Penegak Hukum Lebay

Dalam kamus online (www.kamusgaul.com), istilah “lebay” diartikan sebagai ekspresi akan sesuatu yang berlebihan, namun dalam konotasi yang negatif. Kata ini sepertinya tepat digunakan untuk membicarakan kasus rekaman pembicaraan Ary Muladi-Ade Rahardja, yang sempat disampaikan secara berapi-api oleh Jaksa Agung RI Hendarman Supandji dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR RI.

Setali tiga uang dengan Hendarman, Kapolri Bambang Hendarso Danuri pun beberapa kali mengutip keberadaan rekaman Ary Muladi-Ade Rahardja sebagai bukti kuat untuk menjerat dua pemimpin KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, dalam kasus dugaan pemerasan atas Anggodo Widjojo, adik Anggoro yang telah menjadi DPO KPK dalam kasus pengadaan SKRT Departemen Kehutanan.

Namun, tatkala kebenaran rekaman Ary Muladi-Ade Rahardja hendak diuji dalam sidang Anggodo di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Mabes Polri menjadi tak segarang ketika berdiskusi dengan Komisi III DPR. Beberapa kali Kapolri teguh pada pendiriannya bahwa rekaman itu ada, meskipun belakangan kita baru mengetahui bahwa yang bisa diserahkan Mabes Polri hanya CDR, bukan rekaman pembicaraan.

Yang lebih tak masuk akal, Jaksa Agung RI menyampaikan adanya bukti rekaman pembicaraan Ary Muladi-Ade Rahardja kepada publik hanya berdasarkan “katanya”. Pantas jika rekaman itu tak jua muncul meskipun sudah dua kali jaksa KPK dan majelis hakim Pengadilan Tipikor meminta Mabes Polri untuk menyerahkan “benda penting” tersebut supaya dapat diputar dalam persidangan Anggodo.

Hitam pekat
Perubahan alat bukti dari rekaman pembicaraan menjadi CDR bukanlah masalah yang sepele. Rekaman pembicaraan dan CDR adalah dua alat bukti yang berbeda. Jika rekaman pembicaraan, validitas orang yang sedang bercakap-cakap bisa diuji kebenarannya melalui serangkaian tes dengan alat atau teknologi canggih, sementara CDR hanyalah print-out pembicaraan dua pihak yang sangat mungkin tidak relevan materi pembicaraannya dengan kasus yang sedang disidangkan.

Demikian pula, bisa jadi nomor HP dan keterangan percakapan yang muncul dalam print-out bukanlah nomor dari dua orang yang selalu disinggung, yakni Ary Muladi dan Ade Rahardja. Sangat mungkin, materi pembicaraan dalam CDR juga hasil rekayasa lanjutan mengingat mudah mendapatkan, mendaftarkan, dan menggunakan nomor HP baru dengan identitas palsu.

Dari sisi pihak yang sudah dijadikan tersangka, yakni Bibit dan Chandra, keberadaan alat bukti fiktif yang digunakan untuk menjerat mereka semakin memperkuat adanya rekayasa atau kriminalisasi oleh Mabes Polri. Ditinjau dari nilai kerugian yang telah diderita secara pribadi maupun kelembagaan KPK, tentu sudah tidak bisa dihitung berapa jumlahnya. Publik secara luas juga terkena dampak langsung karena merosotnya kinerja KPK dalam upaya memberantas korupsi pada periode 2009-2010 diakibatkan oleh pincangnya pengambil keputusan tertinggi KPK, karena penetapan status tersangka atas diri Bibit dan Chandra.

Rekaman Ary Muladi-Ade Rahardja, yang wujudnya tak pernah ada (fiktif), yang akan tetapi dijadikan dasar untuk menjerat pejabat negara yang sedang bertugas memberantas korupsi, adalah sejarah paling kelam dalam penegakan hukum di Indonesia di era reformasi. Kredibilitas penegak hukum telah jatuh pada titik yang paling rendah, karena rekayasa atau kriminalisasi justru dilakukan oleh pucuk pimpinan lembaga ini. Kapolri dan Jaksa Agung RI tentunya dua pejabat tinggi yang paling bertanggung jawab atas kehancuran integritas institusi mereka. Pernyataan mereka di depan publik maupun di depan anggota DPR adalah sebentuk kebohongan terhadap publik sekaligus bentuk konspirasi jahat untuk menghancurkan kredibilitas KPK.

Pelanggaran berat
Tiadanya rekaman pembicaraan Ary Muladi-Ade Rahardja yang kini kian terang benderang telah membuka tabir proses penegakan hukum di Mabes Polri yang sarat rekayasa. Tampaknya Presiden SBY tidak bisa tinggal diam melihat situasi semacam ini. Pasalnya, dua pejabat tinggi yang diangkat langsung olehnya untuk membawahkan langsung agenda penegakan hukum di Indonesia telah melakukan dua hal yang bisa dikategorikan sebagai pelanggaran sangat berat.

Pertama, praktek sim salabim dalam penegakan hukum adalah abuse of power yang tidak bisa diberi ruang toleransi sama sekali. Bukan hanya melanggar sumpah jabatan yang termaktub dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI dan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, tapi indikasi bahwa pemberian keterangan palsu dalam perkara pidana yang berujung pada kerugian bagi tersangka merupakan bentuk pidana yang dengan jelas diatur dalam KUHP, khususnya pasal 242.

Pertanyaan yang kemudian bisa diajukan, andai dalam kasus besar yang terkait dengan pejabat negara seperti dalam kasus dua pemimpin KPK, para penyidik Mabes Polri sudah berani menggunakan informasi dan alat bukti yang keliru, bagaimana praktek penegakan hukum dalam kasus-kasus pidana yang melibatkan orang biasa? Tentu potensi kesewenang-wenangan kian terbuka, karena yang dihadapi adalah sekelompok pihak yang tak berdaya (powerless). Tak mengherankan jika data yang dilansir Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) pada 2010 ini menunjukkan 72 persen dari seribu laporan pengaduan masyarakat yang masuk berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang bagian reserse Polri.

Kedua, keengganan pihak Kepolisian dalam memberi keterangan mengenai ada atau tidaknya rekaman pembicaraan Ary Muladi-Ade Rahardja kepada majelis hakim Pengadilan Tipikor, sementara di sisi lain justru muncul dengan data berupa CDR, dapat dinilai sebagai perbuatan yang merintangi, mencegah atau menggagalkan, baik secara langsung maupun tidak langsung proses pemeriksaan terhadap terdakwa Anggodo di persidangan.

Dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang TPK, dijelaskan dalam pasal 21 bahwa upaya menghalangi, merintangi, mencegah atau menggagalkan proses penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan di persidangan adalah tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Sebagaimana diketahui, Anggodo adalah terdakwa kasus percobaan penyuapan terhadap pemimpin KPK yang sampai saat ini masih diproses secara hukum di Pengadilan Tipikor.

Dari berbagai argumentasi di atas, tampaknya tidak ada cara untuk menyelesaikan persoalan ini selain bahwa Presiden SBY mengambil langkah tegas dengan melepaskan jabatan yang kini masih disematkan kepada Jaksa Agung dan Kapolri. Sebenarnya, mencopot jabatan pihak yang secara nyata melakukan pelanggaran kode etik dan lebih-lebih terindikasi melakukan pidana adalah penyelesaian yang paling ringan. Namun, jika Presiden SBY tidak mengambil langkah apa pun atas skandal besar ini, tetapi justru lebih senang untuk menyampaikan keluh-kesahnya kepada publik, rakyat Indonesia pantas menyesal karena presiden kita pun ternyata lebay.
Adna Topan Husodo Wakil Koordinator ICW
Tulisan ini disalin dari Tempointeraktif dan Koran Tempo, Selasa, 24 Agustus 2010 | 08:07 WIB

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan