Perlindungan Saksi; Hak Ekonomi Harus Dijamin

Sejalan dengan isi UUD 1945 dan upaya penegakan hak asasi manusia, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban seharusnya menjamin hak keamanan sekaligus ekonomi kliennya. Jaminan itu mendesak diberikan kepada klien kasus kejahatan terorganisasi, seperti korupsi, perdagangan manusia, dan narkoba.

Hal itu terungkap dalam pembukaan Pelatihan Internasional Aktivitas Perlindungan Saksi dan Korban di Negara-negara ASEAN dan Lainnya yang diselenggarakan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bekerja sama dengan lembaga PBB yang menangani kejahatan narkoba dan kriminal, UNODC, di Sanur, Bali, Senin (29/11). Selain anggota ASEAN, hadir perwakilan Amerika Serikat, Hongkong, India, Australia, dan Afrika Selatan.

Direktur Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM Harkristuti Harkrisnowo menyatakan, UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban merupakan bentuk respons langsung atas kondisi perlindungan sebelumnya yang lebih cenderung tertuju kepada terpidana. Di sisi lain, ketika UU itu sudah diberlakukan, upaya perlindungan terhadap saksi dan korban tidak mudah diterapkan pada kejahatan-kejahatan terorganisasi, seperti korupsi, perdagangan manusia, dan narkoba.

”Padahal, setiap warga negara punya hak konstitusional sebagaimana diatur UUD 1945 Pasal 28 yang terkait kesejahteraan dan keamanan. Jadi, perlindungan itu harus dilakukan negara, melalui LPSK,” kata Harkristuti.

Penasihat Hukum Tetap Indonesia pada Departemen Kehakiman AS Terry M Kinney mengakui negerinya membutuhkan jalan panjang untuk dapat memberikan jaminan keamanan sekaligus kesejahteraan bagi saksi dan korban kasus kejahatan terorganisasi. Jenis perlindungan itu, antara lain, meliputi pemindahan lokasi tempat tinggal, penerbitan identitas baru, hingga pemberian penghidupan yang layak bagi mereka. Anggaran tahun lalu di Departemen Kehakiman AS untuk mengurusi perlindungan saksi dan korban mencapai 15 juta dollar AS.

”Kami belajar dari pengalaman sejak awal tahun 1970, yakni saat pertama kami membuat semacam divisi perlindungan saksi dan korban. Anda lihat, 40 tahun kemudian hampir semua negara di dunia sudah mempunyai lembaga semacam ini. Ini menandakan bahwa apa yang kami lakukan benar,” kata Kinney.

Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengakui, keberadaan LPSK yang baru berusia 2,5 tahun membuat kapasitasnya belum cukup ideal sesuai misi awal lembaga sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 13 Tahun 2006. Lembaga ini diharapkan melindungi saksi dalam kejahatan besar dan terorganisasi.

Pada akhir pelatihan akan ada penandatanganan Piagam Kesepakatan Perlindungan Saksi dan Korban dengan Mahkamah Agung, Polri, Kejaksaan Agung, dan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). (BEN)

Sumber: Kompas, 30 November 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan