Perlunya Model Divestasi Saham di Masa Depan

Divestasi saham Newmont Nusa Tenggara (NNT) selesai setelah pemerintah pusat mengambil sisa saham 7 persen. Momentum ini dapat dijadikan bahan renungan dan pelajaran untuk menyelesaikan proses divestasi lainnya pada masa mendatang. Dengan penyelesaian model ini, pemerintah pusat diharapkan mampu menjalankan tugasnya, yaitu menekan biaya transaksi ekonomi. Namun yang jauh lebih penting adalah penyelesaian itu memberi sinyal positif bahwa pemerintah melaksanakan tugasnya membuat negeri ini nyaman bagi investor.

Tulisan kecil ini akan menyoroti tiga pelajaran yang dapat diambil dari proses divestasi NNT, terutama dari perspektif institutional economics (ekonomi institusi). Ketiga hal tersebut adalah harmonisasi institusi informal dan formal, aturan baru (new rule of the game) yang mengakomodasi kepentingan daerah, serta perlunya keikutsertaan pemerintah pusat dalam kepemilikan saham.

Sejak jatuhnya Soeharto pada 1998, terjadi keterputusan antara institusi formal dan informal. Pada masa reformasi, secara dramatis institusi formal yang menjadi landasan kehidupan politik berubah. Salah satunya adalah aturan mengenai desentralisasi yang memberi beberapa kewenangan kepada pemerintah tingkat kabupaten/kota.

Dampak ikutan dari aturan ini adalah munculnya perasaan bahwa daerah dapat juga menentukan atau setidaknya memiliki pendapat bagaimana sumber daya alam yang berada di daerahnya dikelola. Kisruh pada proses divestasi terjadi tepat pada titik ini, karena kalau dilihat peraturannya, kontrak karya, peran pemerintah daerah memang tidak pernah disebutkan. Perburuan politik atas proses divestasi juga terjadi karena pemerintah pusat dikesankan tidak kuat, sehingga pemerintah daerah "berani" melawan kebijakan yang sudah digariskan oleh pemerintah pusat.

Di sini muncul ketidakharmonisan antara aturan formal dan institusi informal. Secara formal, proses divestasi menjadi kewenangan pemerintah pusat. Tidak ada tawar-menawar soal ini. Tapi karakter mendasar ekonomi rente, yang informal, tidak pernah betul-betul lenyap prakteknya di negeri ini. Kenapa ekonomi rente disebut sebagai kegiatan yang sifatnya informal? Sebab, kegiatan ekonomi ini didasari atas norma yang cukup lama berlaku di sini bahwa penguasa atau pihak-pihak yang dekat dengan penguasa merasa memiliki hak atas pengelolaan sumber daya alam. Jadi ini semacam privilese yang dimiliki oleh pemegang kekuasaan dan lingkarannya.

Sementara pada masa Soeharto rente diperebutkan oleh pihak yang memiliki akses atas Soeharto, pada masa reformasi rente diperebutkan oleh lebih banyak pihak. Pemerintah daerah adalah salah satu pemain yang amat penting dan sesungguhnya memiliki daya tawar yang tidak dapat dikatakan rendah. Kenapa demikian? Sebab, secara faktual, lokasi tambang berada di daerah dan itu artinya dalam jangkauan pemerintah daerah, sehingga pemerintah daerah dapat saja melakukan perlawanan dalam bentuk demonstrasi atau pemboikotan atas akses ke tambang yang dimaksudkan.

Karakter ekonomi rente ini memang sulit dihilangkan karena bermain di wilayah norma yang tidak memiliki aturan hukum yang jelas dan pasti. Terkait dengan proses divestasi, setidaknya pada NNT, sebetulnya ekonomi rente dapat dikurangi karena hampir tidak mungkin menghilangkannya sama sekali, dengan membuatnya menjadi aturan yang formal. Caranya yang mungkin dilakukan adalah membuat aturan baru yang mengakomodasi kepentingan daerah. Kenyataan ekonomi-politik memperlihatkan bahwa pemerintah daerah selalu saja ingin mendapatkan saham dari sumber daya alam yang berada di daerahnya. Pada masa awal pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah pusat sudah mengakomodasi pemerintah daerah dengan memberikan saham kepada kasus Blok Cepu. Jadi sebetulnya cara ini pernah dilakukan. Namun memang belum dibuatkan aturan yang lebih jelas.

Dari pengalaman tersebut, pemerintah pusat dan daerah dapat duduk berunding untuk merumuskan aturan baru yang mengakomodasi kepentingan daerah tanpa harus mengorbankan kepentingan pemerintah pusat. Belajar dari pengalaman Cepu, pemerintah daerah sebetulnya sudah cukup puas dengan pemberian saham sebesar 10 persen. Besaran saham yang ditransfer ke daerah memang bervariasi, tergantung jenis sumber daya alamnya. Tapi intinya terletak pada kesepakatan bahwa pemerintah daerah diakomodasi kepentingannya, dan besarnya merupakan kesepakatan dengan pemerintah pusat. Namun dalam perundingan ini pemerintah daerah mestinya membatasi diri karena pengalamannya dalam mengelola usaha pertambangan biasanya tidak terlalu banyak.

Dengan cara ini, pertempuran politik memang akan berpindah, dan dampak politiknya dapat jadi lebih kecil karena tidak akan secara langsung mengganggu operasi sumber daya yang sedang diperebutkan. Cara ini juga menguntungkan karena pemerintah pusat dapat memberi payung yang lebih pasti. Kalkulasi mengenai risiko yang akan dihadapi oleh investor juga akan jauh lebih mudah diperhitungkan ketimbang harus bermain dalam wilayah yang abu-abu.

Divestasi NNT juga mengajarkan bahwa pemerintah pusat sebaiknya ikut serta dalam kepemilikan saham, dan ini menjadi praktek yang cukup umum yang dikenal sebagai sovereign wealth fund. Dengan kepemilikan saham tersebut, pemerintah pusat memiliki akses sehingga praktek good corporate governance dapat diawasi bersama-sama. Dengan memiliki saham, pemerintah pusat memiliki hak untuk mengetahui pengelolaan perusahaan.

Namun yang jauh lebih penting dengan masuknya pemerintah pusat adalah pada sinyal yang diberikan kepada investor bahwa pemerintah pusat mempertahankan komitmen untuk menjaga iklim investasi di negeri ini. Selebihnya adalah mengenai transparansi dan audit lingkungan. Tantangan ke depan dalam pengelolaan sektor pertambangan terkait erat dengan isu lingkungan. Masuknya pemerintah pusat akan lebih memberikan akses publik ke dalam perusahaan sehingga transparansi bisa dijaga dan audit lingkungan atas pengelolaan sumber daya alam bisa dimintakan.
 
Wahyu Prasetyawan, DOSEN FIDKOM UIN JAKARTA, PENELITI LEMBAGA SURVEI INDONESIA, PROFESOR TAMU DI GRIPS (NATIONAL GRADUATE INSTITUTE FOR POLICY STUDIES), TOKYO, JEPANG
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 18 Mei 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan