Pengawasan; Ketika Hakim Terteror

"Saya merasa diteror. Saya sering dikirimi kliping berita, baik yang dimuat di media lokal maupun nasional. Di situ diungkapkan pendapat Komisi Yudisial bahwa kami sudah melakukan unprofesional conduct. Majelis merasa terteror. Tidak enjoy kerja.”

Ungkapan itu adalah curahan hati hakim agung Imam Soebechi yang belakangan ini ”bermasalah” dengan Komisi Yudisial (KY). Bersama dua hakim agung lainnya, Valerine Kriekoff dan Marina Sidabutar, Imam melayangkan somasi kepada anggota KY, Zaenal Arifin. Ketiganya mendesak Zaenal mencabut pernyataannya di media massa, terutama dalam kaitannya dengan perkara peninjauan kembali (PK) kasus Lapangan Gasibu, Bandung, Jawa Barat.

Kasus itu bermula dari pengaduan Gubernur Jabar Ahmad Heryawan yang kehilangan aset senilai Rp 6 triliun (Lapangan Gasibu) akibat putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Analisis sementara KY menunjukkan, majelis PK tak profesional karena memutus berdasarkan novum atau bukti baru palsu atau cacat. Ada pernyataan dari Ketua Pengadilan Negeri (PN) Bandung Khresna Menon mengenai hal itu. KY menyurati Mahkamah Agung terkait dengan hal itu dan meminta klarifikasi. Namun, hingga pekan lalu, klarifikasi itu belum diberikan.

Majelis PK, melalui Imam Soebechi, justru mengungkapkan rasa terganggunya atas dugaan KY. ”Palsu tidaknya novum adalah kewenangan peradilan pidana. Belum ada putusan pengadilan mengenai hal itu. Selain itu, hal ini juga masalah teknis yudisial. Bukan kewenangan KY,” ujarnya.

Sebenarnya tak cuma tiga hakim agung yang meradang dengan hasil pengawasan eksternal KY. MA secara kelembagaan juga terusik dengan langkah KY melaksanakan fungsinya. Beberapa hasil pengawasan KY yang diusulkan untuk ditindaklanjuti dengan pembentukan Majelis Kehormatan Hakim (MKH) tak dilaksanakan MA. MA mengambil alih hasil pengawasan itu karena berkenaan dengan teknis yudisial.

MA pun menggelar rapat pimpinan dan memutuskan, setiap hakim agung yang dipanggil KY harus menanyakan dulu dalam kaitan apakah pemanggilan dilakukan. ”Supaya diketahui apakah laporan itu terkait teknis yudisial atau nonteknis. Kalau teknis yudisial, itu kewenangan MA. Kalau pelanggaran perilaku atau kode etik, itu memang kewenangan pengawas eksternal. Mereka punya kompetensi,” ujar Juru Bicara MA Hatta Ali.

Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan pelanggaran perilaku? Hatta Ali, beberapa waktu lalu, menjelaskan, ”Ya, jika dalam memutus perkara hakim diduga menerima suap. Itu jelas perilaku.”

Hingga kini, sudah tujuh hakim agung dipanggil KY. Mereka, antara lain, pimpinan MA Paulus Effendie Lotulung dan Djoko Sarwoko.

Beberapa saat lalu, Hatta Ali mengungkapkan, MA memiliki kewajiban untuk melindungi hakimnya dari campur tangan dan intervensi lembaga lain. ”Kalau semua bisa menjadi hakim, kacau-balau sistem hukum kita ini. Ini berbahaya,” ujarnya.

Komisioner KY, Zaenal Arifin, saat dikonfirmasi mengenai somasi hakim agung, mengungkapkan, seharusnya hasil analisis sementara KY ditanggapi positif oleh MA. Analisis itu baru sementara. ”Kalau tidak benar bisa dirilis kembali. Jadi, tidak masalah kalau dipublikasikan ke masyarakat. Supaya masyarakat tahu KY itu kerja dan tak tidur. Ini juga dalam rangka menyelamatkan aset negara Rp 6 triliun,” ujar Zaenal.

Marwan Mas, ahli hukum pidana dari Universitas 45 Makassar, mengungkapkan, sebetulnya MA tidak perlu terlalu resah dengan penelaahan putusan yang dilakukan KY. Telaah itu tak membuat putusan menjadi tidak sah. Yang bisa membatalkan hanyalah pengadilan di atasnya.

Penelaahan putusan, menurut Marwan, dapat dilakukan untuk mencari bukti lain terjadinya pelanggaran kode etik hakim, seperti pembelokan fakta persidangan atau semacamnya. ”Itu bukan mencampuri teknis yudisial. KY cuma mencari alat bukti lain terjadinya pelanggaran perilaku,” ujarnya.

Persoalan lama
Perdebatan tentang bagaimana seharusnya KY melaksanakan tugas pengawasan sesuai ketentuan Pasal 24B UUD 1945 terjadi sejak lama. MA memang merasa ”terintervensi” oleh cara pengawasan KY yang dinilai memasuki wilayah hakim (memeriksa putusan, menyentuh ranah teknis yudisial).

Itu pula yang membuat 31 hakim agung mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang KY kepada MK pada 2006 dan berakhir dengan pemangkasan 12 pasal terkait pengawasan. MK menilai konsep pengawasan dalam UU itu menimbulkan ketidakpastian hukum. UU KY tak mengatur ruang lingkup perilaku hakim yang menjadi obyek pengawasan sehingga tidak jelas. Hal ini mengakibatkan adanya tafsir (yang menjadi sikap resmi KY) penilaian perilaku hakim dilakukan melalui penilaian terhadap putusan.

”Pendirian bahwa putusan hakim adalah mahkota kehormatan hakim tidak dapat dijadikan sebagai justifikasi tindakan KY untuk memeriksa pelaksanaan tugas justisial hakim, termasuk putusan-putusannya dengan alasan mengawasi perilaku hakim,” demikian dalam putusan MK pada 23 Agustus 2006 itu. (susana rita k)
Sumber: Kompas, 4 Juni 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan