Pembuktian Terbalik dan Good Governance

UNTUK pertama kalinya dalam sejarah peradilan pidana, pembuktian terbalik diterapkan. Itulah yang terjadi pada perkara Bahasyim Assifie, mantan pejabat pajak. Pada 2 Februari 2011, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis Bahasyim dengan hukuman 10 tahun penjara. Bahasyim juga dihukum untuk membayar denda sebesar Rp 250 juta (subsider tiga bulan kurungan). Pengadilan memerintahkan agar harta kekayaan Bahasyim senilai Rp 61 miliar dan US$ 681 153 disita untuk negara.

Menurut majelis hakim yang diketuai Didik Setyo Handono, Bahasyim terbukti menerima suap. Bahasyim dinyatakan melanggar Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang merupakan perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999. Bahasyim juga dinyatakan melanggar Pasal 3 ayat 1 huruf a UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Entah bagaimana kelanjutan perkara Bahasyim di pengadilan banding, atau bahkan bila kelak di Mahkamah Agung. Yang pasti, putusan perkara ini akan sangat berarti bagi upaya pemberantasan korupsi, terlebih untuk mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance), sebagaimana tuntutan reformasi pada 1998, yang ditegaskan antara lain melalui UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Putusan perkara Bahasyim akan amat berarti bagi upaya pemberantasan korupsi, lantaran proses penanganan perkara tersebut menggunakan “pembuktian terbalik” (pembalikan beban pembuktian). Metode yang tergolong baru dalam sejarah peradilan pidana di Indonesia ini seharusnya juga dapat diterapkan pada perkara mantan pegawai pajak Gayus H.P. Tambunan. Apalagi Gayus diduga tak hanya melakukan korupsi, terutama delik suap ataupun gratifikasi, tapi juga delik pencucian uang, perpajakan, dan pemalsuan paspor.

Selain terhadap perkara Bahasyim dan Gayus Tambunan, mestinya pembuktian terbalik dapat pula diberlakukan, misalnya, terhadap perkara “rekening gendut” sejumlah perwira polisi, yang terungkap beberapa waktu lalu. Demikian pula terhadap kasus rekening mencurigakan milik 42 pegawai pajak yang pekan lalu diungkap oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Sebanyak 42 rekening itu diketahui mengalami transaksi keuangan Rp 500 juta hingga Rp 7 miliar. Bahkan ada rekening dengan nilai transaksi fantastis, yakni Rp 27 miliar. PPATK juga melaporkan sejumlah rekening pegawai Bea-Cukai, dengan transaksi mencurigakan Rp 500 juta hingga Rp 5 miliar. Salah satu rekening malah ditengarai memiliki total transaksi sampai Rp 41 miliar.

Diharapkan penanganan kasus rekening mencurigakan yang dilaporkan PPATK itu ditindaklanjuti secara sungguh-sungguh oleh aparat penegak hukum. Janganlah “sejarah buruk” penanganan kasus rekening Bahasyim dan Gayus Tambunan, yang juga berasal dari laporan PPATK, terulang. Dulu, kasus rekening Bahasyim baru berbulan-bulan kemudian disidik oleh kepolisian. Bahkan penanganan kasus rekening Gayus Tambunan belakangan beraroma “mafia hukum”. Itu pun diketahui setelah mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji “bernyanyi”.

Sejatinya, kasus Bahasyim, Gayus Tambunan, dan kasus lainnya yang disebutkan di atas baru sebatas mozaik-mozaik kecil yang terungkap ke permukaan. Tak mustahil, masih banyak lagi kasus rekening pegawai negeri, pegawai BUMN/BUMD, serta penyelenggara negara, baik di lingkungan eksekutif, yudikatif, maupun legislatif, yang diduga berasal dari hasil korupsi, atau setidak-tidaknya harta kekayaan mereka diperkirakan sangat tidak sesuai dengan penghasilan atau sumber pendapatan resminya.

Pembuktian terbalik
Yang jelas, berbagai kasus di atas lebih mengarah pada kemungkinan delik suap, yang merupakan bagian dari kelompok tindak pidana korupsi. Selama ini, suap sebagai perbuatan korupsi--yang paling banyak terjadi--ternyata paling sulit diberantas. Perkembangan ini juga kian menunjukkan bahwa korupsi telah menjadi kejahatan luar biasa karena berlangsung secara sistematis dan meluas. Karena itu, pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan cara luar biasa. Salah satu caranya, dengan menerapkan pembuktian terbalik (Akil Mochtar, 2006).

Pembuktian terbalik merupakan sistem pembuktian pola baru yang diterapkan di negara-negara Anglo Saxon. Teori ini telah berhasil dipraktekkan di beberapa negara, di antaranya Hong Kong, Inggris, Malaysia, dan Singapura. Disebut baru, karena sistem pembuktian terbalik mengandung arti bahwa beban pembuktian ada pada terdakwa. Terdakwalah yang harus membuktikan bahwa dia tidak melakukan tindak pidana. Sistem pembuktian terbalik berbeda dengan sistem pembuktian yang selama ini berlaku, berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menurut Pasal 137 KUHAP, jaksa penuntut umumlah yang harus membuktikan apakah terdakwa melakukan tindak pidana. Sedangkan pada Pasal 66 KUHAP ditegaskan bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian

Sistem pembalikan beban pembuktian telah diadposi dalam UU Nomor 20 Tahun 2001. Menurut undang-undang ini, pembuktian terbalik diberlakukan pada tindak pidana baru tentang gratifikasi (pemberian), yang berkaitan dengan suap (Pasal 12B ayat 1) dan terhadap tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 UU Nomor 31 Tahun 1999, serta Pasal 5 sampai Pasal 12 UU Nomor 20 Tahun 2001. Undang-undang ini juga memerinci pengertian gratifikasi secara luas. Jadi, pemberian seperti komisi, persenan, imbalan, hadiah, “upeti”, bahkan pungutan liar, bisa masuk dalam pengertian tersebut. Kalaupun ada bentuk ataupun penafsiran berbeda tentang gratifikasi, penjelasan Pasal 12B ayat 1 sudah mengakomodasinya dengan kata-kata “dan fasilitas lainnya” (Akil Mochtar, 2006).

Berdasarkan sistem pembuktian terbalik, terdakwa berhak membuktikan di persidangan bahwa gratifikasi yang bernilai Rp 10 juta atau lebih yang diterimanya bukanlah suap. Terdakwa juga berhak membuktikan bahwa harta kekayaannya, bahkan termasuk pula harta kekayaan istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkaranya, bukanlah berasal dari korupsi. Perlindungan bagi hak terdakwa ini bisa dikatakan merupakan jaminan keseimbangan karena, menurut pembuktian terbalik, terdakwa telah dianggap melakukan korupsi.

Yang perlu digarisbawahi, pembalikan beban pembuktian diberlakukan pada proses pengadilan, bukan di tahapan penyidikan ataupun penuntutan. Karena itu, penyidik ataupun penuntut umum harus profesional dalam memproses dan memutuskan “bukti permulaan yang cukup” bahwa tersangka atau terdakwa diduga melakukan korupsi, termasuk pula dalam proses penyitaan harta kekayaan tersangka. Karena itu pula, penerapan pembuktian terbalik akan efektif bila aparat penegak hukum, baik kepolisian, kejaksaan, KPK, maupun hakim, benar-benar bersih, berwibawa, dan profesional.

Itu semua dari aspek pemberantasan korupsi melalui penindakan hukum. Sesungguhnya pembuktian terbalik lebih mengandung aspek pencegahan agar segenap aparatur negara tidak melakukan korupsi, dan melaksanakan pemerintahan yang baik (good governance), yang sejak awal reformasi hingga sekarang ternyata masih jauh dari harapan. Dengan demikian, pegawai negeri, pegawai BUMN/BUMD, serta penyelenggara negara, manakala berdasarkan bukti permulaan yang cukup ternyata memiliki kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber pendapatannya, wajib membuktikan bahwa kekayaan yang diperolehnya itu sah atau bukan dari hasil korupsi.
 
Happy Sulistyadi, PEMERHATI HUKUM
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 2 Maret 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan