Pembuat Kebijakan Tidak Kebal Hukum, Bisa Diancam Pasal Korupsi

Posisi pembuat kebijakan tidak bisa kebal dari hukum. Jika keputusan pembuat kebijakan itu ternyata melanggar undang-undang atau menguntungkan sekelompok orang lain, pembuat kebijakan bisa dijerat dalam pasal tindak pidana korupsi.

Pernyataan itu terekam dalam rapat konsultasi Panitia Angket Kasus Century dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di gedung DPR, Jakarta, kemarin (4/2). Anggota pansus dari Fraksi Partai Golkar Ade Komarudin yang menanyakan poin tersebut kepada pimpinan KPK.

''Bila ada oknum pejabat, apa pun itu, melakukan keputusan di mana itu melanggar UU, tapi banyak orang percaya oknum itu diyakini tidak menerima suap iming-iming dan sebagainya, keputusan itu juga diduga kuat menguntungkan pihak lain, kami minta pandangan KPK,'' tanya Komarudin kepada lima pimpinan pansus yang hadir lengkap di rapat konsultasi tersebut.

Menjawab hal itu, Wakil Ketua KPK Chandra M. Hamzah menyatakan, ketentuan terkait motif pejabat itu tercantum dalam pasal 2 dan pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi. Isi kedua pasal itu adalah bahwa ada aturan yang bisa menjerat pembuat keputusan jika terbukti menguntungkan diri sendiri maupun pihak lain. ''Setiap kejahatan dan peristiwa harus ditemukan kehendak niat jahatnya,'' kata Chandra di depan anggota pansus.

Nah, lanjut Chandra, tugas KPK-lah yang melakukan penyelidikan dari niat jahat itu. Mengetahui niat jahat itu bisa dari tertulis maupun tidak tertulis. Tentu tidak sama pembuktian niat jahat kasus satu dengan yang lain. ''Bagaimana itu (diketahui), itu adalah domain kami. Niat jahat itu harus terbukti. Itu yang sedang kami dalami,'' jelas Chandra.

Kedatangan lima pimpinan KPK kemarin tidak hanya untuk memenuhi undangan Pansus Century. Ketua KPK sementara Tumpak Hatorangan Panggabean menyatakan, pihaknya juga berkepentingan meminta data rekaman pemeriksaan saksi di pansus. Data tersebut digunakan sebagai informasi tambahan KPK untuk penyelidikan kasus Century. ''Data rekaman rapat juga kami minta. Sebab, ada data kami yang tidak lengkap'' kata Tumpak.

Terhitung sejak Desember 2009, kata Tumpak, KPK memang melanjutkan penyelidikan terkait kasus Century. Kasus tersebut memang terhenti karena saat itu KPK menunggu hasil audit investigasi BPK terkait bailout Century. ''Pada Desember hasil audit kami terima. Saat itulah penyelidikan kami lanjutkan,'' ujar Tumpak.

KPK kemarin juga bersedia menyampaikan perkembangan penyelidikan kasus Century. Tumpak menyerahkan mandat pembacaan penjelasan itu kepada Chandra. Dalam keterangannya, Chandra mengingatkan pansus bahwa yang dia sampaikan adalah perkembangan, bukan hasil. ''Kalau perkembangan, masih ada tahap penyelidikan lain yang kami lakukan,'' ujarnya mewanti-wanti.

Chandra mengatakan, selama menyelidiki kasus Bank Century, KPK sudah meminta keterangan beberapa pejabat, yakni pejabat BI 18 orang, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) 9 orang, Bank Century 16 orang, Departemen Keuangan 2 orang, dan pihak lain 2 orang. Di antaranya deposan terbesar Boedi Sampoerna. ''Kami juga koordinasi dengan PPATK dan BPK,'' katanya.

Menurut Chandra, proses penyelidikan KPK atas Century dibagi dua, yakni pra-pencairan fasilitas peminjaman jangka pendek (FPJP), dan pasca FPJP. Dalam penyelidikan sebelum pencairan FPJP, KPK tidak menemukan adanya penggunaan keuangan negara di dalamnya. ''Sama sekali tidak ada uang negara beredar di Bank Century saat (pra-FPJP) itu'' jelas Chandra.

Dalam temuan BPK soal merger, misalnya, lembaga audit negara itu menyatakan BI tidak prudent dan tidak tegas dalam pengawasan Bank Century. Artinya, secara sederhana Bank Century tidak melanggar. Sebaliknya, BI adalah pihak yang lalai dalam hal merger. Pelanggaran yang dijerat dalam hal ini masuk dalam tindak pidana perbankan.

''Keduanya domain UU Perbankan. Itu jelas-jelas bukan kewenangan KPK, yang mengurusi keuangan negara,'' kata Chandra. Kewenangan KPK adalah dalam pasal 11 UU KPK, dan itu harus berdasar penyelenggara negara. ''Tapi, kan ada penegak hukum seperti polisi dan kejaksaan yang bisa menelusuri tindak pidana perbankan ini,'' imbuhnya.

Meski demikian, lanjut Chandra, tidak tertutup kemungkinan ada jerat pidana korupsi di dalamnya, sehingga KPK bisa ikut masuk. ''Dalam setiap peristiwa (merger), mungkin saja uang negara tidak terkait. Tapi, jika ada indikasi suap, dugaan pemerasan, itu tetap jadi domain KPK,'' terangnya.

Terkait dengan pembagian pasca-FPJP, giliran Tumpak yang menjelaskan. Menurut dia, seperti yang dia tegaskan, dana LPS yang digunakan untuk bailout adalah keuangan negara. ''Sudah banyak yang seperti ini yang putus di tipikor,'' kata Tumpak. Yang lebih rendah, sebagai contoh, dana abadi umat. Pengadilan Tipikor menyatakan itu termasuk keuangan negara sebagaimana UU 31/1999.

Permintaan dokumen rekaman itu disambut baik oleh sejumlah fraksi dalam pansus. Fraksi Golkar dan PDIP adalah yang secara terbuka menyampaikan kesediaan memberikan dokumen yang diminta KPK. ''Kalau ingin profesional, kami berikan semua dokumen pansus kepada KPK,'' kata Maruarar Sirait, anggota pansus dari FPDIP.

Namun, ada sejumlah ganjalan dokumen yang diterima pansus dari pihak terkait. Maruarar menyatakan, sejumlah rekaman rapat dewan gubernur BI ternyata tidak lengkap. Misalnya, rekaman rapat 13 November 2008 yang dimulai di tengah rapat berlangsung. ''Saya mau tanya ke pimpinan KPK, pernah menemui seperti ini atau tidak. Karena bagi kami ini hal yang baru,'' kata Ara, sapaan akrab Maruarar.

Menjawab hal itu, Chandra menyatakan, dokumen rekaman rapat yang dimiliki pansus bisa jadi teredit atau terpotong. Namun, ada pula kemungkinan demi menyembunyikan fakta. ''Bisa diedit, bisa dipotong, atau bisa juga sengaja tidak direkam,'' ujar Chandra. Dia menambahkan, ahli IT nanti yang menyimpulkan hal itu. (bay/owi/iro)

Sumber: Jawa  Pos, 5 Februari 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan