Penarikan Penyidik dapat Melumpuhkan KPK

KPK Harus Tegaskan Status Penyidik sebagai Pegawai Tetap

Rilis Media

Polemik penarikan 20 penyidik Polri di KPK masih belum usai. Polri tetap memaksa melakukan meskipun dikritik keras sejumlah pihak. Hal ini memanas setelah KPK melakukan penyidikan kasus dugaan korupsi driving Simulator yang menjerat sejumlah perwira Polri dan bukan tidak mungkin akan membongkar praktek korupsi di tubuh Polri.

Modus seperti ini ternyata tidak hanya terjadi sekali. Sebelumnya, di tahun 2010, ketika era “cicak vs buaya”, Polri juga pernah akan menarik 4 orang penyidik yang sebagian sedang menangani kasus Anggodo Widjoyo dalam kasus percobaan penyuapan dan rekayasa hukum terhadap pimpinan KPK. Kemudian pada bulan Februari 2012, penyidik kasus Suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Miranda S. Gultom yang mulai mencium indikasi keterlibatan cukong dibalik pemilihan tersebut dimutasi ke Bareskrim Mabes Polri. Dalam beberapa waktu ke depan pun, sejumlah penyidik di KPK juga akan habis masa tugasnya. Tidak berlebihan rasanya jika praktek seperti ini bisa dimanfaatkan pihak tertentu sebagai serangan terhadap independensi KPK.

Mengingat beban kerja KPK yang sangat berat dalam menangani sejumlah kasus besar saat ini, maka penarikan penyidik akan menghambat penanganan kasus korupsi, atau sebaliknya dapat menguntungkan koruptor. Seperti disampaikan pihak KPK, jumlah total penyidik sekarang adalah: 128 dengan rincian 81 berasal dari Polri dan 47 dari Kejaksaan. Satu penyidik dapat menangani sejumlah perkara sekaligus.

Kasus-kasus strategis yang ditangani KPK misalnya: penyelidikan skandal Bank Century, penyidikan kasus Hambalang, Nazaruddin, Badan Anggaran, Suap Bupati Buol dimana Hartati Murdaya sebagai salah satu tersangka, PLTU Tarahan dengan tersangka Anggota DPR-RI, Emir Moeis, kasus pengadaan Al-Quran, suap hakim pengadilan tipikor, suap pajak, kasus Travel Cheque dan kasus driving Simulator di Korlantas Mabes Polri.

Lumpuh
Terlihat, jika hal ini dibiarkan tanpa tindakan yang tegas, maka KPK akan lumpuh. Apalagi jika penarikan personil tersebut memiliki indikasi konflik kepentingan dan melanggar sejumlah aturan hukum. Karena itu, Kapolri harus diingatkan agar tetap mendukung pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK. Jangan sampai terjadi penyalahgunaan kewenangan dan pelanggaran hukum dalam pelaksanaan tugas Kapolri dan jajarannya. Karena hal ini akan memperburuk citra institusi kepolisian secara keseluruhan. Bahkan meruntuhkan moralitas sejumlah polisi yang masih setia mengabdi pada bangsa Indonesia. Bagaimana mungkin para penegak hukum tetapi justru melanggar hukum?

Dari 20 penyidik yang ditarik, diketahui 4 orang diantaranya bersedia kembali setelah bekerja selama 6 tahun di KPK. Akan tetapi, 12 orang diantaranya baru bertugas selama satu tahun. Hal ini dinilai tidak sejalan dengan semangat UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK dan Peraturan Pemerintah No. 63 tahun 2005 tentang Sumber Daya Manusia KPK.

Pasal 5 ayat (3) PP 63/2005 mengatur: masa penugasan pegawai negeri yang dipekerjakan pada Komisi paling lama 4 tahun dan hanya dapat diperpanjang 1 kali. Penyidik polisi adalah “Pegawai negeri yang dipekerjakan” di KPK. Sehingga, Polri atau lembaga manapun tidak bisa seenaknya menarik anggota yang bertugas di KPK. Kapolri harus patuh pada Peraturan Pemerintah yang ditandatangani Presiden SBY sebagai Kepala Pemerintahan. Jika ingin menarik penyidik, maka hal itu sebaiknya dilakukan setelah 4 tahun dan jika diperpanjang, setelah 8 tahun. Memang, norma tersebut mengatur masa tugas “paling lama 4 tahun”, akan tetapi mengingat keterbatasan sumber daya manusia di KPK dibanding kasus yang ditangani dan kebutuhan kontinuitas penanganan perkara, maka tentu tidak akan efektif jika penyidik yang baru bertugas satu tahun sudah ditarik ke institusi asalnya.

Apalagi, Pasal 39 ayat (3) UU KPK, menegaskan bahwa: Penyelidik, penyidik, dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi, diberhentikan sementara dari instansi kepolisian dan kejaksaan selama menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal ini untuk meminimalisir intervensi dan loyalitas ganda dari penyidik.

Penyidik Independen
Krisis penyidik ini adalah bahaya laten yang akan selalu dihadapi KPK sebagai lembaga yang sebagian tenaga intinya di-import dari institusi lain. Kebutuhan adanya Penyidik Independen adalah sebuah keniscayaan yang harus direalisasikan pimpinan KPK jilid III. Cukup sudah sikap setengah hati dalam mempertahankan independensi KPK. Karena independensi KPK secara kelembagaan sekalipun disebut pada Pasal 3 UU KPK tetap tidak akan bermakna utuh jika KPK tidak bisa independen dalam pelaksanaan fungsinya, salahsatunya fungsi Penindakan yang dilakukan oleh para penyidik dan penuntut umum.

UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK tidak melarang KPK melakukan rekruitmen penyidik sendiri, dan tidak terdapat juga satupun aturan yang membatasi penyidik kasus korupsi di KPK harus hanya berasal Polri. Berdasarkan Pasal 45 UU KPK, ditegaskan PENYIDIK adalah Penyidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Rumusan ini sama persis dengan Pasal 43 yang mengatur tentang PENYELIDIKAN. Sementara kita ketahui, saat ini KPK sudah mempunyai PENYELIDIK sendiri. Hal ini tentu bisa berlaku sama untuk PENYIDIK.

Sesuai dengan Pasal 3 huruf a PP No. 63 tahun 2005 tentang SDM KPK, maka penyidik yang diangkat pimpinan KPK tersebut masuk dalam kualifikasi Pegawai Tetap KPK. Seperti diketahui, terdapat tiga klasifikasi pegawai yang dikenal di KPK, yaitu: Pegawai Tetap, Pegawai Negeri yang dipekerjakan, dan Pegawai Tidak Tetap. Siapa saja pegawai tetap? Mengadopsi maksud Pasal 24 ayat (2) UU KPK kita paham bahwa pegawai tetap adalah WNI yang karena keahliannya diangkat sebagai pegawai tetap di KPK.

Jadi, pendapat sejumlah pihak bahwa KPK tidak dapat merekrut pegawai tetap tentu saja tidak benar, karena PP No. 63 tahun 2005 memberikan dasar hukum yang kuat bagi lembaga ini. Menjadi persoalan, apakah pimpinan KPK cukup tegas dan menyadari kekuatan secara hukum, selain untuk melakukan seleksi Penyidik Independen KPK, ataupun mengangkat para Penyidik dari Polri atau dari institusi lain sebagai Pegawai Tetap di KPK?

Ketegasan Pimpinan
Memang sangat dibutuhkan ketegasan pimpinan KPK. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) dan (2) PP 63 tahun 2005 disebutkan bahwa pegawai negeri yang dipekerjakan KPK dapat beralih status menjadi pegawai tetap, dan jika telah diangkat sebagai pegawai tetap, maka ia diberhentikan dengan hormat di institusi asalnya sebagai pegawai negeri. Ketentuan pasal ini seharusnya diterapkan secara tegas oleh pimpinan KPK kepada para penyidik Polri yang memenuhi kualifikasi dan benar-benar berkomitmen dalam memberantas korupsi di Indonesia.

Sudah tidak saatnya lagi KPK menjalankan strategi yang lunak dalam pemberantasan korupsi. Apalagi ketika para koruptor berlindung dibalik kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki. Pimpinan KPK juga wajib memperhatikan kepastian nasib para penyidik dengan cara mengangkat mereka sebagai pegawai tetap. Pendekatan KPK yang masih bersurat-suratan dengan Polri dinilai tidak akan menyelesaikan masalah. Apalagi sejak awal kita menduga, penarikan penyidik ini tidak dapat dilepaskan dari kerja KPK menjerat sejumlah jenderal polisi di kasus Simulator SIM Korlantas Mabes Polri.

Oleh karena itu, kami meminta:

  1. Presiden SBY untuk bertanggungjawab dan menegur Kapolri dan jajarannya karena tidak sejalan dengan upaya pemberantasan korupsi dan mengabaikan aturan dalam PP No 63 tahun 2005
  2. KPK agar mengambil keputusan tegas dan cepat untuk mengangkat Penyidik yang bersedia dan memenuhi kualifikasi sebagai Pegawai Tetap KPK;
  3. Kapolri untuk segera mematuhi hukum yang berlaku dan menghentikan usaha-usaha yang menghambat/melawan upaya pembersihan POLRI dari praktik korupsi

Jakarta. 27 September 2012

Koalisi Masyarakat Sipil

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan