Peniup Peluit Dijepit Etika

Saat ini Komisaris Jenderal Susno Duadji sudah masuk ke intro lagu yang dinyanyikan. Gayus diungkap sebagai "markus", Tambunan dianggap membuat timbunan harta, perwira (polisi) dituduh jadi perantara (perkara). Apalagi isi bait berikutnya? Cerita mungkin berlanjut secara linear sejalan dengan mukadimah versi Susno. Tapi bisa jadi justru bermuara di laut kontroversi, kalau tidak ke teluk ilusi.

Bagaimana tidak? Label sebagai whistle-blower mulai dilekatkan pada diri Susno. Yang jadi masalah, sebagian kita membuat rambu etika yang pada ujungnya justru mempersoalkan bukan substansi bunyi peluit. Misalnya ada yang bilang orang yang mengungkap skandal mesti pihak yang tidak terlibat kasus yang dilaporkan. Ada yang berargumen, apa logikanya percaya bocoran info dari orang yang tidak loyal terhadap institusinya sendiri yang diadukan? Integritas, watak, kepribadian sang peniup peluit jadi parameter.

Ini wujud eufemisme agar kebaikan hanya boleh ditegakkan oleh orang baik. Padahal tidakkah jalan menuju Roma bisa dilewati siapa saja? Pekik lantang bongkar kejahiliahan di republik ini mesti dijadikan oasis di tengah tandusnya supremasi hukum.

Kacamata etika
Etika yang berempati terhadap moralitas bisa menelisik whistle-blower dari tiga perspektif. Pertama, perspektif kegunaan (teleologis). Yang ditimbang adalah perbuatan. Dianggap baik hanya bila akibat tiupan peluit membawa manfaat--atau meminjam kata Jeremy Bentham, the greatest happiness for the greatest number.

Kedua, perspektif kewajiban (deontologi). Lagi-lagi yang ditimbang perbuatan. Judgement hitam-putihnya tiupan peluit didasarkan pada satu hal, yakni memang menguak kelaliman adalah wajib. Tidak usah ditanya mengapa begini, mengapa begitu. Perspektif ini sering ditemukan dalam agama yang fundamennya diletakkan Immanuel Kant.

Ketiga, perspektif keutamaan (karakter). Yang satu ini tidak menimbang what he did, melainkan who is he. Apa pun dinilai imoral, selama niat, sikap, atau akhlak orangnya tidak putih-suci. Kasus demi kasus mesti melalui tes kepribadian. Tidak boleh dalam rangka balas dendam pribadi, mau menang sendiri, atau cari popularitas individu. Bahkan dirinya mesti bukan "pemain" yang bakal jadi sasaran tembak juga. Ini paling ideal, sebagaimana banyak opini saat ini yang ditebarkan.

Apa pun perspektifnya, etika berjasa merajut whistle-blower ke dalam bisnis dengan sebutan good corporate governance (GCG). Survei tahun 2007 oleh PricewaterhouseCoopers atas 5.428 responden di 40 negara mengungkap 43 persen korporasi menghadapi kejahatan ekonomi, yang menghancurkan pemangku kepentingan, mengancam usaha, membahayakan pekerja, dan meremehkan misi GCG. Kehadiran pedoman whistle-blower di korporasi terbukti menekan angka kejahatan. Pedoman ini telah dipraktekkan organisasi besar dengan sebutan atraktif, seperti SpeakOut di Ernst & Young dan OpenTalk di British Petroleum.

Siapawhistle-blower?
Tidak ada yang salah dengan etika. Yang terjadi, kita tidak memposisikan whistle-blower pada konteks penegakan hukum. Kita pun terkesan tergesa membuat kriteria. Padahal, secara epistemologis, whistle-blower adalah figur polisi yang meniup peluit saat tahu ada pelanggaran. Bunyi akibat tiupan jadi peringatan bahaya buat penegak hukum atau masyarakat umum. Analog dengan ini, siapa pun boleh meniup peluit, apakah wasit, penonton, bahkan pemain sendiri; asalkan pesan dari bunyi peluit adalah early warning buat banyak orang.

Kamus Wikipedia mengartikan, "A whistle-blower is a person who raises a concern about wrongdoing occurring in an organization or body of people. Usually this person would be from that same organization. The revealed misconduct may be classified in many ways; for example, a violation of a law, rule, regulation and/or a direct threat to public interest, such as fraud, health/safety violations, and corruption. Whistle-blowers may make their allegations internally (for example, to other people within the accused organization) or externally (to regulators, law enforcement agencies, to the media or to groups concerned with the issues)". Artinya tidak dipersoalkan baik-buruk akhlak peniup, bagus-jelek akibat tiupan, atau wajib-tidak meniup. Kriteria ini sejalan dengan misi hukum berkaitan dengan peniup peluit.

Lihatlah 2003 UN (United Nations) Convention Against Corruption, yang mengharuskan negara anggota memproteksi siapa saja yang melaporkan dengan iktikad baik dan masuk akal fakta pelanggaran. Lihat juga 2005 ICC (International Chamber of Commerce) Rule of Conduct on Combating Extortion and Bribery, yang merekomendasi perusahaan untuk memiliki kode antikorupsi dengan saluran rahasia untuk membuka aib tanpa rasa takut dari tindakan balasan terlapor.

Indonesia punya payung hukum peniup peluit, yakni Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Siapa pun boleh jadi whistle-blower kalau mau bersaksi atas yang didengar, dilihat, atau dialaminya. Memang salah satu syarat perlindungan saksi adalah ditimbangnya rekam jejak kejahatan (pasal 28). Memang kekebalan hukum saksi bisa ditembus bila testimoninya tidak dengan iktikad baik, yakni keterangan palsu, sumpah palsu, atau permufakatan jahat (pasal 10). Namun semuanya bukan soal hati, iktikad, dan sifat, melainkan lebih ke wujud faktual perbuatannya selama ini. Tiadanya bukti hukum pelanggaran, maka peniup peluit memperoleh hak proteksinya. Di sinilah sejatinya fungsi seorang whistle-blower.

Fokus sasaran
Ketika gerhana kezaliman terlalu lama menutup cahaya keadilan, prioritas kita adalah menemukan cahaya hukum walau sedikit. Begitu juga fungsi peniup peluit. Berapa banyak orang Indonesia yang berani membuka aib sejawat, atasan, atau organisasinya? Ini pilihan berat, menafikan esprit de corps atau mengedepankan yourself safety first. Etika kadang jadi penghalang karena maling teriak maling. Etika dengan perspektif keutamaan, keberatan atas kondisi ini. Namun etika dengan perspektif kegunaan dan perspektif kewajiban sama sekali tidak mempersoalkan. Hukum justru wajib menggunakan "teriakan" sebagai pintu masuk membasmi kedurjanaan agar bunyi peluit tidak sekadar menjadi ilusi.

Dalam kasus Susno, penegak hukum harus berani mendahulukan substansi kasus, seperti korupsi, suap, serta pemerasan di semua lini birokrasi dan profesi. Perkara periferi, seperti pelanggaran etika atau pencemaran nama baik, jangan malah dijadikan tembok untuk membongkar kasus yang lebih besar, yang indikasinya (walau mungkin "kecil") sudah dilansir peniup peluit. Ingat kata Cicero, "Omnium enim rerum principia parva sunt (awal dari semuanya kecil)".
 
Firoz Gaffar, Dosen Pascasarjana Universitas Indonesia, pemerhati hukum dan etika
Tulisan ini disalin dari Koran tempo, 19 April 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan