Perkebunan Liar Rugikan Negara Rp 169 Triliun

Potensi kerugian negara akibat praktik bisnis perkebunan liar kelapa sawit di kawasan hutan di Indonesia mencapai Rp 169,797 triliun. Pemerintah didesak segera memperbaiki tata kelola hutan untuk menyelamatkan hutan.

Riset Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan, selisih penerimaan negara dari sektor non pajak kawasan hutan selama kurun waktu 2004-2007 mencapai Rp Rp 169,797 triliun. Nilai itu didapat dari perhitungan selisih antara potensi penerimaan negara dari Dana Reboisasi (DR) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dikurangi pendapatan negara yang diterima.

Dari perhitungan ICW, seharusnya negara dapat memperoleh Rp 217,629 triliun dari dana reboisasi hutan dan PSDH akibat pembukaan lahan perkebunan sawit seluas  8 juta hektar. Akan tetapi, menurut data dari Kementerian Kehutanan, total penerimaan negara dari kedua wilayah tersebut hanya mencapai Rp 47,8 triliun. "Terjadi kekurangan potensi penerimaan negara senilai  Rp Rp 169,797 triliun," ujar peneliti Divisi Monitorng dan Analisis Anggaran ICW, Mouna Wasef, dalam konferensi pers di Cikini, Jakarta, Selasa (27/9/2011).

Perhitungan potensi penerimaan negara dari sektor hutan itu didasarkan pada nilai tegakan kayu dan Penerimaan Negara Bukan Pajak dengan mempertimbangkan data laju deforestasi hutan Indonesia. Angka yang dijadikan acuan untuk nilai tegakan kayu adalah besaran harga yang telah ditentukan pemerintah, yakni Rp 360 ribu perhektar. Sementara, tarif PSDH adalah 10 persen dari nilai tegakan. Adapun tarif Dana Reboisasi berkisar antara 13-18 US dolar perhektar. "Perhitungan ini pun termasuk yang paling rendah di dunia. Jika dihitung berdasarkan harga pasar, potensi penerimaan negara akan jauh lebih tinggi," cetus Mouna.

Selain kekurangan penerimaan negara, bisnis perkebunan kelapa sawit juga memberi dampak buruk terhadap lingkungan. Data Greenpeace Indonesia, dampak ekologis akibat praktik bisnis sawit telah menyebabkan masyarakat lokal tercerabut dari sumber kehidupannya. Alih fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit telah merenggut pusat masyarakat rimba berikut ekosistem di dalamnya.

Moratorium penebangan hutan selama dua tahun yang telah diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menurut juru kampanye Greenpeace Zulfahmi, merupakan saat yang tepat untuk memperbaiki tata kelola wilayah hutan. Menurut Zul, telah terjadi pembalakan liar berstempel resmi akibat beroperasinya perkebunan kelapa sawit yang mendapatklan ijin yang kontroversial. "Saya menyebut ijin yang dikeluarkan adalah kontroversial, karena meskipun resmi, tetapi tidak sesuai dengan aturan perlindungan terhadap kawasan hutan," tukas Zulfahmi.

Zul mencontohkan, saat ini perusahaan perkebunan yang mengantongi ijin pengusahaan hutan di kabupaten Pelelawan, Riau, masih beroperasi kendati surat ijin itu terbukti bermasalah. Bupati Pelelawan Tengku Azmun Jafar yang menerbitkan surat ijin pemanfaatan hutan di Riau telah divonis 11 tahun penjara akibat penerbitan surat itu. "Seharusnya ada sinkronisasi, perusahaan bermasalah itu harus ditutup," cetus Zul. Farodlilah

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan