihadapi siapa pun yang menjadi pimpinan KPK termasuk keluarganya.

Tanpa tekad, semangat, latar belakang yang relatif bersih, dan intelektual yang mumpuni secara hukum dan sosial, kepercayaan publik terhadap lembaga KPK akan semakin menurun dan kehilangan kepercayaan. Jika hal ini terjadi, eksistensi KPK berada di ujung tanduk.
 
ROMLI ATMASASMITA Guru Besar Universitas Padjadjaran, Inisiator Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 14 September 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan