Pengusaha Asing Menilai Indonesia Terkorup di Asia

Indonesia masih dianggap sebagai negara terkorup di Asia berdasarkan survei Political & Economic Risk Consultancy Ltd (PERC). Dari hasil survei lembaga ini yang diumumkan kemarin dan dikutip kantor berita AFP, Indonesia oleh responden dinilai lebih buruk daripada Filipina dan Vietnam. Sebagai bandingannya, PERC menempatkan Singapura, Jepang, dan Hong Kong sebagai negara paling bersih untuk berbisnis.

PERC yang melakukan survei terhadap 900 pengusaha asing di hampir seluruh negara Asia pada Januari dan Februari, menggunakan skor antara nol bagi negara tebersih dan 10 untuk negara terkorup. Berdasarkan parameter itu, Indonesia mendapat skor 9,10 poin; Filipina 8,80; dan Vietnam 8,65 poin. Sementara itu, Singapura mendapat skor 0,65; Jepang 3,46; dan Hong Kong 3,50 poin.

Kalangan pengusaha Asia, yang menjadi responden survei, tak menutupi kekhawatiran mereka atas kemungkinan miliaran dolar bantuan bagi korban tsunami salah sasaran. Karena itu, Program bantuan pascatsunami sesungguhnya merupakan peluang nyata bagi Indonesia untuk memperbaiki standar transparansi dan layanan pemerintah, tulis laporan PERC.

Lembaga itu juga menulis, terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden pada September 2004 bisa dipahami sebagai jenuhnya masyarakat Indonesia terhadap maraknya praktek korupsi. Karena itu, PERC berharap Presiden Yudhoyono dapat menjamin penggunaan dana bantuan asing bagi korban tsunami secara transparan dan tepat sasaran. Jika ia berhasil memerangi korupsi, tulis PERC, masa depan ekonomi Indonesia dipastikan akan terus membaik.

Terhadap laporan survei PERC itu, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Erry Riyana Hardjapamekas mengatakan, hasilnya memang menyakitkan. Laporan itu, kata dia, membuktikan upaya pemberantasan korupsi tidak bisa ditunda lagi.

Masyarakat, menurut Erry, harus bisa menerima hasil survei itu dan bersama-sama memberantas korupsi. Tak usah mempersoalkan validitas laporan itu. Yang harus dilakukan adalah kerja, kata dia tadi malam.

Erry mengakui, upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK memang terasa lamban karena volumenya begitu besar dan tingginya harapan masyarakat. Karena itu, ia meminta para penyelenggara negara, aparat penegak hukum, dan masyarakat bisa membangun sense of urgency dan sense of crime terhadap perbuatan korupsi.

Secara terpisah, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai pemerintah belum memiliki tindakan politik untuk pemberantasan korupsi, meski sudah memiliki political will. Ini indikator pekerjaan rumah belum dikerjakan pemerintah Presiden Yudhoyono, kata Deputi Koordinator ICW Luki Djani.

Luki mengatakan, memang ada percepatan, Presiden sudah menandatangani beberapa surat izin pemeriksaan pejabat. Namun, kata dia, ada percepatan yang lebih penting, yaitu reformasi birokrasi. Tanpa itu, kata dia, upaya pemberantasan korupsi belum menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya.

Mengenai kinerja KPK, menurut Luki, lembaga ini sudah memberikan harapan pemberantasan korupsi, meski baru menyelesaikan sekitar satu persen atau 25 kasus dari beban kasus 2.000 buah. Sudah terlihat adanya keseriusan, kata dia.

Namun, menurut dia, KPK belum memiliki fungsi supervisi dan pencegahan. KPK tak bisa memberi sanksi terhadap pejabat publik yang tak melaporkan kekayaannya, ujarnya. sudrajat/edy can/badriah

Sumber: Koran Tempo, 9 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan