Perlukah Revisi UU KPK?

Usulan revisi UU KPK dari DPR RI dikhawatirkan menjadi “bola liar” yang akan memandulkan kewenangan KPK sehingga mengundang reaksi dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) antikorupsi dan pimpinan KPK sendiri.

Apakah benar seburuk itu sikap anggota DPR RI sehingga DPR RI mengambil inisiatif mengajukan revisi UU KPK? Meski demikian usulan revisi UU KPK 2002 harus terkait dengan perubahan UU Antikorupsi 1999/2001 sebagai akibat ratifikasi Konvensi PBB Antikorupsi 2003 dengan UU Nomor 7 Tahun 2006.

Dalam perspektif masa depan dengan pemberantasan korupsi di Indonesia perubahan harus bertitik tolak pada perbedaan kondisi pra-ratifikasi dan pasca ratifikasi Konvensi PBB Antikorupsi 2003. Pertama, pada masa praratifikasi konvensi, Indonesia memiliki dua undang-undang yaitu UU Antikorupsi 1999/2001 dan UU KPK (2002).

Kedua UU Indonesia tersebut beranjak pada adagium bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes) sedangkan Konvensi PBB 2003 hanya mengenal korupsi sebagai kejahatan transnasional.Konvensi tidak mengenal kosakata “extra-ordinary crimes” dan “extra-ordinary measures”.

Kedua, dalam kedua UU Antikorupsi diatur bahwa penanganan korupsi—karena adalah kejahatan luar biasa— memerlukan cara-cara penanganan yang bersifat luar biasa pula (extra-ordinary measures) dan diperbolehkan menyimpang dari prinsip-prinsip rule of law dan due process of law.

Sedangkan Konvensi PBB Antikorupsi 2003 tidak memberikan mandat kepada negara peratifikasi untuk menggunakan cara-cara luar biasa tersebut kecuali dibolehkan menggunakan prosedur pembuktian terbalik (reversal of burden of proof). Cara tersebut hanya dimandatkan bersifat non-mandatory obligation.UU Antikorupsi Indonesia sejak tahun 1999 telah membolehkan prosedur pembuktian terbalik yang bersifat wajib kepada tersangka/terdakwa.

Ketiga, kedua UU Antikorupsi Indonesia mengutamakan pentingnya unsur kerugian negara dalam pembuktian korupsi. Sedangkan Konvensi PBB Antikorupsi 2003 tidak memandang penting dan relevan kerugian negara dalam korupsi. Saat itu negara peratifikasi konvensi sepakat untuk menghapuskan unsur kerugian negara sebagai unsur konstitutif dalam tindak pidana korupsi.

Keempat, sebagai konsekuensi pengakuan korupsi sebagai kejahatan luar biasa dan memerlukan cara-cara luar biasa, kedua UU Antikorupsi Indonesia telah “menghalalkan” langkah penyadapan, pemblokiran, penggeledahan rumah atau penyitaan tanpa izin pengadilan terhadap setiap orang yang di duga melakukan tindak pidana korupsi.

Sedangkan Konvensi PBB Antikorupsi 2003 secara tegas melarang tindakan-tindakan yang melanggar prinsip due process of law; non-self incriminating evidence dan presumption of innocence serta hak-hak dasar yang diatur dalam konstitusi negara pihak.

Kelima,Konvensi PBB 2003 telah menugaskan negara peratifikasi untuk memasukan strategi pencegahan dan pengembalian aset korupsi ke dalam perundang-undangan nasional di samping strategi kriminalisasi dan pemberantasannya. Kedua UU Indonesia tersebut tidak secara khusus mengatur strategi pencegahan dan pengembalian aset korupsi.

Menyesuaikan Ratifikasi

Perubahan UU Antikorupsi (1999/2001) dan UU KPK (2002) dilandaskan pada konsekuensi pasca ratifikasi Konvensi PBB Antikorupsi 2003 untuk melaksanakan perubahan politik hukum penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

Menurut pengamatan penulis, pemerintah Indonesia hanya mengajukan reservasi terhadap Pasal 66 Konvensi PBB Antikorupsi 2003 khusus tentang penyelesaian sengketa,dan tidak terhadap ketentuan lainnya termasuk kriminalisasi dan penegakan hukum dan kerja sama internasional.

Sikap pemerintah Indonesia tersebut mencerminkan pengakuan total terhadap 99% ketentuan inti (core articles) konvensi tersebut termasuk prinsip-prinsip hukum dan HAM universal di atas.Akibatnya, pemerintah dan DPR RI wajib mengajukan usul perubahan UU Antikorupsi (1999/2001) menyesuaikannya dengan substansi konvensi serta menghapuskan ketentuan- ketentuan yang melanggar prinsip perlindungan hak asasi tersangka/ terdakwa korupsi.

Konsekuensi lanjutan dan terkait dengan perubahan UU Antikorupsi adalah perubahan pada UU tentang KPK sebagai leading agency pemberantasan korupsi. Perubahan ini juga sebagai akibat hukum putusan MK RI dalam hal pemberhentian sementara kasus Bibit dan Chandra yang telah menyatakan ketentuan Pasal 32 ayat (2) UU KPK bertentangan dengan UUD 1945.

Tuntutan perubahan juga diperlukan agar strategi pencegahan dalam UU Antikorupsi dan UU KPK merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari strategi penindakan. Dalam konteks implementasi Konvensi PBB Antikorupsi 2003 perlu dipertimbangkan hal-hal yang sensitif mengenai perlindungan dan pemajuan HAM tersangka/terdakwa.

Karena pelanggaran terhadap hak dimaksud akan menjadi faktor penghambat kerja sama internasional dalam penegakan hukum pemberantasan korupsi dengan negara lain. Tuntutan perubahan tersebut juga disebabkan mekanisme reviu atas implementasi Konvensi PBB Antikorupsi 2003 oleh United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) terhadap setiap negara peratifikasi, termasuk konsistensi implementasi Konvensi PBB Antikorupsi.

Rekomendasi Tim Reviu UNODC mengenai implementasi Konvensi PBB Antikorupsi di Indonesia Tahun 2010 meliputi beberapa hal, yaitu: delapan mengenai ketentuan kriminalisasi; tujuh belas mengenai penegakan hukum; tujuh mengenai ekstradisi; sepuluh mengenai MLA; dan dua mengenai kerja sama penegakan hukum.

Reviu ini harus segera dipertimbangkan dan dipertanggungjawabkan kepada UNDOC. Implikasi ratifikasi dan rekomendasi tim reviu Konvensi PBB Antikorupsi 2003 tersebutlah yang merupakan sinyal perubahan terhadap UU Antikorupsi termasuk UU KPK.
ROMLI ATMASASMITA Guru Besar Universitas Padjadjaran (Unpad)/Anggota Tim Ahli UNDOC dan UNCAC 2003
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 24 Oktober 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan