Parpol Dan Korupsi

PASCA reformasi, peran parpol di Indonesia mencengkeram kuat. Segala bentuk kegiatan politik, mulai dari pemilihan presiden, pemilihan kepala daerah, pemilihan pejabat publik, hingga pembuatan kebijakan-kebijakan strategis lainnya tak bisa lepas dari keterlibatan parpol. Bahkan dalam urusan bisnis pun, parpol memiliki pengaruh dominan menguasai sumber ekonomi.

Kini ketika peta politik di Indonesia telah bergeser dari ‘bureaucratic government’ menjadi ‘party government’, dan ‘executive heavy’ menjadi ‘legislative heavy’, masalah bangsa ini semakin sempurna rusaknya. Bandul korupsi kini berpindah dari birokrasi ke parpol. Ini bagian dari tragedi bangsa tatkala masalah kebangsaan yang seharusnya diselesaikan melalui artikulasi parpol di DPR, justru makin jauh dari harapan.

Nama-nama seperti Al-Amin Nasution, Bachtiar Chamzah, Miranda Gultom, dan tentu yang paling anyar adalah M Nazaruddin, adalah bukti betapa maraknya korupsi dalam kegiatan partai politik. Pertanyaannya, kenapa ini bisa terjadi?

Akar masalah yang teridentifikasi adalah ketidakmandirian partai dalam hal pendanaan. Padahal kegiatan politik di Indonesia  membutuhkan biaya tinggi.

Deal-deal politik dengan berbagai pihak, dalam rangka mendulang dana inilah yang sering menjebak partai dalam kondisi tidak berdaya. Ketika investor itu menuntut kepentingannya terartikulasi.

Masalah ini tampaknya akan semakin parah dengan adanya perubahan UU Partai Politik yang sangat rawan jadi pintu masuk korupsi. Sejumlah regulasi baru menjadi prasyarat bagi sebuah parpol. Selain soal struktural UU ini juga mengatur syarat finansial. Sebuah parpol, misalnya, diwajibkan memiliki rekening minimal Rp 4 miliar.
      
Satu hal yang mengkhawatirkan adalah mekanisme sumbangan untuk parpol. UU Parpol mengakomodir peranan uang dalam sebuah kegiatan politik. Aturan sumbangan maksimal di angka Rp 7,5 miliar, sedangkan  perorangan mencapai Rp 1 miliar, dinilai banyak kalangan terlalu tinggi dan dapat mengakibatkan parpol bernafsu mengejar target donasi.

Jika hal itu terjadi maka celaka, karena tidak ada yang gratis dalam politik. Tentunya menyumbang tak hanya begitu saja, pasti ada maksudnya. Semua itu berpotensi menimbulkan politik uang. Inilah masalah yang harus dikawal, karena kalau tidak, parpol akan menjadi pintu masuk bagi korupsi di Indonesia.

Meskipun belum puas terhadap upaya pemberantasan korupsi, tapi harus optimis. Karena KPK sudah masuk ke ibunya korupsi, yaitu wilayah politik dan bisnis. Upaya pengembalian aset juga sudah berjalan, karena KPK bisa mengembalikan rupiah dalam jumlah yang tidak sedikit. Upaya pemberantasan korupsi sekarang juga diharapkan relatif lebih mudah, karena ada media yang bebas, watch dog dimana-mana dan juga ada KPK. Mari kita bersama menjadi watch dog buat para elit. Asal politisi jangan memakai prinsip anjing menggonggong, kafilah berlalu  alias ‘emang gue pikirin’.
( Oleh:Ane Permatasari, Penulis adalah Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UMY, nyantri di Konsentrasi Politik Islam Program Doktor UMY)-f
Tulisan ini disalin dari Kedaulatan Rakyat, 20 Mei 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan