Payung Hukum untuk SPI

MEMASUKI tahun pelajaran baru, yang ditandai dengan penerimaan peserta didik baru (PPDB), persoalan sumbangan pengembangan institusi (SPI) selalu mengundang pro dan kontra. Sekolah berada pada posisi terpojok. Stigma sebagai lembaga yang korup, dan tidak mematuhi regulasi adalah realitas yang harus dihadapi.  Belum lagi ancaman untuk di-PTUN-kan, menjadi beban psikologis. Masalah ini selalu tidak pernah tuntas. Begitu mulai masuk sekolah, maka masalah ini hilang dengan sendirinya, dan muncul kembali pada tahun pelajaran berikutnya. Tanpa ada kepastian siapa yang bersalah.

Sekolah dan civitas akademica-nya betul betul dirugikan oleh kondisi itu. Energi sekolah terbuang percuma. Tidak jarang, isu ini menjadi komoditas politik, un-tuk kepentingan tertentu.

Sudah saatnya masyarakat mendapatkan aufklarung (pencerahan) tentang sekolah. Lewat pencerahan ini, masyarakat lebih memahami peran dan tanggung jawab sekolah, serta kewenangannya sehingga tidak akan ada lagi pikiran pikiran keliru tentang sekolah.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas menyebutkan bahwa pendidikan memiliki tujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, pemerintah menetapkan PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yang mengatur kriteria minimal tentang sistem pendidikan di negeri ini. Ada 8 standar yang diatur, mulai standar isi, proses, sampai standar pembiayaan. Terkait dengan standar pembiayaan, pemerintah menerbitkan PP Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan. Regulasi itu menjelaskan bahwa dana pendidikan merupakan sumber daya keuangan yang disediakan untuk menyelenggarakan dan mengelola pendidikan serta menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemda, dan masyarakat.

Sekolah sebagai bagian dari sistem pendidikan memiliki banyak keterbatasan dalam mewujudkan tujuan pendidikan. Hal ini akibat Standar Nasional Pendidikan yang sudah ditetapkan tidak semuanya dapat dinikmati sekolah. Memang pada jenjang pendidikan dasar, sudah memperoleh BOS. Tetapi karena keterbatasan dan kekurangan sarana pendidikan, tidak semuanya dapat di- cover.

Efektivitas Perda
Pada sisi lain, alokasi pemerintah untuk menyelesaikan kendala ini juga terbatas. Sekolah harus berpikir keras agar tujuan pendidikan tercapai. Upaya keras ini tertuang dalam anggaran pendapatan dan belanja sekolah (APBS). Dalam APBS dapat diketahui semua program sekolah lengkap dengan sumber dananya. APBS dalam penyusunannya melibatkan semua komponen sekolah, termasuk komite sekolah. Karena pemerintah tak mampu memenuhi APBS maka SPI menjadi salah satu solusi. Sejatinya SPI lahir melalui proses panjang, memiliki latar belakang filosofis dan yuridis yang kuat serta jauh dari aroma korupsi.

Pada sisi lain, PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolan dan Penyelenggaraan Pendidikan, mengisyaratkan bahwa harus dilakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan sekolah oleh pemerintah. Pengawasan dilakukan oleh inspektorat sesuai kewenangannya. Selain itu masyarakat juga diberi kesempatan untuk melakukan pengawasan terhadap sekolah.

Jadi jelas, bahwa kekhawatiran masyarakat terhadap penyimpangan di sekolah, utamanya terkait dengan pengelolaan keuangan, tidak perlu terjadi. Semua proses dilakukan sesuai dengan regulasi. Apalagi penggunaannya selalu diawasi oleh pemerintah maupun masyarakat.

Sudah saatnya SPI yang legal and legitimate ini memperoleh dukungan masyarakat. Di tingkat kabupaten/kota, SPI perlu mendapatkan payung hukum. Pada wilayah ini, produk hukum yang memiliki kekuatan hukum yang bersifat mengikat adalah perda. Agar perda ini efektif maka dalam penyusunannya, sekolah perlu diikutsertakan secara aktif. Jika ini bisa dilakukan, maka upaya mewujudkan tujuan pendidikan bisa dapat segera tercapai. (10)

Drs Adi Prasetyo SH MPd, Ketua PGRI Kabupaten Semarang
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 15 Juli 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan