Pemerintah Tunda Pengajuan RUU Pemberantasan Tipikor

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar meminta kembali draf Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang sebelumnya sudah diserahkan ke Sekretariat Negara untuk disempurnakan. RUU itu belum akan segera diserahkan ke parlemen.

Langkah ini dilakukan, Kamis (31/3), setelah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemhuk dan HAM) mengkaji sejumlah substansi dari RUU tersebut. Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch dan sejumlah aktivis antikorupsi menolak draf RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Antikorupsi) dari pemerintah itu karena dinilai justru melemahkan spirit pemberantasan korupsi.

Busyro Muqoddas, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), juga meminta pemerintah tidak mengajukan RUU itu ke DPR sebelum mengkajinya lagi melalui survei publik dan telaah kritis dari berbagai kalangan (Kompas, 29/3).

Menurut Patrialis di Jakarta, Kamis, Kemhuk dan HAM akan selesai menyempurnakan draf RUU Antikorupsi itu pada April ini. Setelah itu, draf dapat dikirim kembali ke Sekretariat Negara (Setneg), dipresentasikan di depan sidang kabinet, lalu dikirim oleh Presiden ke DPR untuk dibahas. Dengan demikian, RUU itu dapat disahkan menjadi UU tahun ini.

RUU Antikorupsi yang bakal mengubah UU Nomor 31 Tahun 1999—yang diubah dengan UU No 20/2001—tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah bagian dari Program Legislasi Nasional 2011. Perubahan UU Antikorupsi itu akan diikuti dengan RUU perubahan atas UU No 30/2002 tentang KPK.

”Jadi, sekarang draf itu ada di Kemhuk dan HAM. Kalau ada yang mau berkomentar tentang draf itu, silakan, karena belum final. Prinsipnya, pemerintah serius memikirkan yang terbaik untuk pemberantasan korupsi,” ungkap Patrialis di Jakarta.

Sebelumnya, KPK bersikap saat ini sebenarnya belum diperlukan perubahan terhadap UU Antikorupsi dan UU KPK. Sebab, menurut Juru Bicara KPK Johan Budi, UU yang berlaku saat ini masih memadai (Kompas, 31/3).

Belum versi pemerintah
Dihubungi terpisah, Staf Khusus Presiden Bidang Hukum dan HAM Denny Indrayana menuturkan, draf RUU Antikorupsi belum dapat disebut sebagai rancangan versi pemerintah. Draf RUU itu belum pernah dibahas interdepartemen yang melibatkan kementerian bidang politik, hukum, dan keamanan.

Denny di Jakarta, Kamis, menjelaskan, sebuah draf RUU baru bisa disebut sebagai RUU apabila sudah diserahkan ke DPR dengan pengantar amanat presiden. Draf RUU itu sebelumnya dibahas secara interdepartemen sebelum disampaikan ke Setneg untuk mendapatkan amanat presiden. Posisi draf RUU Antikorupsi belum pernah dibahas secara lintas kementerian.

”Jadi, RUU itu masih sebagai draf dari Kemhuk dan HAM. Bisa jadi draf itu hasil dari tim penyusun yang sudah diserahkan kepada Menhuk dan HAM. Tetapi, draf itu belum dapat disebut sebagai rancangan UU dari pemerintah,” ungkap Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, itu.

Denny menambahkan, pemerintah akan sangat memerhatikan masukan dari masyarakat terkait pemberantasan korupsi. Pemberantasan korupsi menjadi komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Indeks persepsi korupsi di Indonesia pun, seperti dilaporkan Transparency International, terus membaik.

KPK harus dilibatkan

Walaupun demikian, KPK menyambut baik penarikan draf revisi UU Antikorupsi yang dinilai akan melemahkan pemberantasan korupsi di Indonesia. Menurut Wakil Ketua KPK M Jasin, Kamis di Jakarta, sebenarnya UU Antikorupsi yang berlaku saat ini sudah memadai, tinggal mengadopsi pasal wajib dari Konvensi Antikorupsi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau United Nation Convention against Corruption (UNCAC).

”Bagus kalau ditarik. Draf itu memang melemahkan usaha keras pemberantasan korupsi. Tentu kami tak mendukung draf yang melemahkan KPK atau menghilangkan kewenangan KPK, seperti penuntutan,” kata Jasin.

Dia mengakui, UU Antikorupsi yang berlaku saat ini sudah cukup. Hanya, Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Antikorupsi PBB sehingga wajib mengadopsinya pada UU Antikorupsi-nya.

Menurut Jasin, pasal wajib yang harus diadopsi itu, antara lain, korupsi di sektor swasta yang belum diatur. Selain itu, harus pula dimasukkan pasal untuk menjerat warga asing yang melakukan penyuapan terhadap pejabat Indonesia di luar negeri.

”Kami akan mendukung jika RUU Antikorupsi itu memperkuat pemberantasan korupsi dan mengadopsi pasal wajib (mandatory) dalam Konvensi PBB Menentang Korupsi,” ujar Jasin.

Jasin juga berharap agar dalam pembahasan draf revisi itu pemangku kepentingan (stakeholder) dalam pemberantasan korupsi dilibatkan. ”KPK adalah salah satu stakeholder itu sehingga seharusnya dilibatkan dalam pembahasan,” ungkapnya.

Tak lemahkan KPK
Analis hukum pidana Universitas Indonesia, Ganjar Laksamana, mengingatkan, upaya melemahkan pemberantasan korupsi dan memangkas kewenangan KPK bukan barang baru. DPR pernah melakukan itu pada pembahasan RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Upaya serupa diperkirakan terus berlanjut dalam RUU Antikorupsi, RUU KPK, dan RUU Kejaksaan.

Ia mengaku beberapa kali bertemu pihak kepolisian dan kejaksaan yang menyatakan keberatan dengan banyaknya kewenangan KPK. Sejumlah politisi pun keberatan dengan keberadaan KPK.

Denny meyakinkan, pemerintah juga akan menolak pelemahan terhadap KPK dan upaya pemberantasan korupsi. ”KPK tidak boleh dilemahkan,” katanya. Itu sudah jadi komitmen pemerintahan Presiden Yudhoyono.

Dia juga mendukung pemberian sanksi minimal bagi pelaku korupsi—yang diatur dalam UU—jangan melemahkan pemberantasan korupsi. Sanksi minimal itu harus bisa menjerakan pelaku.

Namun, lanjut Denny, sebenarnya sejumlah materi dalam draf RUU Antikorupsi, yang kini diramaikan publik, mengadopsi Konvensi Antikorupsi PBB, misalnya ditiadakannya ketentuan mengenai kerugian negara akan memudahkan penindakan terhadap pelaku korupsi. Penyidik tak perlu lagi mencari bukti material kerugian negara. Aturan ini juga dapat untuk menjerat pelaku korupsi di kalangan swasta.

Peniadaan hukuman mati juga sesuai dengan kecenderungan internasional yang semakin mengurangi pemberlakuan hukuman mati.

”Memang masih ada persepsi yang disamakan dari pemerintah dan publik terkait pemberantasan korupsi ini,” katanya. (nwo/ana/ray/tra)

Sumber: Kompas, 1 April 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan