Pembukaan Pos Pemantauan Penerimaan Peserta Didik Baru
Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Pendidikan membuka Pos Pemantauan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) bersama 34 jaringan yang tersebar hampir di seluruh kab/kota dan provinsi Indonesia. Tujuannya untuk mengawal proses PPDB agar lebih transparan dan akuntabel. Selain itu, pos pemantauan juga dapat menjadi sumber informasi bagi orang tua murid mengenai proses PPDB.
Pos Pengaduan akan dibuka mulai 16 April sampai 30 September 2018. Bagi masyarakat yang ingin melapor atau bertanya dapat dilakukan melalui telepon, datang langsung ke pos pengaduan atau mengakses website laporpendidikan.com.
Seperti diketahui, dunia pendidikan di Indonesia akan memasuki tahun ajaran baru 2018/2019 yang ditandai dengan tahapan penerimaan peserta didik baru dan pendaftaran ulang bagi siswa/siswi yang naik kelas. Peraturan mengenai penerimaan peserta didik baru tercantum dalam PP No 17/ 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Kemudian secara lebih rinci Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengeluarkan Peraturan Mendikbud (Permendikbud) 17/2017 tentang penerimaan peserta didik mulai taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas. Aturan ini berlaku bagi sekolah negeri di bawah Kemendikbud. Sedangkan Kementerian Agama melalui SK Dirjen Pendidikan Islam No. 481/2018 tentang petunjuk teknis penerimaan peserta didik baru yang berlaku untuk seluruh sekolah di bawah Kementerian Agama (Min/ MTSn/MAn/MAKn).
Jika melihat isi dari kedua aturan turunan PP 17/2010 terkait PPDB, Permendikbud 17/2017 dapat dikatakan cukup progresif. Dalam aturan tersebut, tidak ada jalur umum karena prinsipnya seluruh anak-anak terdekat dari sekolah bisa mengakes pendidikan berdasarkan dari jarak tempuh dan waktu. Sedangkan SK Dirjen Pendidikan Islam No 481/2018 cenderung berpotensi menimbulkan ketidakadilan dan bertentangan dengan PP 17/2010. Misalnya dalam hal penerimaan peserta didik kelas 7, dalam PP 17/2010 penerimaan siswa berdasarkan nilai ujian akhir berstandar nasional sedangkan pada SK Dirjen Pendidikan Islam 481/ 2018 seleksi calon peserta didik baru dilaksanakan sebelum nilai hasil ujian keluar dan dapat didasarkan pada hasil test potensi belajar/ tes akademik sejenisnya. Selain kedua aturan tersebut, seringkali peraturan terkait PPDB yang dikeluarkan Walikota/Bupati maupun Gubernur seolah tidak mengacu pada PP 17/2010 maupun Permendikbud 17/2017.
Mengacu pada hasil pemantauan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) pada proses PPDB tahun 2017, setidaknya ditemukan tiga permasalahan besar, yaitu, pertama, proses PPDB yang berpotensi korupsi, misalnya jual beli bangku. Kedua, terkait sistem zonasi yang membingungkan dan meribetkan orang tua murid. Ketiga terkait transparansi proses penerimaan peserta didik baru.
Proses PPDB seringkali menjadi mimipi buruk bagi orang tua sebab seringkali mereka dibebankan dengan berbagai macam pungutan, mulai dari uang formulir, seragam hingga uang masuk sekolah yang jumlahnya tidak sedikit.
Padahal jika mengacu pada Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan Pada Satuan Pendidikan Dasar seharusnya sekolah, khususnya SD dan SMP, tidak membebani orang tua dengan berbagai pungutan yang mengatasnamakan sumbangan. Selain itu, sekolah juga sudah mendapatkan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang dapat digunakan dalam proses PPDB.
Hal yang juga tak kalah membebani orang tua murid adanya kewajiban daftar ulang yang disertai dengan pembebanan biaya daftar ulang. Pihak sekolah seharusnya tidak perlu memberlakukan biaya daftar ulang pada siswa, cukup dengan pemenuhan syarat administrasi saja.
Berbagai permasalahan itu jelas akan menghambat pemenuhan hak-hak warga negara atas pendidikan. Warga negara dirugikan karena hak atas pendidikan tidak terpenuhi meski dijamin oleh konstitusi. Sementara negara juga dirugikan karena kewajibannya guna memenuhi hak pendidikan warga negara dibajak oleh sekelompok orang untuk keuntungan pribadi atau kelompoknya.
Jakarta, 16 April 2018