Pasal Gratifikasi Jangan Jadi Celah Korupsi

ICW menyelenggarakan diskusi tentang pasal gratifikasi Undang-undang Tindak Pidana Korupsi No. 20/2001  pasca Inggris dan Uzbekistan mengkaji keberadaan dua pasal ini di kantor ICW di Jakarta, Jumat (4/10). Kedua negara menganggap pasal ini tidak tegas dan tidak jelas. Ternyata ada celah bagi koruptor untuk memanfaatkan pasal ini.

Diskusi menghadirkan tiga narasumber, yaitu Agustinus Pohan, S.H., MS., Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, praktisi hukum; Reda Manthovani, S.H., LL.M., Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasila, peneliti; dan Roby Arya Brata, S.H., LL.M. (Hon), MPP., Ph.D., pemerhati isu anti korupsi.

“Pasal 12 B mengatur PNS dan penyelenggara negara yang menerima gratifikasi yang berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya. Tapi, pemberian ini tidak dapat dituntut apabila dalam 30 hari dilaporkan ke KPK dan ini diatur dalam Pasal 12 C,” jelas Reda.

Pasal 12 C seperti menjadi alasan pembenar atas penerimaan gratifikasi yang diatur dalam Pasal 12 B, sehingga tindakan seorang penerima gratifikasi dapat dibenarkan asalkan yang bersangkutan melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK.

Agustinus Pohan berpendapat, “Pasal 12 C itu biang keroknya. Karena sepertinya orang boleh disuap, tapi akan dimaafkan asal uangnya dikembalikan,” tegasnya.

Reda melanjutkan, “Kalau pasal ini dihapus, tetap harus ada pengganti yang bisa dikenakan ke orang-orang yang menerima sesuatu tapi tidak lapor. Gayus Tambunan dan Bahasyim Syafi’i, misalnya, itu ketahuan setelah ada transaksi keuangan. Masih banyak yang tidak ketahuan.”

Reda menganggap bahwa pasal 12 C ini berlaku bagi pejabat yang sadar untuk melaporkan. “‘Kan banyak yang tidak sadar. Misalnya,pejabat yang memang tidak punya usaha lain tapi kekayaannya luar biasa. Mereka lapor, tidak?”

Roby menjelaskan bahwa dari data KPK, pelaporan gratifikasi sangar sedikit. “Dari 4 juta PNS, hanya seribu sekian yang melaporkan. Artinya, pelaporan gratifikasi tidak efektif. Ini bukan berarti nggak ada gratifikasi. Orang takut laporkan kejahatan. Antara tidak tahu, atau takut ikut kena.”

Pengaturan mengenai pasal gratifikasi perlu dibedakan secara lebih tegas dengan pasal suap, karena unsur-unsur kedua pasal ini nyaris serupa. “Di Amerika Serikat, perbedaan antara kedua tindakan ini diatur dengan jelas. Suap itu sebelum tindakan itu terjadi, untuk menggerakkan si pejabat berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Misalnya, pengusaha ngasih duit bilang ‘tolong digolkan’. Sementara, gratifikasi adalah imbalan karena perbuatan korup telah dilakukan,” jelas Roby.

 “Di negara lain seperti Inggris, India, Australia dan Singapura juga tidak ada pasal seperti 12 C. Dan yang paling penting, di UNCAC tidak ada. Dampak pasal ini seperti menghapuskan tanggung jawab pidana dari orang yang menerima gratifikasi, karena dia lapor sebelum 30 hari. Ini aneh,” ungkap Roby Arya.

Roby khawatir, pasal ini bisa jadi celah bagi pelaku korupsi. Ia mencontohkan, “Ini sudah dimanfaatkan oleh RR yang ditangkap. RR mengatakan ‘ini gratifikasi, bukan suap.’ Dia tahu dan mengejar ‘30 hari’.

Menurut saya, pasal ini harus dihapus, karena jadi celah bagi koruptor.” Apalagi, Roby mengamati, KPK sangat jarang memakai pasal 12 B dan C. “Jarang sekali digunakan dengan berdiri sendiri. Pasal ini seperti dead letter, jarang digunakan penegak hukum. Karena agak riskan ketika ia berdiri sendiri.”

Roby memberi contoh lain. “Di negara lain, penegak hukum tinggal membuktikan seseorang sudah menerima gratifikasi—maka dianggap suap—kecuali dibuktikan sebaliknya oleh pemberi atau penerima.”

Walaupun, Roby bercerita, bahwa KPK mengakui, ada adat-adat kebiasaan dalam pemberian hadiah, misalnya ulang tahun dan pernikahan. Namun menurutnya, ini tetap harus diatur tegas. “Sepanjang pemberian itu terkait jabatan, itu gratifikasi. Meskipun itu ucapan terima kasih. Ini tujuannya untuk intervensi, dan ini kebiasaan buruk.” tegas Roby.

Adanya pasal 12 C Undang-Undang Tipikor adalah salah satu penyebab jarang diterapkannya pasal 12 B kepada tersangka atau terdakwa, karena dapat terjadi tersangka berdalih akan melaporkan hasil gratifikasi kepada KPK, meskipun deliknya sudah selesai dilakukan.

Agustinus mengakui bahwa salah satu kelemahan mendasar UU Tipikor adalah tidak ada pengaturan bagi perantara (agent—di luar pegawai negeri atau penyelenggara negara) yang melakukan korupsi. “Kita ini fokusnya di pihak yang menerima saja. Gratifikasi juga fokusnya lebih ke penyelenggara negara dan PNS, menghukum yang menerima. Tentang yang memberi gratifikasi, tidak diatur,” kata Roby prihatin.

“Ini bisa dimanfaatkan koruptor pinter, misalnya dalam kasus Ahmad Fathanah. Kalau KPK tidak hati-hati, ini bahaya. Pertama, karena uang belum diterima. Kedua, AF bukan penyelenggara negara. Tapi, kalau di UU Korupsi di Singapura, ini diatur, sehingga si perantara (agent) bisa kena,” jelas Roby.

“Kalau perantara tidak diatur, bisa bisa timbul permasalahan. Misalnya konglomerat hitam memberi gratifikasi saat ulang tahun pada PNS atau penyelenggara negara lewat keluarga. Ini kelemahan di UU kita, yang dimanfaatkan orang ketiga, dan jadi ada kebingungan antara pasal suap dan gratifikasi.”

Pembalikan Beban Pembuktian

Ada keunggulan pasal 12 B, yakni kewajiban untuk membuktikan secara terbalik kepemilikan harta kekayaan pejabat negara yang mencurigakan. Reda menjabarkan, “ini berguna untuk menjaring pejabat-pejabat yang kekayaannya tidak jelas. Kita tidak punya pasal tentang illicit enrichment (kekayaan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan) atau trading influence (mendagangkan pengaruh).

“Kalau pasal 12 B harus dihapus, harus ada pengganti yang lebih jitu, yaitu yang mengatur soal illicit enrichment dan trading influence. PPATK sudah mulai, tapi ‘kan terbatas hanya dalam transaksi keuangan,” jelas Reda.

“Misalnya, transaksi rumah ‘kan di notaris, bisa tidak lapor, karena di luar penyedia jasa ruang. Pajak, lapor tidak? Misalnya kasus Bahasyim Syafi’i. Jaksa membuktikan dia memeras notaris Rp 1 miliar. 67 miliar lainnya kemana? Kalau melihat KUHAP sekarang, kejam betul, sih. Kalau rasa keadilan secara makro, ini tiak adil. Tapi jaksa tidak bisa membuktikan yang 67 miliar ini,” tukas Reda.

Maka, kata Reda, itulah mengapa ada pembalikan beban pembuktian. “Ternyata Syafii tidak bisa membuktikan. Kalau dia punya laporan pajak, bisa dibuktikan dari situ, karena pajak dilaporkan pada tahun berjalan.”

Dengan illicit enrichment, Reda menjelaskan, KPK bisa proaktif menjerat gratifikasi. “Kalau sekarang ‘kan hanya menunggu pejabat jujur. Dengan illicit enrichment, KPK bisa proaktif mendata pejabat-pejabat ini. Kelihatan antara perbandingan pajak dan administrasi keuangan.” Reda juga mengakui trading influence marak di Indonesia. Ia mencontohkan, “Contohnya kasus LHI. Ia tidak terkait dengan birokrat, tapi pengaruhnya bisa dimanfaatkan. Jadi dia bisa menikmati, dan si pejabat bisa bilang, ‘Saya tidak terima’.”

Rekomendasi atas penerapan pasal gratifikasi pasca review UNCAC ini adalah: penghapusan pasal 12 C  dari Undang-Undang Tipikor, dan harus ada pasal yang mengatur mengenai peningkatan kekayaan secara tidak sah (illicit enrichment), dan memperdagangkan pengaruh (trading influence).

Menurut ketiga narasumber, pasal-pasal dengan unsur-unsur pasal yang nyaris serupa (Pasal 11, Pasal 5 ayat (1), dan Pasal 12 huruf a, b, c, dan d) dapat dirumuskan ulang, agar tidak muncul tumpang tindih pasal atas perbuatan yang sama. “Pasal yang mengakibatkan impunitas harus dihapuskan, karena jadi celah,” saran Roby. “Misalnya, bisa dijadikan satu pasal, yang intinya menghukum baik yang memberi dan menerima, baik langsung atau tidak langsung atau melalui perantara,” tegasnya.

Agustinus menyambung, “Tapi pembuatannya harus hati-hati sekali, karena kalau tidak, bisa jadi bumerang. Misalnya, disalahgunakan lawan politik untuk fitnah. Jadi, jangan sampai perumusannya longgar, agar tidak dimanfaatkan untuk pemerasan. Ini harus dipikirkan matang-matang,” tutupnya.

Unduh Makalah Gratifikasi Agustinus Pohan, S.H., MS.| Unduh Presentasi Gratifikasi Reda Manthovani, S.H., LL.M. | Unduh Presentasi Roby Arya Brata, S.H., LL.M. (Hon), MPP., Ph.D.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan