Penyebab Kegagalan Kebijakan Antikorupsi

Banyak yang menilai kebijakan antikorupsi pada masa Orde Baru, bahkan pada tingkat tertentu, juga pada masa pemerintahan reformasi, telah gagal memberantas korupsi sistemik di hampir semua cabang pemerintahan. Kasus Gayus Tambunan, makelar kasus di tubuh institusi penegak hukum, dan problem serius mafia peradilan maupun mafia hukum membuktikan bahwa pemerintah dan kita telah gagal atau setidaknya belum banyak memberantas korupsi secara maksimal.

Namun faktor apa sebenarnya yang menyebabkan kegagalan kebijakan antikorupsi? Ada banyak faktor yang memberikan kontribusi pada kegagalan ini. Salah satu faktor ini adalah kegagalan manajemen dalam proses pemerintahan dan penegakan hukum antikorupsi. Akar penyebab kegagalan manajemen ini adalah runtuhnya atau tidak bekerjanya fungsi manajemen dalam proses implementasi kebijakan pemberantasan korupsi. Karena itu, kegagalannya dapat bersifat taktikal, fungsional, maupun manajerial.

Jeremy Pope (1999), salah seorang pendiri Transparency International, misalnya, menyebut tidak adanya koordinasi dalam pemberantasan korupsi dan pemberantasan korupsi yang parsial sebagai faktor yang menyebabkan kegagalan itu. Faktor lainnya, menurut dia, tujuan pemberantasan korupsi yang tidak spesifik dan dapat dicapai yang memungkinkan diperolehnya hasil dengan cepat atau quick wins untuk memperoleh dukungan kuat publik.

Sementara itu, Huberts (1998) berpendapat, tidak ada atau kurang efektifnya kontrol institusional internal dan supervisi serta lemahnya kepemimpinan sebagai penyebab kegagalan itu. Meski demikian, berdasarkan pengalaman, kegagalan tersebut, menurut Peter Eigen (1996:162), seorang tokoh Transparency International lainnya, juga dapat disebabkan oleh lemahnya pemantauan eksternal oleh lembaga atau organisasi yang independen.

Pakar antikorupsi lainnya, seperti Langseth, Lambsdorff, dan Susan Rose-Ackerman--masih tentang faktor kegagalan pemberantasan korupsi--berdasarkan penelitiannya menyebut gaji yang tidak layak, manajemen keuangan dan mekanisme akuntabilitas yang lemah, pengadaan barang publik yang tidak akuntabel, konflik kepentingan atau tidak adanya pemisahan yang tegas antara kepentingan privat dan publik, birokratisasi, proses pembuatan keputusan yang tidak transparan, serta tidak adanya aturan perilaku yang jelas bagi pegawai negeri sebagai sumber korupsi di pemerintahan.

Strategi antikorupsi, karena itu, menurut mereka, harus dapat mengatasi sumber atau penyebab korupsi ini. Memberantas korupsi, misalnya, dapat dilakukan dengan menaikkan gaji pegawai, mendesain sistem manajemen keuangan dan pengadaan barang yang akuntabel, merancang proses pembuatan keputusan yang transparan, melakukan debirokratisasi, dan menerapkan kode etik pegawai negeri. Karena itu, memberantas korupsi tidak cukup dengan hanya menaikkan gaji pegawai negeri, sebagaimana dibuktikan oleh kasus dugaan korupsi oleh Gayus Tambunan.

Meski demikian, gaji yang tidak layak, terutama bagi penegak hukum, dapat menjadi faktor kunci yang menyebabkan korupsi. Robert Klitgaard (1998), misalnya, menyatakan tidak realistis kita berharap kepada polisi, jaksa, dan hakim yang digaji tidak layak untuk memberantas korupsi. Akibatnya, penegak hukum semacam ini akan memiliki insentif untuk mengkorupsi proses penegakan hukum.

Akhirnya Huberts (1998) menyampaikan hasil penelitiannya yang penting tentang faktor penentu keberhasilan kebijakan antikorupsi berdasarkan survei opini 257 ahli di 49 negara. Faktor penentu ini adalah komitmen dari para elite politik, supervisi dan kontrol internal, keuangan partai politik yang transparan, teladan dari para pimpinan, perilaku antikorupsi pegawai negeri, pemberantasan organisasi kejahatan, tekanan dan partisipasi publik, pendirian lembaga antikorupsi independen, seleksi pegawai yang bebas KKN yang memastikan terpilihnya calon yang memiliki integritas, serta standar hidup yang layak bagi pegawai.

Jadi, menurut Hubert, komitmen dari para pemimpin dan elite politiklah yang paling penting dan menentukan dalam keberhasilan pemberantasan korupsi. Karena itu, yang menjadi pertanyaan kemudian adalah sudahkah para pemimpin dan elite politik kita memiliki komitmen yang kuat untuk memberantas korupsi?
 
Roby Arya Brata, Pernah mengajar materi antikorupsi sebagai dosen tamu di Australian National University
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 6 April 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan