Peradilan Tipikor yang Dirindukan

Andai korupsi tidak terus menggilas dengan kekuatan merusaknya yang dahsyat terhadap negeri tercinta ini, rasanya bangsa ini tidak akan menjatuhkan pilihan untuk membentuk organorgan negara, serta fungsi khusus untuk memeranginya.

Celakanya, sebagian organ yang dibentuk untuk itu,seolah meremehkan spirit pembentukannya dan menjauh dari kerinduan mulia bangsa ini. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, yang dibentuk dengan UU Nomor 46 Tahun 2009, yang bertujuan memastikan bahwa bangsa ini berada pada lintasan yang benar, dalam kenyataannya sebagian mengecewakan. Betapa tidak,kecuali Pengadilan Tipikor Jakarta, Pengadilan Tipikor Lampung, Ambon, Samarinda, dan Bandung (SINDO, 9/11), bila tidak menyabot, meremehkannya melalui putusan bebas terhadap terdakwa tipikor.

Klaim Standar
Memang pengadilan bukan tempat menghukum, bukan pula tempat membebaskan seseorang yang didakwa melakukan kejahatan, termasuk kejahatan korupsi. Menghukum tanpa alasan,bukti yang cukup dan keyakinan penuh sang hakim atas hal ihwal yang dinilai telah terbukti itu, bukanlah peradilan yang bermartabat.

Begitu pula sebaliknya, membebaskan terdakwa yang bukti-buktinya cukup untuk menyatakan kesalahannya, juga bukan peradilan yang bermartabat. Menghukum atau membebaskan, semuanya memiliki tujuan agung. Dan, tujuan agung itu tidak terletak dalam hukuman atau pembebasan itu sendiri.Tujuannya ada di luar itu.Terpeliharanya adab bermasyarakat itulah tujuan agung dibalik menghukum atau membebaskan.Hanya dengan cara seberadab itulah orang, siapa pun dia, tidak direndahkan harkat dan martabatnya oleh peradilan. Itu sebabnya pengadilan dan peradilan mutlak dipredikatkan sebagai organ independen.

Bermahkota independensi itulah hakim dituntut mengenali jernihnya moralitas di balik norma-norma hukum, sekaligus memiliki kebebasan mendemonstrasikan insan kamilnya dalam menemukan dan meletakkan hukum atas kasus yang diperiksa dan diadilinya. Sungguh, independensi adalah mahkota organ ini. Itu sebabnya para pembentuk UUD Amerika Serikat, lebih dari dua abad yang lalu, memeras otak persoalan ini, tentu berharga. Berharga karena mereka tidak hanya hendak memastikan terlindunginya rakyat yang satu dari rakyat yang lain, tetapi juga memastikan bahwa rakyat terlindungi dari pemerintah, termasuk peradilan yang sesat.

Sembari melirik masa lalu negeri yang menjajah mereka, para pembentuk UUD Amerika Serikat memperoleh keyakinan betapa peradilan pernah menjadi senjata kedua— sama ampuhnya dengan senjatasebenarnya— yang digunakan raja dalam membumihanguskan harkat dan martabat manusia.Nafsu ini bagi mereka harus dibelenggu. Cara membelenggunya adalah dengan memahkotai organ ini— pengadilan dan peradilan— dengan independensi.

Tuan-Tuan Hakim
Tuan-tuanlah jantung independensi peradilan, jantung hukum dan keadilan. Tuan miring,miring pulalah hukum, berantakanlah keadilan, dan hancurlah masyarakat. Tuan beres, maka bereslah hukum, kukuhlah keadilan, dan beres pulalah masyarakat. Kerja tuan-tuan bukanlah menghukum, juga bukan membebaskan. Hukumlah terdakwa bila cukup bukti, dan tuan yakin terhadapnya.

Begitu sebaliknya, bebaskanlah terdakwa bila tak cukup bukti, dan tuan meyakininya pula. Faktanya kini tuan-tuan berada dalam badai kritik,berkenaan dengan seringnya terdakwa korupsi dibebaskan. Sulit dipercaya fenomena ini, tetapi terlalu berharga untuk meremehkannya. Martabat tuan-tuan akan terus terlilit kritikan, sampai kelak, seperti hakim-hakim agung di Supreme Court Amerika Serikat, selalu waspada terhadap dambaan bahwa tuan-tuan adalah pemberi kata akhir terhadap, bukan hanya huruf demi huruf hukum,tetapi juga keadilan.

Mestilah palu tuan dipoles dan dinapasi dengan keyakinan penuh bahwa pengabdian tuan hanyalah pada hukum, pada bangsa dan negara ini, serta pada Tuhan, bukan pada orang yang mengangkat tuan, atau kolega tuan, apalagi tekanan,dari siapa pun,dalam bentuk apa pun.Waspadalah selalu dari godaan, mungkin jabatan, mungkin juga uang yang menggiurkan, yang silih berganti mengitari tuan-tuan. Tidak mudah memang, tetapi tuan-tuan tak disediakan pilihan lain,kecuali keharusan untuk terus waspada terhadap godaan-godaan di atas.

Sebagai bagian dari warga masyarakat, tuan-tuan diharuskan untuk terus menyelami nilai-nilai yang diyakini masyarakat, yang sesuai sifatnya dinamis. Hanya dengan cara itu, tuan-tuan mengerti nilai keadilan yang sesungguhnya dirindukan masyarakat, bukan yang artifisial, yang dijadikan pijakan dalam memutus perkara. Kenali dan selamilah dengan kata hati yang bening, agar pendulum palu tuan-tuan selalu menemukan elannya. Sekali lagi, kenali dan selamilah dengan hati yang bening, agar tuan-tuan memiliki kemampuan menemukan sarinya; nilai-nilai mulia, bukan artifisial, apalagi manipulatif, ketika tuan memutus perkara.

Bangun dan dasarkanlah argumen dibalik putusan—ratio decidendi—pada nilai-nilai mulia, bukan yang artifisial, apalagi manipulatif. Pastikanlah bahwa Tuhan, hukum, dan keadilan adalah jangkar sekaligus kompas keyakinantuandalammemeriksa, mengadili, dan memutus perkara korupsi. Demi keagungan dan keluhuran umat manusia Indonesia, yang kini terkapar oleh dampak korupsi serta keluhuran harkat dan martabat tuan,berhentilah bermain-main dengan putusan. Tuan-tuan tidak perlu berwatak malaikat, tuan juga tidak boleh berwatak setan.

Pastikanlah bahwa tuan-tuan tahu bahwa mengadili dan memutus sebuah perkara, sekecil apa pun perkara itu adalah pekerjaan orang-orang mulia. Bila demikianlah tuan-tuan semuanya, niscaya tidak ada yang meminta peradilan tipikor dibubarkan. Tuan-tuan, berlatihlah sejak sekarang agar bangsa ini memiliki argumen untuk mempertahankan keberadaan peradilan tipikor di daerahdaerah.

MARGARITO KAMIS, Doktor Hukum Tata Negara Staf Pengajar pada FH Universitas Khairun Ternate
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 11 November 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan