Patrialis Tidak Pernah Menjalani Fit and Proper Test?

Sidang lanjutan gugatan Keputusan Presiden tentang pengangkatan Patrialis Akbar sebagai hakim Mahkamah Konstitusi kembali digelar di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, hari ini (16/10). Koalisi YLBHI dan ICW sebagai penggugat menyerahkan bukti transkrip video pernyataan Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin yang menyebutkan bahwa Patrialis Akbar tidak pernah diuji kelayakan dan kepatutannya (fit and proper test) untuk menjadi hakim konstitusi.

M. Ainul Yaqin, kuasa hukum dari YLBHI dan ICW menyatakan bahwa ada dua aspek dalam gugatan ini. “Pertama, rekrutmen Patrialis Akbar tidak sesuai prosedur, dan sosok Patrialis itu sendiri,” jelas Ainul. Pada masa Patrialis menjabat Menteri Hukum dan HAM, terungkap skandal sel mewah di Lembaga Pemasyarakatan dan pemberian grasi kepada Pollycarpus, terpidana kasus pembunuhan aktivis HAM Munir.

Erwin Natosmal Oemar, salah satu anggota Koalisi Selamatkan Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa seleksi Patrialis janggal. “Ini menyentak hati kita. Dalam kurun waktu singkat, tanpa publik sempat mencerna, tiba-tiba dia diangkat sebagai hakim konstitusi,” ujar Erwin.

Menurut Erwin, MK memiliki peran besar sebagai yang berwenang memutus sengketa pilkada dan menguji Undang-undang. “Masuknya Patrialis membenarkan hegemoni partai politik dalam MK. Akil adalah contoh masuknya tangan-tangan politik yang menjatuhkan martabat Mahkamah Konstitusi,” tegas Erwin.

Sebelumnya, dalam sidang, Jaksa Pengacara Negara selaku kuasa hukum tergugat, menyebutkan bahwa aturan penjelasan dalam pasal 19 Undang-undang Mahkamah Konstitusi yang mengatur seleksi hakim konstitusi sebagai “tidak mengikat”. Kuasa hukum koalisi menolak pernyataan tersebut. Ainul mengatakan, “Kalau penjelasan memang tidak mengikat, untuk apa ada penjelasan? Dibuang saja.”

Erwin berpendapat bahwa aturan sesederhana apapun tidak boleh dinafikan. “Kalau mereka menganggap penjelasan itu tidak mengikat, buat apa kita berkonstitusi? ” tukas Erwin.

Bahrain, Direktur Advokasi YLBHI dan kuasa hukum koalisi, menegaskan prinsip demokrasi yang Indonesia anut. “Dalam negara demokrasi, kita wajib mengawal. Inilah keterlibatan publik, ini amanah. Transpansi dalam pelaksanaan pemerintahan dan partisipasi publik sangat dibutuhkan dalam negara demokratis,” papar Bahrain.

“Dalam penangkatan Patrialis sebagai Hakim Konstitusi, ada pelanggaran terhadap asas-asas pemerintahan yang baik ini,” ujar Bahrain.

Sidang akan dilanjutkan pada Rabu, 30 Oktober mendatang dengan agenda menghadirkan saksi dan ahli dari pihak penggugat dan penyerahan bukti berupa surat-surat dari pihak tergugat.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan