Persepsi Mobil Mewah

BELAKANGAN ini media massa memberitakan beberapa anggota DPR pamer mobil mewah. Ada wakil rakyat memiliki mobil seharga Rp 1 miliar, bahkan Rp 7 milar, dan membawanya ke gedung DPR. Di sisi lain banyak orang hidup dalam kondisi ekonomi sulit. Berita itu makin hangat tatkala ada wakil rakyat yang mengendarai mobil seharga Rp 1 miliar itu berkata, ”Saya mengendarai mobil mewah, apa salahnya?”

Masalahnya bukan pada harga Rp 1 miliar atau Rp 7 miliar melainkan pada pandangan atau persepsi mengenai mobil mewah. Mungkin bagi beberapa wakil rakyat itu, memiliki atau mengendarai mobil berharga miliaran rupiah adalah hal biasa. Apalagi sebelumnya mereka sudah kaya, pengusaha sukses, yang merasa wajar mengendarai mobil yang dalam pandangannya kendaraan ”biasa”.  

Tetapi bagi rakyat yang diwakilinya, yang hidup sehari-hari dengan kondisi ekonomi sulit, apa yang dilakukan atau dipertontonkan beberapa wakil rakyat itu sungguh keterlaluan. Jadi masalahnya ada pada perasaan atau pandangan. Persepsi wakil rakyat berbeda dari persepsi rakyat yang diwakili. Meskipun faktanya sama, yaitu mobil seharga Rp 1 miliar atau Rp 7 miliar, karena persepsinya berbeda maka terjadilah perdebatan, apakah mobil seharga itu layak dikendarai oleh wakil rakyat pada saat ini?

Orang yang lahir dalam lingkungan keluarga dengan status sosial ekonomi lemah akan memiliki persepsi berbeda dari mereka yang lahir dalam lingkungan keluarga dengan status sosial ekonomi kuat, ketika menghadapi peristiwa atau fakta yang sama. Persepsi yang dimiliki seseorang belum tentu mewakili secara persis realitas mengingat persepsi itu sangat subjektif. Hal ini karena budaya tempat hidup yang berbeda ikut memengaruhi persepsi.

Descartes dan Kant, dua filsuf ternama, berpendapat bahwa seseorang lahir dengan kemampuan persepsi yang sama dengan saat dia menjadi dewasa. Sebaliknya, Berkeley dan Locke, dua filsuf ternama lainnya, berpendapat bahwa seseorang memilik persepsi melalui proses belajar dengan menggunakan objek-objek di lingkungannya.  Dengan demikian persepsi seseorang ketika sudah dewasa akan berbeda dari persepsinya ketika masih kanak-kanak, dalam memandang hal atau peristiwa yang sama.

Dewasa ini diakui bahwa persepsi merupakan gabungan dari pendapat yang dilontarkan filsuf kelompok Descartes dan Kant dengan pendapat yang dikemukakan filsuf kelompok Berkeley dan Locke. Intinya, persepsi dipengaruhi oleh faktor bawaan ketika lahir dan juga dipengaruhi oleh pengalaman sepanjang hidup. Ada tiga aspek menyangkut persepsi, yaitu aspek kognitif yang berhubungan dengan pengenalan, afektif yang bertalian dengan emosi atau perasaan, dan aspek konatif yang berkaitan dengan motif dan kemauan.

Jadi, wajar saja ketika seorang pengusaha memiliki persepsi, ”Saya sah-sah saja mengendarai mobil seharga Rp 1 miliar atau bahkan Rp 7 miliar.” Tetapi wajar juga ketika rakyat memiliki persepsi bahwa anggota DPR itu adalah wakilnya, dan pada saat yang diwakili hidupnya masih susah secara ekonomi kok malah enak-enakan naik mobil mewah. Karena itu, kedua belah pihak harus mawas diri untuk saling memahami dan menyesuaikan dengan persepsi pihak lainnya.

Tetapi dalam alam demokratis, bukankah suara terbanyak yang menang dan harus diikuti, karena memang begitu pulalah tata cara pemilu di negeri ini untuk memilih para wakil rakyat ? Kalau begitu, seharusnya persepsi rakyatlah yang harus diikuti oleh para wakil rakyat, bukan sebaliknya. Artinya selama jadi anggota DPR jangan dulu naik mobil mewah dalam  persepsi rakyat, manakala masih banyak rakyat yang hidupnya susah.

Nanti, kalau sudah tidak menjadi wakil rakyat lagi, tidak terpilih kembali menjadi anggota DPR, silakan naik mobil mewah miliknya karena ia sudah kembali murni menjadi pengusaha, tanpa ”rangkap pekerjaan” sebagai wakil rakyat. (10)

Constantinus J Joseph,  praktisi psikologi industri dan komunikasi, magister manajemen
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 18 November 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan