Pesta Pora Para Koruptor

Mujur betul nasib Artalyta Suryani. Ia tidak hanya mendapat hadiah berupa pengurangan vonis dari Mahkamah Agung, tetapi juga fasilitas istimewa di dalam penjara, seperti berada di istana. Tidak lama lagi penyuap jaksa Urip Tri Gunawan ini juga akan memperoleh kado dari negara berupa pembebasan bersyarat. Sempurna!

Artalyta Suryani, yang kerap disapa Ayin, merupakan terpidana kasus suap terhadap jaksa Urip, Ketua Tim Jaksa Penyelidik Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), sebesar 660.000 dollar AS. Keterlibatan Ayin dalam penghentian penyidikan kasus BLBI tersebut tercium setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menyadap percakapan dia dengan Urip dan Jaksa Agung Muda Kemas Yahya Rahman. Akhirnya ia dijatuhi vonis lima tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor.

Namun, Mahkamah Agung (MA) kemudian memberi dia ”rabat” berupa pengurangan hukuman selama enam bulan atas PK yang dia ajukan. Hakim MA menilai bahwa judex factie pada tahap pertama dan banding tidak melihat hal-hal yang meringankan terdakwa. Sebuah logika sesat dari para hakim majelis PK karena pada kenyatannya Ayin tidak pernah mengakui perbuatannya dan cenderung berbelit- belit dalam persidangan. Pada titik inilah rasa keadilan bagi masyarakat mulai terkoyak.

Sensasi Ayin berlanjut di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Pondok Bambu. Inspeksi mendadak yang dilakukan oleh Satuan Tugas Antimafia Hukum menemukan bahwa yang bersangkutan berada di dalam sel tahanan supermewah dengan fasilitas serba komplet. Jauh bertolak belakang dengan keluhan melewati kapasitas penghuni LP yang sering didendangkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Patrialis Akbar saat safari ke beberapa LP di daerah-daerah.

Akumulasi keistimewaan yang diperoleh Ayin dilanjutkan oleh pemerintah dengan pemberian pembebasan bersyarat kepada yang bersangkutan terhitung pada 27 Januari nanti. Hasrat pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, seolah-olah tidak bisa dibendung untuk memberi hadiah kebebasan pada awal tahun kepada Ayin.

Kekhawatiran besar
Sesungguhnya publik menyimpan kekhawatiran besar terhadap ancaman terselubung dari kebebasan Ayin ini. Logika tersebut dibangun dari proses pembinaan yang tidak tuntas ia terima selama di LP sehingga potensi mengulangi kejahatan yang pernah dia lakukan menjadi berlipat ganda. Dalam bahasa sederhana, pemerintah seolah ”melepas” ancaman besar bagi masyarakat, penegakan hukum, dan pemberantasan korupsi.

Tekad bulat pemerintah itu benar-benar mencabik-cabik rasa keadilan. Bandul keberpihakan pemerintah berhenti tepat di sisi koruptor dan semakin jauh dari sisi rakyat. Apa pun yang menjadi alibi pemerintah untuk memberikan pembebasan bersyarat kepada koruptor sungguh irasional saat korupsi masih merupakan wabah berkepanjangan di republik ini.

Secara yuridis Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 jo 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan mengisyaratkan bahwa pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana tertentu—salah satunya adalah korupsi—perlu disesuaikan dengan dinamika dan rasa keadilan masyarakat.

Rasa keadilan warga yang terusik karena ulah Ayin di LP seharusnya sudah menjadi harga mati untuk menutup negosiasi dan celah pembebasan bersyarat kepada yang bersangkutan. Apalagi, kita sudah sepakat bahwa korupsi adalah sebuah tindak pidana yang melawan sifat-sifat kemanusiaan.

Sudah seharusnya rasa kemanusiaan terhadap para koruptor dibuang jauh-jauh, terkecuali jika di mata pemerintah aspek keadilan bagi koruptor lebih determinan daripada rasa keadilan bagi masyarakat yang sengsara dan miskin karena ulah para koruptor.

Jika pemerintah serius pada gerakan pemberantasan korupsi dengan menekankan pemberian efek jera kepada pelaku korupsi, seharusnya akses keringanan hukuman dalam bentuk apa pun, termasuk pembebasan bersyarat, remisi, dan grasi, ditiadakan bagi para pelaku korupsi. Apabila hal tersebut masih dipertahankan, itu sama saja dengan kita menggenggam bara di tangan, yang justru akan melukai gerakan pemberantasan korupsi itu sendiri.

Tanggung jawab pemerintah
Coreng-moreng LP sesungguhnya sudah lama terbuka di negeri ini. Praktik koruptif dalam pemberian remisi, grasi, bahkan pembebasan bersyarat amat sering terjadi. Siapa yang bisa menjamin di antara 660 narapidana yang memperoleh remisi, grasi, dan pembebasan bersyarat selama tahun 2010 terbebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme?

Suburnya praktik ini juga terjadi akibat simbiosis mutualisme yang tumbuh antara narapidana yang ingin bebas dan aparat yang kesejahteraannya minim. Masalah ini semakin sengkarut akibat monopoli pemberian hak warga binaan tersebut di bawah Kementerian Hukum dan HAM tanpa ada mekanisme kontrol dari lembaga eksternal. Kewenangan tanpa kontrol ini bisa menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan sehingga berpotensi disalahgunakan secara sewenang-wenang oleh kelompok berkuasa untuk memberi sarana keringanan hukuman bagi kroni mereka.

Kondisi ini sesungguhnya menimbulkan stagnasi pemberantasan korupsi di negeri ini. Di level hulu sudah bermasalah sebab lembaga-lembaga penegak hukum, seperti kepolisian dan kejaksaan, tidak pernah serius memberantas korupsi. Bahkan, mereka justru ”terlilit” problem korupsi yang menggerogoti tubuh institusi sendiri. Begitu pula di hilir, LP justru gagal melakukan proses pembinaan kepada para koruptor. Hal yang marak justru jual beli sel di dalam penjara. Ibarat pasar, ada barang ada harga; ada uang ada fasilitas.

Pemerintah harus bergerak cepat untuk memperbaiki keadaan ini. Jika pemerintah masih lamban, penjara justru akan beralih fungsi menjadi panti pijat yang akan memulihkan kebugaran para koruptor sepulangnya dari sana.

Donal Fariz Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch
Tulisan ini disalin dari Kompas, 14 Januari 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan