Parlemen Dinilai Keterlaluan

Anggota DPR Beralasan Dana untuk Membina Daerah Pemilihan

Usulan Fraksi Partai Golkar supaya setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat memperoleh dana aspirasi Rp 15 miliar dinilai amat keterlaluan. Usulan itu adalah bentuk perampasan uang negara oleh anggota Parlemen yang pendapatannya sudah memadai.

”Usulan itu, jika disetujui, bisa menjadi legalisasi politik uang dengan menggunakan uang negara. Ini tidak adil dan tidak sehat secara demokrasi,” ujar Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latif, Kamis (3/6), di Jakarta. Tujuan di balik usulan itu diduga adalah melestarikan kekuasaan anggota Dewan. Pasalnya, mereka dapat mengklaim telah berbuat sesuatu kepada pemilihnya dengan proyek yang dibiayai dari dana aspirasi.

Dana yang dikeluarkan pemerintah jika usulan dana aspirasi itu disetujui mencapai Rp 8,4 triliun setahun. Ada 560 anggota Parlemen dan setiap anggota mendapat Rp 15 miliar.

Dosen Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia, Jakarta, Adrinof Chaniago, menyebutkan, dengan usulan dana aspirasi itu, DPR telah mengacaukan sistem dan konstitusi. Konstitusi hanya memberikan tiga wewenang kepada DPR, yaitu legislasi, pengawasan, dan penganggaran. DPR tak punya wewenang pelaksanaan kebijakan.

”Sistem akan rusak jika anggota Parlemen dapat menitipkan program mereka kepada pemerintah dengan memakai dana aspirasi. Sebab, kebijakan itu akan membuat DPR secara faktual tak hanya lembaga legislatif, tetapi juga eksekutif,” ujar Andrinof.

Disposisi politik
Ketua Badan Anggaran DPR dari Fraksi Partai Golkar (F-PG) Harry Azhar Aziz menuturkan, usulan itu adalah satu usaha anggota Dewan untuk melaksanakan sumpahnya, yaitu memajukan rakyat di daerah pemilihannya.

Harry juga menegaskan, usulan itu belum ditolak pemerintah dan belum ada penolakan dari sembilan fraksi di DPR. Namun, dalam rapat paripurna DPR, Selasa lalu, Menteri Keuangan Agus DW Martowardojo menilai, usulan dana partisipasi itu berpotensi melanggar prinsip pembagian tugas dan wewenang antara legislatif dan eksekutif, serta melanggar undang-undang (Kompas, 3/6). Menurut Ketua F-PG DPR Setyo Novanto, anggota DPR tidak menerima dana aspirasi secara tunai. Anggota DPR hanya mengusulkan dalam bentuk proyek di daerah pemilihan (dapil)-nya. Usulan dilakukan melalui Badan Anggaran DPR dan dilaksanakan kementerian terkait.

Eva Kusuma Sundari, anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) DPR menyebut dana partisipasi itu sebagai dana fasilitasi pembangunan. Tak akan ada tambahan anggaran bagi DPR untuk dana fasilitasi pembangunan itu.

Dana fasilitasi diusulkan dengan mempertimbangkan memenuhi kebutuhan daerah, yang selama ini tidak diakomodasi pemerintah. Apalagi setiap tahun sisa lebih penggunaan anggaran (silpa) besar karena penyerapan anggaran rendah. Eva menjelaskan, dana fasilitasi diberikan bukan dalam bentuk dana segar. Dana fasilitasi diberikan dalam bentuk disposisi politik.

”Misalnya dapil saya di Kediri (Jawa Timur), yang diperlukan rakyat adalah membangun jalan lintas selatan. Saya akan memberikan disposisi, mendorong pemerintah untuk mengalokasikan biaya pembangunan jalan. Hanya disposisi politik, sementara pelaksana tetap pemerintah,” tuturnya lagi.

Membeli suara
Secara terpisah, Kamis, Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Yuna Farhan menegaskan, usulan dana aspirasi bagi setiap anggota DPR harus ditolak. Dana itu tidak ada landasan hukumnya sehingga bisa dikategorikan sebagai dana ilegal.

Yuna mengatakan, apabila dana aspirasi dialokasikan pada APBN 2011, itu dapat dikatakan dana ilegal. Pasal 12 Ayat (2) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyatakan, RAPBN disusun berpedoman pada rencana kerja pemerintah, tidak berdasarkan daerah pemilihan.

”DPR tak memiliki instrumen perencanaan yang adalah domain pemerintah. Selain itu, DPR juga tak mempunyai hak budget. DPR selama ini salah kaprah menyatakan memiliki hak budget. Konstitusi atau UU No 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD tidak mengenal adanya hak budget bagi DPR,” katanya.

Menurut dia, DPR hanya memiliki fungsi anggaran. UU menyebutkan, fungsi anggaran dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan yang diajukan oleh Presiden.

Selain itu, kata Yuna, alasan dana aspirasi untuk memeratakan anggaran ke daerah juga tak masuk akal. ”Dana aspirasi berdasarkan dapil justru akan memperlebar jarak antara daerah miskin dan kaya karena anggaran hanya terpusat pada daerah yang banyak penduduknya, sesuai dengan proporsionalitas penentuan dapil,” ungkapnya.

Yuna mencontohkan, DKI Jakarta yang memiliki angka kemiskinan terendah, 3,62 persen, akan memperoleh dana aspirasi Rp 315 miliar. Provinsi Maluku yang memiliki angka kemiskinan 28,3 persen mendapat dana aspirasi lebih kecil, yaitu Rp 90 miliar. ”Usulan ini jelas bertentangan dengan logika pemerataan,” katanya.

Koordinator Indonesia Corruption Watch Danang Widoyoko, seusai bertemu dengan F-PDIP DPR di Jakarta, Kamis, menilai usulan pengalokasian dana fasilitasi pembangunan dapil adalah legalisasi korupsi. Anggota DPR berniat memanfaatkan anggaran negara untuk investasi politik dan membeli suara.

Menurut Danang, politisi bisa mengklaim pembangunan yang dilakukan pemerintah sebagai hasil usaha dan kerja keras mereka. Dengan demikian, konstituen akan kembali memilih mereka dalam pemilu mendatang. Penerapan dana fasilitasi akan menguntungkan petahana (incumbent) anggota DPR yang maju lagi pada Pemilu 2014.

Danang menilai pemberian dana fasilitasi tak akan efektif. Selain tidak tepat sasaran, dana semacam itu bisa mubazir, terbuang sia-sia. ”Contohnya penerapan voucher pendidikan dahulu, yang mendapatkan justru sekolah yang kondisinya baik atau sekolah yang dekat anggota DPR atau organisasi kemasyarakatan tertentu,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center Arif Nur Alam menilai wacana penggelontoran dana aspirasi sebesar Rp 15 miliar bagi setiap anggota DPR, yang diwujudkan dalam proyek infrastruktur di dapil, hanya akal-akalan anggota Parlemen untuk memobilisasi dukungan dan politik uang dalam pemilu.

”Cara ini merusak tatanan demokrasi karena aspirasi dan keinginan masyarakat dijawab dengan uang oleh DPR. Fungsi DPR bergeser dari mengarahkan pemerintah dan memberi solusi atas persoalan rakyat menjadi melakukan tugas yang seharusnya dilakukan eksekutif,” katanya lagi.

Jika terwujud, wacana itu bisa dijadikan alat masif untuk politik uang dalam pemilu. Pembangunan infrastruktur yang terjadi di setiap dapil dapat diklaim sebagai keberhasilan dan dijadikan alat mempertahankan posisi atau keterpilihan kembali anggota DPR.

Arif menambahkan, selama ini dalam reses yang dilakukan anggota DPR tidak jelas hasilnya. Akuntabilitas atas masukan yang mereka peroleh dari reses juga tidak memiliki kejelasan apakah akan menjadi bahasan lembaga legislatif di tingkat mana. ”Seharusnya DPR lebih banyak mengoptimalkan fungsi pengawasan,” katanya. (sie/mzw/nta/nwo)
Sumber: Kompas, 4 Juni 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan