Perekrutan Kelam Pengadilan

DUNIA pengadil negeri ini kembali tercoreng. Syarifuddin Umar, hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi sesaat setelah ketahuan menerima uang Rp 250 juta dari kurator PT Skycamping Indonesia (SCI) Puguh Wiryawan. Tiga amplop berwarna cokelat yang dimasukkan dalam kantong kertas merah dipakai membungkus lembaran duit haram itu. Uang yang diamankan dari tangan Syarifuddin ditengarai berkaitan dengan kewenangannya memailitkan perusahaan itu. Tertangkapnya dia menambah panjang daftar hitam hakim yang menorehkan noda.

Kasus ini membuat sebuah refleksi, apa ada yang keliru dengan pola perekrutan calon hakim. Cerita miring terkait dengan proses penerimaan calon hakim bukanlah isapan jempol. Banyak kasak-kusuk melintas di seputar perekrutannya. Misalnya, kabar yang muncul dari mulut ke mulut lulusan sarjana hukum pada saat menggapai keberuntungan menjadi calon hakim ataupun para orang tuanya mengatakan, mereka harus merogoh kocek puluhan juta, bahkan ratusan juta rupiah, agar lolos seleksi.

Mulai mengamankan jalan persyaratan administrasi, kemudian tes tertulis yang dilabeli tes kompetensi dasar (TKD), meliputi tes pengetahuan umum (TPU), tes bakat skolastik (TBS), dan tes skala kematangan (TSK), tes kompetensi bidang (TKB) untuk menentukan posisi absolut calon hakim, tes wawancara, tes psikologi, hingga tes baca kitab di depan majelis hakim panitia, selalu basah dengan rupiah.

Pengawasan Publik

Berdasarkan informasi, dana harus dikucurkan oleh para pelamar posisi calon hakim ataupun walinya untuk memudahkan jalannya tes. Belum lagi, beberapa formasi hakim sudah dipesan lebih dahulu. Ada kursi yang sudah dipatok untuk diisi oleh calon hakim tertentu.

Pada bagian itu, ritual memberikan dana guna mengamankan kursi calon hakim, simetris dengan tindak pidana suap. Bahwa ketika panitia penerimaan calon pengadil menerima sejumlah uang dan sesuatu berharga lainnya karena berkaitan dengan kewenangannya, untuk menjalankan atau tidak menjalankan sesuatu yang berkaitan dengan kewenangannya, maka hal tersebut menurut aturan pemberantasan tindak pidana korupsi dianggap sebagai tindak pidana suap.

Dalam tindak pidana suap, pembuktiannya secara hukum sungguh susah. Tatkala di antara penyuap atau yang disuap tutup mulut maka rantai pembuktiaannya dalam ranah hukum terputus sudah. Alhasil, persidangannya pun menjadi terhambat, dan berpotensi untuk ditutup.

Artinya, meski kasak-kusuk mengenai sejumlah uang yang dibayarkan untuk menjadi calon pengadil santer terdengar, hal itu dianggap angin lalu belaka. Pasalnya, pembuktian secara hukumnya menemui jalan buntu. Perihal ini juga yang membuat sampai detik sekarang kecurangan dalam penerimaan calon hakim sulit diungkap. Perekrutan kelam sang pengadil terus berlalu.

Pada masa berikutnya, perekrutan kelam sang pengadil, akan menghasilkan hakim yang bermasalah dan tak berkeadilan, seperti diperlihatkan oleh hakim Syarifuddin, yang kini diberhentikan sementara oleh Mahkamah Agung (SM, 07/06/11). Awalnya, kemungkinan perbuatan tercela yang melanggar hukum diambil hakim untuk menutup utang yang digali saat proses seleksi. Tetapi dalam jangka panjang, perbuatan itu seperti khamar yang memabukkan dan membuat ketagihan. Makin terus diminum, makin nikmat. Meski akhirnya membuat jatuh sakit, tetap saja minuman itu dikonsumsi.

Pangkal persoalan perekrutan calon hakim, selain masalah moral, juga terletak pada sistem yang tak transparan dan rendahnya mutu akuntabilitas. Keterbukaan dan tanggung jawab yang minim dalam wewenang mengambil calon hakim melahirkan kekuasaan absolut yang mengarah ke korupsi absolut. Disangkal atau tidak, di situlah akar masalah tumbuhnya hakim curang.

Sejujurnya, untuk menghindari berlangsungnya perekrutan kelam, perlu dipikirkan pola penerimaan calon hakim yang transparan dan akuntabel. Selain mengumumkan kepada khalayak, Mahkamah Agung (MA) melalui pengadilan tinggi harus mengundang publik agar ikut mengawasi proses penerimaan calon hakim.

Selain itu, wacana membentuk perwakilan Komisi Yudisial (KY) di tiap daerah, layak dieksekusi. Hal itu mengingat tugas dan fungsi KY yang menjaga perilaku dan martabat hakim akan mudah dijalankan ketika lembaga ini berada dekat dengan hakim yang ada di daerah. Terakhir, koordinasi penegak hukum seperti KPK, Kejakgung, atau Polri, dengan MA dan KY untuk membersihkan perekrutan hakim menjadi pelengkap dalam usaha menemukan hakim yang antikorupsi dan berkeadilan. (10)

Hifdzil Alim, peneliti pada Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 8 Juni 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan