Pengambilalihan Bisnis TNI; Menjadikan TNI Tak Lagi Berbisnis

Awalnya banyak keraguan dan pertanyaan muncul menyikapi keseriusan pemerintah mengambil alih segala bentuk aktivitas bisnis di lingkungan Tentara Nasional Indonesia, seperti menjadi amanat Pasal 76 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

Pertanyaan dan keraguan muncul, terutama lantaran proses pengambilalihan itu dinilai banyak kalangan berjalan lambat dan cenderung birokratis ketimbang esensial.

Salah satu indikatornya diyakini tampak dari pembentukan berbagai macam tim oleh pemerintah, mulai dari Tim Supervisi Transformasi Bisnis (TSTB) TNI, Tim Nasional Pengambilalihan Bisnis TNI, hingga terakhir Tim Pengendali Aktivitas Bisnis TNI yang secara garis besar punya tugas dan peran sama.

Tim Pengendali dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 43 Tahun 2009 yang diturunkan kemudian dalam bentuk Peraturan Menteri Pertahanan (Permenhan) Nomor 22 Tahun 2009.

Kesan kurang serius juga muncul ketika penerbitan Perpres dinilai terlalu lamban, sementara tenggat pengambilalihan bisnis TNI sudah semakin dekat. Selain itu, pemerintahan pun semakin mendekati ”menit-menit terakhir” periode kerjanya dan menjelang pelantikan pemerintahan baru pascapemilihan umum, legislatif dan eksekutif, tahun 2009. Baru pada tanggal 11 Oktober 2009 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani perpres untuk kemudian diumumkan secara resmi oleh Departemen Pertahanan empat hari kemudian.

Menariknya, saat mengumumkan, pemerintah mengklaim terbitnya perpres sama artinya dengan telah tuntasnya pelaksanaan amanat Pasal 76 UU TNI tadi. Padahal, praktis belum ada satu langkah pengambilalihan bisnis TNI pun yang dilakukan. Menanggapi kondisi seperti itu, peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jaleswari Pramodhawardani, mengkritik, seharusnya pemerintah sejak dini menindaklanjuti isi Pasal 76 UU TNI, setidaknya setahun setelah UU TNI disahkan dan diberlakukan. Dengan begitu, ada banyak waktu untuk mengambil alih seluruh aktivitas bisnis TNI.

Rp 805 miliar
Menurut data inventarisasi Tim Nasional Pengambilalihan Aktivitas Bisnis TNI, hingga 31 Desember 2007 terdapat 23 unit yayasan dan 1.321 unit koperasi di lingkungan Markas Besar TNI dan ketiga matra angkatannya. Total aset bersih seluruh koperasi yang ada mencapai sekitar Rp 805 miliar, sementara untuk yayasan mencapai sekitar Rp 1,43 triliun.

Tidak hanya itu, terdata pula sebanyak 1.618 bidang tanah dan 6.669 unit gedung dan bangunan barang milik negara, yang dimanfaatkan oleh berbagai aktivitas bisnis TNI selama ini, yang berada di luar ketentuan tugas pokok dan fungsi TNI. Bentuk pemanfaatannya mulai dari sewa-menyewa, pinjam-pakai, kerja sama pemanfaatan, dan bangunan serah-guna atau bangunan guna-serah, yang tentunya tidak mengubah status kepemilikan.

Seperti dipahami, seluruh yayasan dan koperasi yang ada itu memiliki berbagai aktivitas usaha, yang dikelola langsung dalam bentuk penyertaan modal di banyak badan usaha berbentuk perseroan terbatas (PT), persekutuan komanditer (CV), atau persekutuan firma (Fa). Badan-badan usaha itu bergerak di berbagai sektor usaha, seperti jasa transportasi dan angkutan umum, kargo, konstruksi, perbankan, asuransi, hotel dan apartemen, olahraga, pertambangan, industri dan manufaktur, pendidikan, perkebunan, perikanan, kepemilikan hak pengusahaan hutan, dan banyak lagi.

Walau tidak gampang, optimisme dari beberapa pihak juga muncul melihat ketentuan dalam permenhan, yang diyakini bakal efektif. Hal itu mengingat ketentuan pasal dalam permenhan dinilai lumayan rinci, seperti terkait aturan pengambilalihan saham atau bentuk penyertaan modal milik Mabes TNI dan jajarannya atau tiap-tiap angkatan dan jajarannya, yang berbentuk PT, CV, atau Fa, oleh pemerintah (Pasal 4).

Sementara terkait koperasi, permenhan juga mengatur langkah restrukturisasi organisasi dan kepengurusan koperasi sehingga bisa sesuai dengan aturan induknya, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Dalam konteks koperasi di lingkungan TNI, hal itu berarti tidak akan ada lagi pengurus atau ketua koperasi yang dijabat prajurit TNI, dengan struktur kepengurusan yang disesuaikan dengan struktur organisasi TNI.

Seluruh kebijakan koperasi nantinya akan dikembalikan untuk diputuskan sesuai mekanisme rapat anggota koperasi yang bersangkutan, bahkan tentang apakah koperasi yang bersangkutan diperbolehkan memiliki saham di suatu perusahaan. Koperasi hanya akan difokuskan untuk melayani kebutuhan anggota dan disesuaikan tujuan pendiriannya (Pasal 7).

Begitu juga dengan keberadaan yayasan, yang dalam praktiknya nanti akan dikembalikan peran dan fungsinya sesuai dengan aturan terkait, yaitu hanya bergerak di bidang sosial, keagamaan, atau kemanusiaan. Seperti juga koperasi, pengurus dan pembina yayasan tidak boleh dijabat prajurit TNI. Kalaupun yayasan ingin berbisnis, hal itu harus dilakukan dengan mengikuti ketentuan ketat, seperti penyertaan modal tidak boleh lebih dari 25 persen dari seluruh kekayaan yayasan dan bidang usahanya pun tidak boleh menyimpang dari maksud dan tujuan didirikannya yayasan yang bersangkutan. Kekayaan yayasan pun dilarang dialihkan atau dibagikan ke pembina, pengurus, dan pengawas, baik secara langsung maupun tidak.

Sebagai sebuah aturan, boleh jadi Permenhan tentang Pengambilalihan Aktivitas Bisnis TNI sudah lengkap dan signifikan. Namun, tetap, implementasinya yang terpenting. [Wisnu Dewabrata]

Sumber: Kompas, 28 Desember 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan