Pendidikan, Pertumbuhan Ekonomi, dan Pemerataan

Sediakan pendidikan sebisa mungkin dan bisa diraih dengan mudah oleh semua warga, kata peraih Nobel Ekonomi, Profesor Joseph Stiglitz, di Jakarta, seperti dikutip harian ini (15/12). Pernyataan ini dilontarkan Stiglitz ketika menanggapi pertanyaan soal kebijakan ekonomi seperti apa yang diperlukan Indonesia. Ia juga mengomentari bahwa soal pendidikan ini adalah salah satu blunder kebijakan neoliberal yang dianut Indonesia.

PERANAN pendidikan-bahasa teknisnya modal manusia (human capital)-dalam pertumbuhan ekonomi memang belum terlalu lama masuk dalam literatur teori pertumbuhan ekonomi. Adalah Lucas (1990) serta Mankiw, Romer, dan Weil (1992) yang merevisi teori pertumbuhan neoklasik dari Solow (1956) yang legendaris itu.

Dalam studi-studinya, mereka menunjukkan bahwa teori Solow yang standar hanya mampu menjelaskan bagaimana perekonomian sebuah negara bisa tumbuh, tetapi tidak cukup mampu menjelaskan kesenjangan tingkat pendapatan per kapita antarnegara di dunia. Baru ketika variabel modal manusia diikutsertakan dalam perhitungan, sebagian dari kesenjangan itu bisa dijelaskan.

Namun, sejumlah misteri masih tersisa. Tingkat pendidikan di negara-negara berkembang sebenarnya mengalami peningkatan drastis pada tahun 1960-1990. Easterly (2001) menunjukkan bahwa median angka partisipasi sekolah dasar meningkat dari 88 persen menjadi 90 persen, sementara untuk sekolah menengah dari 13 persen menjadi 45 persen. Selanjutnya, jika di tahun 1960 hanya 28 persen negara di dunia yang angka partisipasi sekolah dasarnya mencapai 100 persen, di tahun 1990 menjadi lebih dari separuhnya.

Nyatanya, kenaikan drastis dari tingkat pendidikan di negara-negara berkembang tidak menjelaskan kinerja pertumbuhan ekonomi. Ambil contoh Afrika. Antara tahun 1960 hingga tahun 1985 pertumbuhan tingkat sekolah di benua itu tercatat lebih dari 4 persen per tahun. Nyatanya, ekonomi negara-negara di Afrika hanya tumbuh 0,5 persen per tahun. Itu pun karena ada keajaiban ekonomi di Afrika, yaitu Botswana dan Lesotho.

Kebanyakan negara Afrika lain justru mencatat pertumbuhan negatif dalam periode tersebut. Kasus ekstrem dialami Senegal yang mengalami pertumbuhan angka sekolah hampir 8 persen per tahun, tetapi memiliki pertumbuhan ekonomi yang negatif.

Dalam periode yang sama negara-negara Asia Timur mengalami laju pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan angka partisipasi sekolah. Namun, perbedaan keduanya tidak banyak, hanya 4,2 persen dibandingkan dengan 2,7 persen. Artinya, jika pendidikan adalah rahasia untuk pertumbuhan ekonomi, perbedaan itu seharusnya jauh lebih besar.

Selain tidak bisa menjelaskan kinerja pertumbuhan ekonomi, pendidikan juga tidak berhasil menjelaskan fenomena membesarnya kesenjangan dalam pendapatan per kapita. Pritchett (2003) menunjukkan terjadinya konvergensi tingkat pendidikan antarnegara di dunia. Sepanjang 1960-1995, deviasi standar dalam tingkat pendidikan turun dari 0,94 menjadi 0,56. Tapi, di saat yang sama, deviasi standar untuk pendapatan per kapita antarnegara meningkat dari 0,93 menjadi 1,13.

Asumsi dasar dalam menilai kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kesenjangan adalah pendidikan meningkatkan produktivitas pekerja. Jika produktivitas pekerja meningkat, pertumbuhan ekonomi akan meningkat.

Di sisi lain kenaikan produktivitas berarti kenaikan penghasilan. Selalu diasumsikan bahwa manfaat dari kenaikan pendidikan secara agregat akan lebih besar bagi kelompok miskin. Dengan demikian, jika tingkat pendidikan meningkat, penghasilan kelompok miskin juga akan tumbuh lebih cepat dan pada akhirnya ketimpangan akan mengecil.

Masalahnya, asumsi demikian tidak selalu bisa menjadi generalisasi. Manfaat dari pendidikan dalam hal kenaikan produktivitas dan penghasilan pekerja hanya berlaku untuk jenis-jenis pekerjaan tertentu. Akibatnya, kenaikan tingkat pendidikan belum tentu memberikan manfaat terhadap pertumbuhan dan pemerataan. Terutama jika kita berbicara mengenai manfaat pendidikan bagi kelompok termiskin.

Studi dari Foster dan Rosenzweig (1995) mengenai dampak dari pendidikan terhadap petani di India semasa revolusi hijau bisa memberikan sedikit gambaran. Studi sektor pertanian di negara seperti India (juga Indonesia) sangat relevan dalam wacana pembangunan ekonomi karena mayoritas penduduk, termasuk mereka yang masuk dalam kelompok termiskin, ada di sektor ini.

Dalam studi itu petani yang memiliki pendidikan dasar memang jauh lebih produktif daripada yang tidak pernah sekolah. Namun, tak ada perbedaan signifikan antara memiliki pendidikan menengah dan hanya pendidikan dasar.

Selain itu, di daerah yang kondisi alam dan geografisnya jelek, sering kali produktivitas lebih ditentukan oleh pengalaman, bukan pendidikan. Bagi petani di tempat-tempat seperti ini, pergi ke sekolah selain tidak banyak bermanfaat, juga membuat mereka kehilangan sekian tahun pengalaman bekerja di sawah.

Orang bisa mendebat balik, dengan pendidikan seseorang bisa mengalami mobilitas sosial. Mereka tak harus terus menjadi petani dan orang miskin jika bisa mengenyam pendidikan. Itulah masalahnya. Di banyak negara berkembang lain mobilitas sosial tidak selalu dimungkinkan. Di India kasta adalah salah satu hambatan mobilitas sosial, selain banyak hambatan lain. Di negara seperti Indonesia, korupsi yang sudah mengakar hingga ke tingkat penerimaan pegawai bisa jadi alasan lain mengapa mobilitas sosial relatif sulit terjadi.

Intervensi yang spesifik

Tulisan ini tidak bermaksud menyimpulkan bahwa pendidikan dan kebijakan pendidikan tidak bermanfaat bagi kemakmuran sebuah negara. Sama sekali tidak. Pesan yang ingin disampaikan adalah ada banyak hal lain yang menyebabkan kontribusi positif pendidikan tidak terlalu besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan pemerataan. Dengan kata lain, pendidikan bukanlah mantra ajaib. Konsekuensinya, intervensi pemerintah dalam bidang ini juga harus dilakukan secara hati-hati.

Bentuk kehati-hatian adalah tidak terjebak untuk mengukur peranan pemerintah dari besarnya alokasi anggaran pendidikan. Anggaran memang penting, tetapi bukan pada seberapa besar, melainkan untuk apa.

Filmer dan Pritchett (1997) menemukan bahwa di beberapa negara, meski kebanyakan guru dibayar terlalu murah, tambahan anggaran untuk peralatan dan gedung memberikan hasil lebih besar.

Dalam hal ke tingkat pendidikan mana anggaran harus dialokasikan, Booth (2000) menulis bahwa di Indonesia pada 1980-1990-an, subsidi pemerintah yang terlalu besar bagi pendidikan tinggi menyebabkan koefisien Gini yang meningkat. Alasannya, lulusan perguruan tinggi adalah yang paling diuntungkan dari boom selama ekonomi periode itu.

Selain soal anggaran, tingkat pendidikan di suatu negara mungkin menghadapi masalah lain di luar pendanaan. Di sini dibutuhkan intervensi pemerintah yang spesifik untuk mengatasi masalah-masalah itu. Contohnya, di Kenya ditemukan bahwa rendahnya kualitas pendidikan dasar disebabkan oleh kurangnya nutrisi murid sekolah dasar akibat penyakit cacingan. Pembagian obat cacing bagi murid SD ternyata lebih efektif dalam meningkatkan kualitas pendidikan di sana.

Kesimpulannya, tidak ada kebijakan pemerintah yang bisa diterapkan secara universal di semua negara. Ini adalah inti dari kritik kaum populis terhadap kebijakan neoliberal. Hal yang sebaliknya juga berlaku, tidak ada kebijakan populis yang berlaku secara universal. Dan tidak semua hal bisa diselesaikan dengan anggaran pemerintah yang lebih besar.(Ari A Perdana Mahasiswa Kennedy School of Government, Harvard University, Cambridge, AS)

Tulisan ini diambil dari Kompas, 18 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan