Pencuri Cantik dan Korupsi

Kasus kejahatan perbankan yang belakangan terungkap seperti membuka borok pedalaman industri perbankan. Perkara pencurian duit nasabah tak ayal menjadikan bisnis yang bermodalkan kepercayaan masyarakat itu kian mengandung kegelapan. Pembobolan dana nasabah Citibank yang diduga dilakukan Malinda Dee, dengan kerugian awal sekitar Rp 17 miliar, disinyalir juga melanda bank yang lain. Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI, setelah bertemu dengan Bank Indonesia dan direksi beberapa bank, mengungkapkan, di Bank Mandiri terjadi pencurian duit nasabah oleh pegawainya sendiri dengan kerugian hampir Rp 18 miliar, di Bank Danamon Rp 1,9 miliar dan US$ 110 ribu, serta di BNI sebesar Rp 4,5 miliar (Tempointeraktif, 5 April).

Kemudian modus yang dipakai pun hampir sama: mencairkan deposito dan menarik tabungan nasabah dengan memalsukan tanda tangan nasabah di slip penarikan. Selain Citibank, Bank Mandiri, Bank Danamon, dan BNI, di bank lain setali tiga uang. Pegawai menggarong dana nasabah. Khususnya pada bank yang memiliki aset di atas Rp 50 triliun, seperti BRI, BII, Paninbank, dan Bank Pundi Artha Sejahtera.

Purba
Sebenarnya modus dalam kasus Citibank dan bank lainnya adalah modus yang purba, kuno, konvensional. Dengan dasar kepercayaan, nasabah menandatangani cek kosong untuk penarikan uang dalam jumlah besar, yang pencairannya dilakukan oleh pegawai yang memiliki otoritas tertentu.

Purba dimaknai dengan tidak digunakannya peralatan teknologi informasi. Teknologi informasi hanya digunakan oleh oknum pegawai untuk mentransfer dana ke rekening lain setelah duit nasabah dikeluarkan dari brankas. Jika dibandingkan dengan pencurian rekening, seperti kerja hacker yang membobol anjungan tunai mandiri (ATM), modus yang diduga dipakai pencuri cantik Malinda Dee tergolong sungguh kuno.

Tentunya modus yang konvensional itu akan mempermudah penyelidikan maupun penyidikan penegak hukum. Artinya, dengan menelusuri modus tersebut, pengungkapan kasus pembobolan dana nasabah Citibank maupun di bank yang lain tak membutuhkan waktu yang lama. Pendek kata, duit nasabah akan dengan cepat ditemukan dan dikembalikan.

Hasil korupsi
Kasus Citibank menjadi krusial ketika ditarik pada isu tindak pidana korupsi. Bayangkan, tatkala uang yang diduga dicuri oleh pegawai bank ternyata adalah uang hasil tindak pidana korupsi. Bukan sebuah rahasia bahwa para koruptor mencuci harta hasil korupsinya dengan berbagai cara. Membeli aset berupa tanah, rumah, dan kendaraan atau mengalihkannya ke bursa efek. Yang biasa didapati adalah menyimpan harta korupsi dengan menyimpannya di bank, baik bank dalam negeri maupun luar negeri.

Dana disimpan untuk mengelabui kejaran penegak hukum. Untuk aset korupsi yang berada di dalam negeri, para koruptor mencoba menghapus jejak hartanya dengan mengalihkan kepemilikan aset dan rekeningnya ke orang terdekat atau orang yang dipercaya akan bungkam seribu bahasa ketika harta korupsi mulai tercium penegak hukum. Namun agaknya usaha si koruptor menemui gang buntu. Sebab, meski mungkin harta korupsinya lolos dari incaran penegak hukum, ternyata malah jatuh ke tangan pegawai bank tempat ia menyimpan duitnya. Niat mengamankan harta hasil dari menjarah uang negara habis digondol pegawai bank. Pada bagian itu, oknum pegawai bank melakukan pencurian yang cantik. Tanpa harus bersusah payah mengumpulkan duit, dengan modus yang purba, uang miliaran rupiah bisa dikumpulkan.

Menguatkan pengawasan
Dalam kasus Citibank, apabila duit yang diduga dicuri oleh Malinda Dee ternyata terindikasi duit hasil korupsi maupun kejahatan lainnya, penegakan hukum akan mendapat buruan yang besar dan menggiurkan. Penegak hukum akan dapat mendayung sekali, terlampauilah dua atau tiga pulau. Isu dalam kasus Citibank lalu ditarik ke seputar gagalnya pengawasan internal yang dilakukan pihak bank. Refleksi harus dilakukan agar ke depan tidak terjadi lagi kasus serupa. Pengawasan, misalnya, dilakukan dengan menerapkan prinsip know your customer. Mencari tahu terlebih dulu terhadap keberadaan duit yang akan ditaruh atau dikembangkan oleh calon nasabah. Apabila duit tersebut diduga kuat hasil korupsi, pihak bank harus dengan legawa menolaknya, biarpun duit itu nilainya di atas digit sembilan. Memang salah satu kerugiannya adalah dana besar tidak akan mampir ke bank. Namun itulah kewajiban bank untuk mendukung pemberantasan korupsi.

Selanjutnya, permasalahan yang terjadi di bank biasanya karena tidak diterapkannya tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Untuk mengatasi permasalahan di lingkup internal industri jasa keuangan, termasuk bank, Zulkarnaen Sitompul (2005) mengemukakan tiga pendekatan untuk memprevensinya. Pertama, penguatan pengawasan internal (internal checks). Kedua, penerapan tata kelola yang baik (good internal governance). Ketiga, disiplin pasar.

Tiga pendekatan ini simetris untuk menguatkan perbankan. Bank harus menguatkan internal checks dan tata kelola internal perusahaan yang baik. Kurangnya pengawasan internal bank memungkinkan pegawai bank menyalahgunakan jabatan yang melekat kepadanya. Pengawasan internal yang kuat adalah pembatas awal untuk menciptakan manajemen pengendalian institusi.

Di sisi yang lain, Bank Indonesia, sebagai bank sentral, harus menjadi pengawas yang adil terhadap bank yang berada di bawah pengawasannya. Bank Indonesia berkewajiban menjaga agar tidak terjadi monopoli dan persaingan perbankan yang tidak sehat antarbank. Dengan dukungan penegak hukum yang jujur dan bersih, serta kuatnya pengawasan internal setiap bank dan sikap adil Bank Indonesia, bank diharapkan tidak menjadi lumbung hasil korupsi. Dan, si pencuri cantik tidak akan lagi leluasa melakukan pencurian yang cantik, yang merugikan nasabah.
 
Hifdzil Alim, PENELITI PUSAT KAJIAN ANTIKORUPSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH MADA
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 19 April 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan