Paradoks Joki Berdasi

Selain joki ujian masuk perguruan tinggi negeri dan joki 3 in 1, kini kita mengenal joki napi alias praktik menggantikan hukuman narapidana.

Demi Rp 10 juta, Karni rela meringkuk di penjara menggantikan Kasiem, terpidana kasus korupsi. Karni dan Kasiem adalah potret kehidupan ekonomi politik Indonesia yang sarat dengan joki. Kesenjangan ekonomi yang kian lebar bahkan menciptakan paradoks joki berdasi.

Joki berdasi
Sosok seperti Kasiem tidaklah sendirian di republik ini. Kasiem adalah potret perilaku mayoritas elite politik-ekonomi yang cenderung korup dan suka kemewahan. Lihatlah perilaku wakil rakyat ketika mengawali kerjanya tahun ini. Di saat mayoritas rakyat memasuki tahun baru dengan kondisi hidup yang sarat beban, DPR justru bersikukuh membahas kembali rencana pembangunan gedung baru yang bernilai triliunan rupiah. Setali tiga uang, DPRD DKI Jakarta juga mengawali tahun baru dengan menganggarkan Rp 2,5 miliar untuk pembelian mobil mewah.

Rendahnya kinerja dan integritas DPR/DPRD menjadikan posisi DPR/DPRD tak lebih sebagai ”joki berdasi”. Sebagai joki, kerja mereka mengambil hak rakyat dan menggantikan posisi rakyat dalam menikmati kemakmuran. Sudah jamak kalau anggota DPR/DPRD lebih sibuk bernegosiasi untuk posisi dan proyek daripada memperjuangkan kepentingan rakyat. Itulah mengapa sangat sedikit anggaran pembangunan yang menetes ke bawah.

Pemerintah belum lama ini mencanangkan niat untuk menghemat anggaran. Namun, kenyataannya, anggaran sebesar Rp 3,4 miliar dialokasikan pemerintah untuk membiayai renovasi rumah dinas menteri keuangan. Realisasi biaya perjalanan dinas dalam APBN meningkat, dari Rp 15,7 triliun di tahun 2009 menjadi Rp 19,5 triliun di tahun 2010. Padahal, BPK menemukan banyak penyimpangan dalam anggaran perjalanan dengan modus perjalanan fiktif, tiket palsu, dan pembayaran ganda.

Nafsu menumpuk kekayaan dan menikmati kemewahan mendorong perilaku korup di kalangan para elite. Hasil pemeriksaan BPK menunjukkan, dari 528 obyek yang diperiksa pada semester pertama 2010, ada 10.113 kasus penyelewengan anggaran senilai Rp 26,12 triliun.

Dari jumlah ini, yang dikembalikan ke kas negara baru Rp 93,01 miliar atau 0,36 persen dari total anggaran yang diselewengkan. Padahal, penyelewengan terjadi setiap tahun. Tidak heran kalau penguasa getol menambah utang, sebab mengurangi utang akan berarti mengurangi peluang menambah kekayaan.

Kuda beban
Sosok Karni yang karena kemiskinannya rela meringkuk di penjara adalah gambaran nasib mayoritas rakyat negeri ini. Para elite menjarah uang rakyat dan dengan uang yang sama membuat rakyat terpenjara.

Meskipun konstitusi menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, hak rakyat untuk menikmati kemakmuran telah lama di-joki-kan pada para penguasa.

Sistem ekonomi-politik yang mendukung perilaku korup telah mengubah posisi rakyat yang adalah subyek dan tujuan penyelenggaraan negara menjadi sekadar kuda beban.

Sebagai kuda beban, rakyat menanggung demikian banyak penderitaan akibat tekanan ekonomi sambil terus berharap akan ada remah-remah roti pembangunan yang terjatuh dari meja para elite. Yang terjadi pada akhirnya adalah paradoks joki berdasi, yang bisa kita temukan dalam berbagai berita.

Keluarga miskin kesulitan memenuhi kebutuhan pangan akibat melambungnya harga beras, meski di sisi lain data transaksi kartu kredit pada tahun 2010 juga menunjukkan peningkatan 20 persen dengan nilai transaksi Rp 14,7 triliun per bulan. Jumlah itu untuk belanja makanan, busana, dan pelesiran.

Meskipun 60 persen lebih rakyat hidup sebagai petani dan krisis pangan tengah mengancam, sektor pertanian tidak menjadi prioritas dalam anggaran. Bahkan di daerah lumbung padi, seperti Kabupaten Tasikmalaya, misalnya, anggaran untuk sektor pertanian justru merosot dari Rp 3 miliar menjadi Rp 200 juta.

Anggaran pun lebih banyak terserap untuk gaji pegawai. Dari total dana alokasi umum (DAU) tahun 2011 yang nilainya Rp 881 miliar, Rp 841 miliar (95,4 persen) dialokasikan untuk gaji pegawai. Meski 66 persen wilayah Indonesia rawan banjir dan longsor, dan terhadap berbagai bencana itu pemerintah belum mampu mengantisipasi apalagi meminimalkan risiko, Kementerian Kehutanan masih saja membuka akses seluas-luasnya bagi korporasi perkebunan, pertambangan, dan kehutanan guna memanfaatkan kawasan hutan.

Akses terhadap hutan hanya diberikan bagi korporasi, rakyat tak punya hak. Rakyat kecil yang memotong beberapa kayu untuk keperluan sendiri ditangkap dan dipenjarakan dengan tuduhan pembalakan liar.

Sebaliknya, korporasi yang aktivitasnya telah membuat hutan menghilang setiap menit dengan luas enam kali lapangan sepak bola justru difasilitasi.

”Status quo”
Paradoks joki berdasi akan terus berlangsung karena para elite tak punya keinginan untuk memperbaiki kehidupan rakyat. Kalau mereka serius dengan komitmen perubahan, tentu tidak ada lagi kebohongan ketika membicarakan indikator pembangunan. Akan tetapi, kenyataannya, mereka hendak mengatasi inflasi dengan mengubah bobot pengaruh cabai atau bahkan mengeluarkan cabai yang harganya meninggi dari keranjang inflasi.

Tidak ada yang peduli dengan fakta permukiman kumuh yang kian meluas, daya beli rakyat yang kian merosot, serta penderita depresi dan bunuh diri di kalangan warga miskin yang kian fenomenal. Padahal, ini adalah tamparan terhadap indikator kemiskinan yang condong menyembunyikan persoalan.

Kalau para elite sungguh menginginkan perubahan, tentulah mereka akan berupaya mencerdaskan rakyat dan menempatkan pendidikan sebagai prioritas pembangunan. Kenyataannya mereka membiarkan pendidikan dalam kondisi memprihatinkan. Sekitar 21 persen sekolah dasar (SD) di kota, sekitar 37 persen SD di desa, dan 60 persen SD di daerah terpencil mengalami kekurangan guru. Padahal, dalam lima tahun ke depan, sebanyak 75 persen guru SD di Indonesia pensiun. Bukan hanya guru, bahkan bangunan sekolah pun terancam hilang. Awal tahun ini saja beberapa bangunan SD di Jakarta tergusur mal.

Kalau tidak ada perubahan, ke depan mayoritas angkatan kerja akan tetap berpendidikan SD ke bawah. Rendahnya kualitas pendidikan rakyat akan menguntungkan posisi para joki berdasi yang menghendaki rakyat tetap mudah dibodohi.

Kalau kita tetap menyerahkan republik ini di tangan para elite yang ada sekarang, wajah republik masa depan akan tampak seperti mal atau Kota Tangerang Selatan. Pada mal kita melihat kegemerlapan yang seolah steril dari persoalan, padahal di dalamnya tersembunyi beragam kasus bunuh diri. Pada Kota Tangerang Selatan kita bisa berkaca, wilayah yang seolah berpemerintahan itu ternyata 70 persen tanahnya telah dikuasai korporasi. Rakyat yang sesungguhnya tertinggal di pinggiran.

Sri Palupi Ketua Institute for Ecosoc Rights
Tulisan ini disalin dari Kompas, 14 Januari 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan