Perilaku Mengait Kode Etik Hakim

Penyelesaian perkara yang menyangkut perilaku dan pelanggaran kode etik, tidak boleh memasuki ranah kemandirian hakim dalam memutus perkara

KOMISI Yudisial (KY) sebagai lembaga negara yang bersifat mandiri, dalam melaksanakan tugasnya harus bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya. Hal itu penting mengingat kewenangannya mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR, serta menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan menjaga perilaku hakim (Pasal 13 UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang KY).

Dalam konteks perilaku hakim, disebutkan bahwa pengawasan KY terhadap perilaku hakim demi menjaga kehormatan dan keluhuran martabat. Penguatan wewenang itu termasuk mengusulkan sanksi melalui Mahkamah Agung (MA) dan/ atau Mahkamah Konstitusi (MK), sebagaimana disebutkan Pasal 24 UU tersebut.

Kemudian, arahan dalam penjelasan umum UU itu, dengan mendasarkan pada UUD 1945 yang memberikan landasan hukum kuat bagi reformasi bidang hukum, juga  memberikan kewenangan KY untuk menjalankan checks and balances. Kendati bukan pelaku kekuasaan kehakiman, fungsi komisi itu berkaitan dengan kekuasaan kehakiman.

Tugas melakukan checks and balances yang dikaitkan dengan fungsinya dengan kekuasaan kehakiman, memperjelas perannya. Artinya bisa mengait dengan dugaan pelanggaran kode etik (penjelasan Pasal 22 Ayat 1 Sub c,d, dan e). Namun alinea berikutnya mengingatkan bahwa pelaksanaan tugas KY tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara (Pasal 22 Ayat 3).

Sekadar menyegarkan pemahaman pembaca, Pasal 2 Ayat 4 jo Pasal 3 Ayat 2 UU Nomor 48 Tahun 2009 mengenai Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa peradilan dilakukan dengan cara sederhana, cepat, dan biaya ringan, serta melarang segala campur tangan dalam kekuasaan kehakiman, kecuali dimuat dalam UUD 1945.

Dalam konteks kekinian, kita perlu memperjelas arti (kata) perilaku (behaviour) sebagaimana tersirat dalam UU KY mengingat hal itu bisa memiliki pengertian antara lain sikap atau tanggapan. Bila dihubungkan dengan pelanggaran perilaku hakim, hal ini memberi asumsi tentang sikap yang terjadi tapi tidak bisa diartikan prosedur pelanggaran dalam menjalankan atau menerapkan hukum.

Karena itu, benar seperti dikatakan Ketua Komisi Yudisial Eman Suparman bahwa  pengawasan hakim secara ideal menurutnya adalah ‘’hak perlu diawasi saat di ruang sidang dan di luar pengadilan’’ (Tempo, Nomor 4008/ 2011), atau bisa diistilahkan pengawasan luar dalam.

Bebas Intervensi
Pasal 22 Ayat 2 UU KY juga menekankan perlunya menaati norma, hukum, dan peraturan perundang-undangan. Para penegak hukum, termasuk KY, wajib menghormati dan menaati KUHAP, terutama ketika melaksanakan pengawasan. Terlebih lagi Pasal 22 Ayat 3 UU yang sama menyebutkan bahwa pelaksanaan tugas KY tak boleh mengurangi kebebasan hakim memeriksa dan memutus perkara.

Lema itu relevan bila dikaitkan dengan tugas pemeriksaan terhadap pelanggaran perilaku hakim, dan pemanggilan untuk meminta keterangan hakim yang diduga melanggar kode etik sebagaimana tersirat pada Pasal 22 Sub e dan d UU Komisi Yudisial.

Menyangkut kode etik (kode kehormatan hakim), juga sudah dijelaskan bahwa lembaga yang berkompeten memutuskan tentang pelanggaran itu, termasuk bila menyangkut perilaku hakim, adalah MA, dalam hal ini Majelis Kehormatan Hakim (Pasal 11 A Poin 8 UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung).

Keanggotaan majelis tersebut terdiri atas 3 hakim agung dan 4 anggota KY. Karena itu, temuan-temuan KY tentang pelanggaran perilaku hakim hanya sekadar pengumpulan data dan fakta karena penyelesaiannya tetap di tangan MA, dalam hal ini Majelis Kehormatan Hakim.

Penyelesaian perkara yang menyangkut perilaku dan pelanggaran kode etik, tidak boleh memasuki ranah kemandirian hakim dalam memutus perkara, terutama keyakinannya mengenai penggunaan alat bukti. Kita bisa mencermati teks gramatikal Pasal 20 jo 22 UU Komisi Yudisial yang menegaskan bahwa KY hanya bisa mengusulkan (melalui MA/ MK) dan tidak berwenang menjatuhkan sanksi.

Semua itu dimaksudkan untuk mempertahankan kemerdekaan peradilan, dalam arti membebaskan dari campur tangan, tekanan, dan intervensi, baik secara fisik, psikis, maupun politis. Hal itu juga merupakan jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan tertentu, terutama penyelenggaraan peradilan yang memiliki cita-cita menegakkan hukum dan keadilan. (10)

Prof Ign Ridwan Widyadharma SH MS PhD, advokat di Semarang, dosen mata kuliah Professional Responsibility Fakultas Hukum Undip dan Fakultas Hukum Unika Soegijapranata
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 18 Mei 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan