Perempuan-perempuan Musuh Publik
Perempuan yang mencatatkan namanya sebagai musuh publik kian banyak. Terakhir adalah Eni Maulani Saragih (EMS), Wakil Ketua Komisi VII DPR. EMS dicokok KPK di rumah dinas Menteri Sosial Idrus Marham (IM) pada minggu kedua Juli. EMS diduga terlibat kasus suap Rp 4,8 miliar dalam proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau-1 di Provinsi Riau. Belakangan, setelah diperiksa beberapa kali, ia dinyatakan sebagai tersangka.
Istilah ”musuh publik” berasal dari bahasa Latin hostis publicus. Di AS, tahun 1930-an, istilah itu ngepop setelah Frank J Loesch, Ketua Komisi Kejahatan Chicago, menulis memoarnya dalam memerangi Al Capone dan kejahatan terorganisasi lain. Ia menyebut mereka musuh publik.
Korupsi termasuk kejahatan luar biasa yang merugikan keuangan negara, perekonomian, dan masyarakat. Karena itu, pelakunya bisa juga disebut sebagai musuh publik. Sebelum EMS, KPK juga mencokok beberapa kepala daerah perempuan, berturut-turut: Imas Aryumningsih (Bupati Subang), Siti Masitha Soeparno (Wali Kota Tegal), Sri Hartini (Bupati Klaten), Atty Suharti (Wali Kota Cimahi), Ratu Atut Chosiyah (Gubernur Banten), Rita Widyasari (Bupati Kutai Kartanegara), dan lain-lain.
Persentase perempuan yang menjadi musuh publik relatif masih lebih kecil—sekitar 4 persen—ketimbang musuh publik lelaki. Akan tetapi, spesifikasi kepala daerah perempuan, yang bermetamorfosis menjadi musuh publik, gambarannya cukup memprihatinkan. Selama kurun 2010-2018, dari 38 perempuan kepala daerah (gubernur/bupati/wali kota), sekitar 18,42 persen berubah menjadi musuh publik.
Hal itu menjadi ironi di tengah upaya keras mendorong kepemimpinan perempuan dalam politik. Apakah hijrah dari ruang domestik ke ruang publik menjadikan perempuan rentan menjadi musuh publik?
Pengalaman penulis, guru mengaji kita selalu mengajarkan bahwa manusia itu dilahirkan dalam keadaan suci. Lingkungannyalah yang akan menjadikan ia Yahudi, Nasrani, Muslim, Majusi, Hindu, Buddha, ateis, atau yang lain. Dengan demikian, nurture-nyalah—bukan nature—yang akan menjadikan lelaki atau perempuan itu sebagai musuh publik atau bukan. Jadi menjadi musuh publik itu bukan penyakit hereditas (turunan).
Korupsi dan keseimbangan jender
Menyimak fenomena korupsi dan keseimbangan jender di Finlandia, Norwegia, Swiss, dan Swedia, kejahatan korupsi di negara-negara itu sangat rendah. Hampir tak ada. Ini tecermin pada Indeks Persepsi Korupsi pada 2017 yang mendekati angka 90 dari skala 0-100. Kecenderungan lelaki dan perempuan berbuat jahat dan korup sama rendahnya. Hal itu karena di sana tata kelola pemerintahan yang baik dan tata kelola bisnis yang baik sudah berjalan dengan baik.
Demikian juga penegakan hukum. Kontrol politik dan kontrol publik—dari warga dan media—juga sangat kuat. Integritas pribadi pejabat publik dan pejabat negara serta warga negara juga teruji baik.
Yang menarik adalah Global Gender Gap Indeks (G3I) keempat negara itu juga sangat bagus, berkisar 0,80-0,85 dari skala 0,0-1,0. Artinya, dari perspektif relasi jender, masyarakat di sana sudah mencapai kesetaraan. Apakah ini berarti kesetaraan jender membantu mengatasi problem korupsi dan munculnya musuh publik ? Bisa jadi. Karena korupsi itu soal kuasa dan relasi kekuasaan. Relasi kekuasaan yang tak seimbang mendorong tingginya prevalensi korupsi. Sekali relasi kuasa laki-perempuan diseimbangkan, maka ia kontributif terhadap pencegahan dan pemberantasan korupsi. Hubungan itu bisa juga berlaku sebaliknya, sukses pemberantasan korupsi membantu menciptakan keseimbangan jender di masyarakat.
Dalam konteks kesetaraan jender itulah sebenarnya kita bisa mempertanyakan, bagaimana sebenarnya relasi kuasa antara IM dan EMS pada kasus korupsi PLTU-1 Riau? Apakah EMS di bawah superordinasi (dominasi) dan subordinasi (kepatuhan) IM dalam melakukan tindak kejahatan korupsi?
Dedi Haryadi Ketua Beyond Anti Coruption
Tulisan ini disalin dari Harian Kompas, 31 Agustus 2018